#untitled
Baru sekitar 5 menit yang lalu saat tulisan ini mulai dibuat, anak kecil tetangga saya
pulang dari rumah, usai belajar bersama saya tentang pecahan campuran. Dan si
anak pulang dengan wajah merah habis nangis. Suatu kejadian yang tentu saja
sangat saya sayangkan. Tidak biasa, dan tidak menyenangkan membuat orang
menangis, lebih-lebih itu anak SD yang hatinya masih pualam.
Habis maghrib, sebut saja Dina, biasa datang ke rumah saya
menenteng satu dua buku. Sekedar minta tolong kalau ada pekerjaan rumah yang
tidak berhasil dia selesaikan. Pun juga hari ini, dengan dua buku tulis dan
satu kotak pensil dia datang dengan nada suara yang khas semi teriak mengucap
salam dari luar. Melihat saya belum beranjak dari tempat sholat, Dina
mengalihkan kegiatan dengan ambil minum dan makan kue-kue sisa lebaran. Saya belum
selesai, dan adik saya tengah sibuk di dapur bikin nasi goreng. Dina menyusul
ke dapur, dan rencana awal dia mengerjakan PR harus dilengkapi prolog
masak-masak bersama adik saya sambil bercanda teriak dan ketawa-tawa. Usai urusan
saya di tempat sholat, saya kerjakan apa yang bisa saya kerjakan karna males
juga nyuruh Dina datang dan fokus ngerjain PR sementara dia sedang asik di
dapur.
Singkat cerita, adzan Isya sudah lewat, dan mereka –adik saya,
Dina, kakak saya, dan satu orang anak tetangga yang lain- masih melingkar menghabiskan nasi goreng
home-made. PR baru dikerjakan saat nasi benar-benar habis.
Dina mendekat, dan karna pengaruh ketawa-tawa-nya masih, PR
dia kerjakan dengan kurang serius. Saya masih ngajari dia dengan enjoy. Tapi rupanya
tidak dengan ibu saya, berkali-kali saya sejajarkan mata saya ke mata dia demi
minta dia fokus, kali ini ibu saya lagi emosi berat. Dengan nada suara tinggi,
ditegurnya Dina, sampai masalah umurnya yang seharusnya lebih tinggi dari kelas
yang didudukinya sekarang pun, oleh Ibu saya diungkap. Kamu sudah besar-lah,
malu sama teman-teman yang sudah duduk di kelas bla bla bla lah, sementara kamu bla bla bla..
Oh my..
Dan lihatlah Dinaku sayang Dinaku malang.. air bening
mengalir pelan sekalipun berusaha dia tutup dengan poni yang menutupi sebagian
mukanya. Dia yang sedari habis maghrib ketawa riang, lalu benar-benar hening.
Diam. Dan kepala dia tangkupkan dengan meja. Pensil dia seret pelan-pelan.
Anak orang, putih hatinya, menangis.
Saya lirik ibu saya, mengisyaratkan agar membiarkan kami tinggal
berdua. Ibu saya pindah tempat, dan saya hibur Dina meskipun saya rasa sia-sia.
Aliran tangisnya ngk berhenti-berhenti. Sampai soal dari PR-nya yang terakhir
dia selesaikan, hanya satu dua kata yang dia ucapkan.
Masih seperti biasa, saya hanya menatap matanya,
mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa. Dan datanglah kesini besok meskipun PR
dari sekolah tidak ada.
Dia meninggalkan rumah saya. Tanpa salam, tanpa suara.
Saya melepasnya dengan helaan nafas. Lalu bertiga bersama ibu
dan adik saya, kita diskusi kesalahan fatal hari ini.
Tidak ada anak-anak yang salah, mereka hanya tidak tahu. Dan
saya rasa, saya pun harus benar-benar banyak belajar.
17 Agust 2014
20:21
Mb fath,,bikin aku keinget pas jaman SMP ngerjain PR sama tante ku kl nggk bisa sering di omelin plus di bandingin pulakk ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDelete