#Untitled
Kita menjebak diri dalam sebuah lingkaran imajinasi. Lalu
kita berdalih nafas kita adalah mimpi-mimpi. Kita lupa bahwa Alloh membenci
angan yang panjang. Tapi kita lagi-lagi menghibur diri, mimpilah nadi agar
tetap bertahan, agar yang hampir tumbang kembali menjejak untuk melanjutkan
perjalanan.
Desa dan kota, tatanan permukiman dan larik-larik perumahan
adalah peradaban berada. Ada kasak kusuk, ada hingar-bingar, ada tawa canda,
sekaligus retas gelisah. Tiap hari manusia berebut sepiring nasi, naik turun
tangga dan elevator, berpusing dengan naik turun saham dan kurs mata uang. Ada
kepulan asap, ada hening embun pagi, dan ada lari-lari anak pinggiran tak
bersepatu.
Aku ingin mengajakmu ke dua tempat. Dimana kau akan percaya
bahwa segala tak ada yang tak mungkin, kalo Alloh berkehendak. Tapi sekaligus
merenung, bahwa manusia tetaplah makhluk tak berdaya, mudah saja yang tinggi
besar tergolek lemas, hanya dalam menit-menit terjeda.
Pergilah ke Gunung.
Saat kau mulai jumawa dengan capaian. Merasa atap rumah mengungguli selainnya,
merasa kemilau bersinar semata-mata dari kekita. Lalu kita merasai jerih. Naik
perlahan dan lalu tampaklah kita kecil saja, apalah arti desa kota yang
membentang dari barat ke timur, apalah arti kursi-kursi rapi di gedung-gedung..
iya, ternyata kita kecil saja.
Puncak membuat kita menafaskan lega, dan lihat, dari diri
yang kecil kita tatap angkasa, tetap saja kecil kita adanya.
Lalu pulanglah kita ke tempat peradaban berada. Kembali
menghitung syukur, kembali melafal maaf, kembali merapat sesama. Dan menata
ranting-ranting dan kekayu untuk menghias rumah-rumah berjendela.
Pergilah ke laut,
sapalah debur ombak di pantai. Saat kau mulai merasa jerih, merasa cita-cita
terasa kosong, dan kerdil selalu yang kita rasa.
Sapaan angin di pematang kecil dekat muara, mengantar kita
di pinggiran pasir bertemu laut.
Apa yang kau saksikan?
Ada biru air bertemu langit, dan bahkan diujung pandangan,
langit dan bumi ternyata satu. Kau paham maksudku... ? ya, ternyata di tepian
laut kita menyeksamai, bahwa selangit tinggi apapun harapan yang selama ini
dijadikan pertahanan, ternyata begitu rendah begitu dekat dan melengkung turun
menyapa bumi. Hingga terhempas terduduklah kita sembari menitik syukur.. iya.
Langit itu dekat saja. Ibarat melompat sedikit saja di ujung pandangan mungkin
kita mampu bergelayut pada bintang-bintang.
Lalu kembali kita ke kolong langit yang kita namai desa
kota, yang kita namai larik-larik peradaban tempat manusia satu dan lainnya
mengukir karya. Melukis pelangi, biar sinarnya warna-warni, terbias gerimis,
dan lalu menyejukkan kembali seisi bumi.
Gunung dan langit, adalah patri ketika kolong langit
menyesak dan penat. Lalu kita kembali, bahwa waktu, akan menjawab semua do’a
dan janji, yang kita patri dalam diri kita sendiri.
01042015
8:17
Comments
Post a Comment