#untitled

Kemarin sore saya pulang kantor tenggo. Jam 4 udah beres packing semua bawaan terus menuruni tangga menuju lobby. Paginya kebetulan gerimis malu-malu, jadilah saya berangkat bareng Pak Catur. Seringnya kalo berangkat bersama, maka saya akan menunggu (dengan mengisi waktu di depan laptop, mampir Progo belanja sayur atau keperluan rumah, atau menyusul ke kantor beliau menunggu depan kantor atau menunggu di stasiun lempuyangan tempat miki di parkir). Tapi kemarin sore rasa-rasanya kontrakan memanggil-manggil, minta saya segera pulang.

Beberapa minggu ini memang ritme aktivitas sengaja saya buat selo, nggk sepaneng dan yang penting hati seneng. Kalo tidak dibuat begitu menjalani trimester pertama sepertinya akan lebih mencekam. Setiap pagi saya membatin mantra agar sedikit-sedikit sarapan yang tetap rutin saya lakukan masih ada yang tersisa diantara yang saya muntahkan kembali, jam 10 pagi di saat perut mulai melilit minta diisi lagi saya tidak  menolak apapun bekal yang saya siapkan maupun yang disiapkan suami dan tentu saja, aktivitas saya tidak terpengaruh perubahan mood sewaktu-waktu. Mantra yang saya rapal berkali-kali dalam hati, demi kehidupan di satu hari lancar sampai saya tidur lagi. 

Kemarin sambil menuruni tangga menuju lobby saya pesan ojek online sambil mengabarkan kalo saya pulang duluan. Selang waktu sebentar ojek online datang dan bertolaklah saya di boncengan bapak ojek ke rumah kontrakan. Saya amati bapaknya terlihat kecapekan. Beberapa kali saya mak tratab karna motor yang saya tumpangi diklakson oleh pengemudi lain, entah karena pas nyebrang kurang hati-hati, berhenti kurang maju mengikuti garis seharusnya berhenti dan macam-macam. Cukup was-was juga saya duduk di boncengan. Jalanan Jogja macet, jam kelas pekerja pulang kantor. Dan setelah beberapa waktu saya sampai juga di tempat tujuan. Tidak lupa bintang lima dan tip saya sertakan, siapa yang tidak sedang kesulitan finansial di masa-masa sulit seperti ini terutama pekerja harian?

Sampai di kontrakan saya merasa keputusan pulang duluan adalah keputusan yang sangat tepat. Kamar berantakan, bekas potongan stereofoam masih tersisa - menunjukkan sebelumnya proses sapu lantai asal-asalan saja- dari kegiatan pindah-pindah akuarium semalam, dan sampah yang belum dibuang. Tidak ada leyeh-leyeh, segera saya panaskan air demi membuat segelas teh kentel gula batu dopping agar kepala kembali kemepyar, dan mulai meraih sapu. Beres-beres sampai menjelang maghrib, saya buka pintu dan anak tetangga langsung teriak,
"Tante Fatiim.. itu layangan pusing-pusing.." Begitu Kinan anak tetangga usia 5 tahun mendeskripsikan layang-layang di atas atap kontrakan yang meliuk-liuk tidak mengikuti arahan senar induk semangnya.
 
"Wee.. Tante Fatim sudah pulang to.. nggk kedengeran pulangnya kapan" Sambung Mbak Lia, tetangga yang lain sambil menyuapi Shanum, anak pertama mereka yang baru berulang tahun pertama dua minggu lalu. 

Saya keluar dan nimbrung bersama para tetangga yang menyaksikan layang-layang putus, menyuapi anak, dan sekedar menendang-nendang bola plastik. Mengobrol sebentar dengan tetangga adalah aktivitas yang sangat besar manfaatnya saya rasakan, sekedar bahas gimana kemarin demo, trans Jogja uji coba yang sudah beroperasi lewat langsung depan kontrakan, atau pembahasan-pembahasan ngalor ngidul nggak jelas tapi sedikit-sedikit menambah wawasan. Sering pas ngobrol sebelum tidur dengan suami saya mengungkapkan ini "Ngobrol sama Ibuknya Shanum, sama Mba Maya itu kalo pas malem-malem gitu sambil cari angin di depan bikin saya lupa hal-hal yang tidak menyenangkan tadi di kantor atau di jalan mas" dan beliau cuma mengangguk-angguk. Ibu-ibu tetangga ini juga yang mendukung hari-hari di trimester awal dengan informasi perbidanan dan perdokterkandungan di Jogja.

Tidak terasa sudah hampir 9 bulan saya mengontrak di kontrakan yang saya tempati sekarang. Bersamaan dengan kontrak konsultan di tempat saya sekarang yang akan berakhir besok akhir Desember. Kadang-kadang kehidupan setelah menikah ini terasa menakutkan, seperti munculnya pertanyaan-pertanyaan gelap "bisa nggk ya", "cukup nggk ya", "bener nggk ya"  dan seterusnya. Tapi saya sadari juga (semakin saya sadari setelah saya hamil lebih-lebih) ada kekuatan-kekuatan yakin yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, dan seringnya ketakutan dan keyakinan itu muncul bersamaan dan tumpang menumpang. Apa ini yang disebut berkah dalam keputusan menyempurnakan agama?

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU