HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU

Bismillahirrahmanirrahim
Hari ini 7 tahun yang lalu. Ada harapan yang terpatri dalam hati, bahwa akan nada perbaikan kelak di negeri ini. Hari ini 7 tahun yang lalu. Ada harapan dan asa baru yang sengaja ditiupkan dalam diri, bahwa akan ada banyak dan beberapa nasib yang terubah lewat kebijksanaan dan kerrendahan hati seorang pemimpin terpilih. Hari ini 7 tahun yang lalu, asa itupun kalau mau masih akan terus diukir sampai sekarang. Dan hari ini 7 tahun yang lalu, setiap sektor punya arahan ke depan yang seolah dan serasa akan mengalami perbaikan.
Tak perlulah menyesali pilihan, karena memang pada saat itu kita tak ada yang akan terjadi 7 tahun kemudian. Bukankah saat itu yang menjadi kebulatan tekad adalah ikhtiar dan ketulusan tak perlu berbalas?? Cukup hanya Rabb yang esa yang tahu apa yang ada di hati masing masing. Atas do’a do’a pemimpin yang amanah, atas do’a pemimpin yang tulus ikhlas menjadi khadimatul ummat. Bukankah mulut mulut lugu rakyatpun tak henti melantunkan do’a atas pilihan akan pemimpin agar dikaruniai petunjuk dan kemudahan di dalam menjalankan roda kepemimpinannya?? Bukankah hati hati yang putih dari setia rakyat selalu tergerak dan teriak untuk menjerit pada yang esa agar ruh keadilan yang tertoreh lewat tangan pemimpin itu menjadi prioritas mereka?? Ya, apa yang diharapkan oleh rakyat selain kemujuran nasib selalu mengiringi jalan dan langkah pemimpinnya??
Itulah rakyat yang putih. Itulah rakyat yang tulus dan lugu. Mereka tak menuntut macam macam. Yang ada hanyalah semata do’a, agar pemimpin senantiasa dimudahkan, yang ada adalah pemimpin selalu dikuatkan, diringankan dan diberkahkan atas segala amalan amalan dan amanah amanah yang tak kunjung henti satu satu.
Masihkah ingat satu lagu: Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin yang sering dinyanyikan berbarengan dengan minal aidzin wal faidzin?? Itu lagu. Representasi dari putih dan tulusnya hati rakyat yang tak henti berdo’a.  Agar para pemimpin ini selamat. Tak tergoda oleh iming iming kuasa dan popularitas. Karena rakyat yang putih telah lama tahu, jauh lebih lama tahu, bahwa kuasa itu semu. Bahwa popularitas itu fatamorgana.
Betapa sungguh mulia rakyat. Hati hati putih rakyat. Terpadu oleh satu asa tulus dan ikhlas. Bahwa cinta mereka tak mengharap balas.
Lalu
Apakah dengan menampar dan menumpahkan gelas berisi tinta hitam pekat pengkhianatan ini cinta putih rakyat itu dibalas??
Sungguh
Daripada penyesalan nanti ketika sudah di akhirat, hengkang dari kursi dan mohon ampun pada rakyat atas segala khianat mungkin jauh lebih tepat, dan ijinkan yang siap mengemban amanah, siap menyiram subur asa asa rakyat yang menguncup itu, menggantikan. (Wallaho a’lam bishowab)
#Refleksi hari ini tujuh tahun yang lalu, kabinet Indonesia Bersatu

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan