Seperti Ketua Karmun?

.......
Ketua Karmun hafal betul tabiat rakyatnya, bahwa sifat dasar orang Melayu Dalam memang susah diyakinkan, tapi sekali mereka yakin, mereka akan fanatik. Dan rumusnya selalu sama, yaitu, untuk yakin harus ada yang memulai. Maka, bagi ketua Karmun, posisi Tancap sangat strategis.

Pagi pagi esoknya, Ketua Karmun sudah bertengger di klinik Dokter Diaz, dan ia mengajak banyak orang untuk menonton sistem pengobatan gigi modern, agar mereka percaya, agar mereka tak berobat ke dukun gigi A Put lagi.

Sayangnya, tunggu punya tunggu, Tancap tak kunjung muncul. Sampai habis 5 jilid buku Kho Ping Ho seri Pedang Kayu Harum dan kopi dua cangkir alumunium, Ketua Karmun menunggu Tancap, ia tak kunjung muncul. Beliau jengkel dan mengirim pesan kepada seorang penonton, tetangga Tancap, Mahip.

“Hip, bilangkan pada Tancap, kalau ia tak datang besok, posisinya dalam pengumpan dalam tim kasti kita, kucopot! Dia jadi pengurus air minum pemain saja!”

Gawat, esoknya Tancap juga tak datang. Padahal penonton sudah berkumpul ingin melihat aksi Dokter Diaz. Banyak yang sudah bercokol sejak terang tanah, termasuk aku. Aku pun ingin sekali melihat dokter gigi yang cantik itu unjuk kebolehan.

Ketua Karmun malu pada penonton dan tak enak hati pada Dokter Diaz. Wibawanya sebagai ketua kampung longsor gara gara Tancap. Barangkali keadaaan lebih tertanggungkan baginya kalau ia tak terlanjur mengumumkan pada masyarakat bahwa hari ini Dokter Diaz akan mendemonstrasikan keahliannya. Ketua Karmun muntab, mukanya merah.

“Hip, sampaikan ini dengan terang pada Tancap sialan itu. Jika ia ingkar lagi besok, dia tak boleh belanja dia pasar kita lagi, tak boleh minum kopi di waruung warung kita, dia bukan wargaku lagi!”

Sungguh tak elegan ancaman ketua Karmun mengembargo Tancap macam begitu. Tamatlah riwayat pendulang timah itu. Dikucilkan di warung kopi adalah sanksi terberat bagi orang Melayu yang gemar betul bersuka ria di warung kopi.

Celaka dua belas, esoknya Tancap mangkir lagi. Mahip mengabarkan bahwa Tancap menderita sakit gigi parah, pipinya bengkak seperti Timun suri, tapi ia tetap tak mau ke dokter gigi, pun takut berobat pada A Put karna ancaman ketua Karmun. Tapi lewat Mahip, Tancap menitip surat.

Mengabarkan Abangda Ketua Karmun,
Assalamu’alaikum,
Bang Karmun yang dirahmati Alloh,
Abang suruh aku belajar menulis, aku belajar menulis
Abang suruh aku KB, aku KB
Abang suruh aku mandi dua kali sehari, kuturuti mau Abang.
Abang suruh aku membuat WC agar keluargaku tak buang hajat di hutan, kukerjakan sepenuh hati.
Aku patuh takzim pada sepuluh pedoman PKK seperti mau Abang.
Sekarang Abang suruh aku buka mulut dan membiarkan perempuan Jakarta itu merogohkan tangan ke dalam mulutku? Tak usah ya. Dia itu, bukan muhrimku!aku tak mau gigiku dicabut, walaupun Abang mencabut nyawaku, aku tak mau berurusan dengan jarum suntik! Titik!
Tertanda
Tancap bin Seliman.

Leher ketua Karmun seperti kejang membaca surat yang bernada putus asa itu. Sungguh sebuah surat yang dramatis ungkapan jiwa Tancap nan dalam. Situasi ini amat dilematis bagi Ketua Karmun.  Terpaksa ia sendiri yang menjemput Tancap untuk mengantarkannya pada tabib yang ia percaya : A Put. Ia memboncengkan Tancap dengan sepeda reotnya, berhujan hujan di malam halilintar itu. Sepanjang jalan ia menggerutu karena malu pada masyarakat, terutama pada Dokter Diaz. Ia menyumpah nyumpahi Tancap yang meringis memegangi pipinya di belakang sadel belakang, sekaligus sayang pada rakyat jelatanya itu. 

Kawan, setujukah kalau kukatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak pemimpin Republik semacam ketua Karmun ini?



(Embargo, Maryamah Karpov- Andrea Hirata, pg 172-175)

                                                                               (www.benyaminlakitan.com)


#wanimilih

28032014


Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU