#UNTITLED
Semalam saya membaca tulisan Alldo Felix Januardy @alldofj, yang menuturkan pengalamannya menjalani satu masa sejarah ke maasa sejarah berikutnya, dari satu tempat perantauan ke tempat perantauan berikutnya. Sebuah tulisan reflektif tentang “Perjalanan Mencari Rumah”.
Hari ini saya mengamati lingkungan sekitar dan merenungkan makna se-frekuensi. Frekuensi. Persamaan gelombang.
***
Seberapa sering dalam pergaulan, kita berusaha untuk menyatukan pembahasan, mengenali satu sama lain secara terus menerus (karna waktu yang menjadikan kita semakin akan bertemu orang baru dan orang baru lagi). Tapi kemudian kita menyadari, terhadap satu atau dua orang seperti ada tembok imajiner yang membatasi. Batas itu seperti nyata, hingga ketika mau berusaha mengetuk tembok untuk sekadar berbasa basi pun enggan sebelum memulai.
Seberapa sering juga kita membangun tembok imajiner tersebut di hadapan orang lain. Hingga ketika sapaan datang pun tak berupa siraman sapa menyenangkan.
Frekuensi, benda imajiner yang kita biarkan untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan tentang interaksi yang kadang menjadi beku, menjawab pertanyaan tentang interaksi yang seperti ada penghalang, seperti memang hanya ditemukan karna adanya keperluan dan kepentingan.
Kenapa bisa demikian?
Barangkali karna setiap orang yang lalu lalang, satu dua orang yang memasuki kehidupan kita memiliki berbagai latar yang berbeda, pengalaman yang berbeda, tempaan dan lingkungan tempat dia tumbuh yang berbeda. Dan saat bertemu, semua bertemu dalam gelombang yang beragam. Ada yang sejajar, tegak lurus, bertumbukan tidak beraturan dan lain - lain.
Sering saya bertanya - tanya (dalam hati) mengapa seseorang bisa sangat terbuka terhadap satu orang tapi mengapa terhadap orang yang lain tidak bisa? Mengapa meskipun dua orang memiliki kepribadian sama, seseorang bisa menghadapi kedua orang tersebut dengan sikap yang berbeda? Mengapa bisa demikian?
**
Alldo Felix di akhir tulisannya menuliskan pernyataan ini,
“ tetapi percakapan-percakapan tersebut tiba-tiba membuat saya tidak merasa sendiri. Saya bukan satu-satunya orang yang tak berhenti mencari rumah yang nyaman untuk saya tinggali.
Saya tersadar bahwa perjalanan saya menjelajah ke Barat dunia bukan untuk “mencari rumah”, karena di mana pun saya berada, ada orang-orang yang merasa terasing.
Saya pergi untuk “membangun rumah”, di mana pun saya berada.
Tentu saja tulisan seorang Alldo Felix adalah perspektif luas membaca kacamata keadilan.
Tapi bukankah tetap relevan refleksi tersebut kita seret dalam kehidupan kita sehari - hari?
Orang - orang akan mencari lingkaran terdekat dari orang yang bisa menjadikannya tidak asing. Menjadikannya mau dan mampu mengemukakan pendapatnya. Mau dan mampu bahkan antusias berbagi pengalamannya. Bisa dan senang hati membagi keluhannya, berapi - api menceritakan mimpi dan ambisinya, atau sekedar menertawakan khayalannya. Semua orang mencari rumah, membangun rumah, dari satu keasingan ke keasingan lain. Dari satu pemberhentian ke pemberhentian lain.
**
Apakah saat menemukan seseorang yang kita pikir bisa menjaga frekuensi tetap sama, kita akan menjadi tidak lagi asing? Kita akan menemukan rumah?
16:56
28/06/2018
Comments
Post a Comment