Mataram dalam Satu Bulan

Menjadi orang baru di tanah asing bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan kehadiran pendatang di kota mataram. Sejak pertama kali mendatangi kota ini, ambience yang tercipta seolah - olah  kita sedang berada di kampung sendiri. Lingkungannya terutama. Seperti yang saya ceritakan di minggu pertama, tempat ini benar - benar sangat harmonis antar satu pemeluk agama dengan yang lain. Simbol simbol agama terpampang dengan jelas dan tidak ada masalah dengan itu. Biarkan perdebatan hanya terjadi di tempat bernama sosial media, tapi kenyataan di lingkungan sini sangat jauh dari situ. Apa yang lebih membuat orang bisa berdamai daripada kesadaran bahwa setiap kita, seperti yang disebut saraswati dalam cuitannya “lemah, takut, dan retan”, “menempati bumi dalam waktu sementara”? Mungkin nuansa seperti itulah yang tercipta disini.

Selain lingkungan, orang - orang yang saya temui adalah sisi menarik lainnya. Bahwa bumi bulat dan sangat kecil benar adanya. Rata - rata orang di kantor adalah pendatang dari Jawa. Kini meninggali tempat kos juga bersama orang - orang yang kesemuanya hampir pendatang. Asal kampus ternyata sama, atau kalo tidak ya kampusnya teman kantor lama, atau kampusnya temennya temen, intinya banyak lingkaran yang akhirnya terhubung. Hal - hal sederhana seperti inilah yang membuat kesamaan frekuensi ketika berdiskusi walaupun mungkin banyak sudut pandang yang digunakan.
Besok sore saya mudik. Terbang dari Lombok jam 6 pagi. Belum cukup banyak dari tempat ini yang sempat dikunjungi, dan dalam 10 hari kepulangan saya tidak tahu apa yang akan terjadi, atau keputusan besar apa yang mungkin akan saya ambil ke depan.

Tuhan kadang penuh kejutan.
Dan hari depan terlalu banyak tanda tanya.

29052019
18:27 WITA

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU