Bagaimana Nikah?

24 November 2019 saya menikah. Memutuskan untuk menerima ajakan seorang laki - laki baik yang datang pada Bulan Mei dan menyatakan keseriusannya untuk hidup bersama. Masih ingin ketawa juga kadang - kadang kalo ingat bisa mengiyakan ajakan seserius ini. Selain memang faktor U yang berperan penting untuk saya menyegerakan nikah (?), juga, mau nunggu sesiap apalagi? Tapi di atas semua itu, siapa yang ngajak dan yang mengizinkan pertama adalah paling penting, wkwk.
Catur Edi Gunawan adalah nama itu.

Saya masih ingat bahwa nama itu tidak asing, sering berkegiatan bersama, dan banyak kecocokan dan ketidakcocokan antara saya dan dia dalam sekali dua kali menyelenggarakan acara bersama. Lalu apa yang membuat akhirnya mantap mengiyakan?

Proses terbilang cukup cepat.

Setelah seseorang yang saya hormati menyodorkan nama itu, saya mempelajari biodata, saya mantap dan biodata yang saya kirimkan ke orang tersebut mendapatkan jawaban kemantapan yang sama, proses berlanjut. Mei biodata nama orang tersebut dikirimkan ke saya, tanggal 2 Juni kami bertemu pertama kali dalam rangka perkenalan lebih jauh. Tanggal 27 Juni orangtuanya datang ke rumah menyampaikan lamaran secara resmi yang berlanjut pada proses mempersiapkan acara akad nikah dan resepsi sederhana.

Satu hal yang saya garisbawahi dari proses saya akhirnya menikah ini. Saat masih tinggal di asrama yang cukup kental aroma untuk menyegerakan nikah, saya pernah menulis rencana hidup usia 25 saya akan mulai ikhtiar mencari partner hidup. Tapi tahun - tahun setelahnya pasca saya lulus dari asrama sudut pandang saya melihat proses bernama pernikahan berubah. Dari mulai bagaimana menemukan orang yang cocok, yang saya harapkan akan menjadi partner seumur hidup setelah nikah, cara memandang kesiapan diri, dan arti penting nikah itu sendiri bagi saya dan orang - orang di lingkar hidup yang saya temui dan yang akan saya masuki.

Lulus asrama, lulus kuliah, masuk dunia kerja, menjadi bagian dari keluarga besar kembali membuat saya mengkalkulasikan untung rugi. Untung rugi atas modal saya selesai kuliah (yang notabene saya berjuang banyak untuk itu, dibantu kakak dan orang - orang terdekat) yang sangat realistis ketika begitu masuk dunia kerja saya menginginkan reward untuk diri saya sendiri. Alias bahasa orangtua saya adalah nyari uang untuk menyenangkan diri sendiri dulu. Bukan berarti nikah nggk menyenangkan, tapi pasti ada kesenangan berbeda antara menghabiskan waktu sendiri dan setelah memiliki partner. Saya ketemu dengan teman - teman yang sangat alhamdulillah tidak galau - galau nikah karna melihat teman dekatnya nikah. Saya ketemu dengan orang - orang yang sangat enjoy menikmati hidupnya. Nonton bioskop bareng, kalau yang lain sedang ada kesibukan lain berangkat nonton sendiri pun tidak jadi soal. Teman - teman macam inilah yang memiliki frekuensi sama yang benar - benar saya nikmati keberadaannya ketika masa - masa ngasih reward ke diri sendiri tersebut. Saya yakin teman - teman yang sudah menikah pun punya dimensi kebahagiaan yang lain waktu itu, tapi saya sebagai tokoh yang sedang ingin berbagi cerita, benar - benar menikmati masa - masa sendiri dan sampai di titik “kalo nikah bakal masih bisa kayak gini nggk ya”.

Sampai dengan awal 2019 ketika memutuskan main ke Penang dan akhirnya merantau ke Lombok, masa - masa menikmati petualangan sendiri itu benar - benar saya syukuri. Sampai akhirnya kabar orang mau serius dengan saya itu tiba.

Saya mengenal Catur Edi Gunawan dalam sebuah perjalanan intens ke Blitar di nikahan Pipit, teman baik dari FIB UGM 2009. Sebelumnya juga kenal, wong satu organisasi. Tapi mengenal secara intens cukup saya dapatkan di perjalanan ke Blitar tsb. Di perjalanan itu banyak bertukar cerita dengan beliau. Jangan kan kepikiran nikah sama beliau, di perjalanan saya malah tukar cerita bagaimana “kebanyakan perempuan” kalo didekati orang yang terlalu baik seperti Mas Catur Edi Gunawan ini bakal berharap yang tidak - tidak. Saya mengkritisi “mbok jangan terlalu baik”, “kalo bisa kalo kondisi begini nggk usah dibantu”, dan “sampai si cewek minta tolong sendiri, nggak usah menawarkan bantuan”(yang mana setelah saya baca biodata dan perkenalan lebih lanjut, saya paham darimana karakter “terlalu baik” ini muncul). Percakapan dan cerita dari beliau tentang perjalan ke Blitar ini pun spontan muncul ketika akhirnya menjalani proses serius (ternyata setelah tukar cerita habis nikah, beliau pun menjadikan perjalanan ke Blitar itu sebagai salah satu pertimbangan).

Kembali lagi ke masa - masa saya bakal nikah sama siapa, saya pernah mikir meskipun saya besar dalam kultur ngaji bersama lingkungan yang nikah yang penting yaqin, insyaAllah cinta dapat ditumbuhkan tapi pas masa - masa mikir itu sempat kepikiran siapkah saya menerima dan hidup bersama dengan orang yang sama sekali asing, sama sekali baru dan tidak pernah saya kenali sama sekali pola pikirnya? Cukup sulit, pikir saya waktu itu.

Maka dalam perkenalan serius bersama orang yang akhirnya menikah dengan saya dua bulan yang lalu ini, saya benar - benar bersyukur. Ketika saya membaca biodata, otomatis saya akan dilempar pada karakter beliau yang kadang saya nggk suka, atau kadang - kadang saya kritisi. Mengenal keluarga beliau lebih - lebih. Akhirnya dengan dukungan keluarga dan teman-teman dekat, 24 November 2019 jam 8 pagi akad nikah berlangsung.





Rabu sore tanggal 27 November sampai 11 Januari kami LDR. Nikah berasa belum nikah. Masnya tetep kerja, dilanjut ngegrab, saya juga tetep kerja, main sama temen - temen kantor, baru malam telponan atau kalo selo ya videocall.

Satu hal lagi yang juga saya dapatkan dari masa - masa sebelum nikah, saya akan melanjutkan hidup saya tanpa ada yang berubah secara signifikan setelah proses nikah. Ada sisi aktualisasi diri yang juga ingin saya wujudkan. Ada sisi bermanfaat buat orang lain yang juga saya cita-citakan. Bersyukur beliau sangat sepakat dengan prinsip ini. Urusan domestik jadi urusan bersama, tidak ada spesifikasi dan spesialisasi siapa nyuci siapa masak, semua bisa dikerjakan bersama. Belajar bersamalah dari nol. Berhubung Mak Siti ibu saya dan Bu Sri, ibu mertua adalah sama - sama punya usaha makanan rumahan, kita sama - sama punya mentor yang handal untuk urusan dapur ke depan wkwkkw. Semoga nggk mengecewakan - mengecewakan amat ke mentor - mentor terbaik itu.

Dan nilai plusnya lagi, saya yang males - malesan baca buku dan nulis - nulis, berhubung masnya suka baca dan alhamdulillah juga suka nulis, semacam ketriggger untuk kembali membaca dan menulis lagi.

Kerikil - kerikil kecil pasti ada. Kalo tidak salah hitung, ada 3 kali saya dalam dua bulan ini mendadak nangis saat di perjalanan bersama beliau. Pertama pas habis nikah sebelum berangkat lagi ke Lombok. Saat itu perjalanan dari Jogja ke Magelang, di jalan kita diskusi wajah kita yang tidak ketawa lepas saat resepsi di Muntilan dan dasarnya suami yang orang psikologi, komentarnya langsung nusuk membuat saya terlempar ke masa hari - hari yang susah dilewati wkwkkwkwk (jaman bapak sakit dan saya terpaksa pulang). Nangis kedua adalah ketika cerita lingkar pertemanan dan lagi - lagi otak psikologinya membuat tabir kelam (wkkwkwkw) saya sedikit terbuka. Yang membuat saya akhirnya membeli buku self acceptance, dan terakhir nangis karna emosional setelah mantep balik kampung dari perantauan dan nyari kos di Jogja nggk dapet - dapet. Astaga! Lain cerita kalo pisah di bandara, kita malah ketawa - tawa seolah tidak terjadi apa - apa.

Begitulah 2 bulan ini.
2020 baru dimulai.
Petualangan baru- baru dimulai.
dengan partner 24/7 
melanjutkan cerita dari yang sudah - sudah
Agar semua terus baik, menjadi baik dan membawa hal - hal baik.
Semoga. 

*ps foto hanimun wkwkkwk alias jemput pindahan Lombok - Jogja






Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU