Menakar Pantas
“Minggu depan kesini lagi ‘Us’ ?”
atau
“Ini jawabannya bener kan ‘Us’?”
Ya begitulah. Panggilan yang lucu, sekaligus menyedihkan.
...........................................................................................................................................................
Ceritanya gini.
Belakangan ini saya kembali terdampar pada aktivitas bernama
mengajar dan mengelesi lagi. Dengan beragam murid, dengan beragam latar
belakang, seklaigus beragam tingkat pendidikan, dampaknya, beragam pula warna
warni hidup dan pelajaran yg sekaligus menggelitik pengertian.
Adalah Azzam, Umair, dan Zaid. Tiga bocah kecil usia sekolah
dasar, serumah, cowok semua, dihadapkan di muka saya, dengan segala macam
karakteristik anak cowok yang melekat, dengan ragam deretan mobil mobilan dan
replika tentara, dengan tumpukan komik naruto sekaligus stiker stiker shazuke
yg bertempelan, sekaligus tingkah jurus karate yang kerap dipraktekkan. Fyuuuh,
cukuplah jadi sarana refreshing dari segala penat berhadapan dengan sesama
mahasiswa dan sekaligus sarana mengisi otak dengan kejengkelan baru (?)
Cuma yang selalu menggelitik di telinga, dari tiga bocah selalu
keluar panggilan yang aneh binti ajaib dari sekian adik2 yang pernah saya
datangi.
Us.
Singkatan dari ustadzah. Allohumma.
Ya begitulah.
"Us! Saya ngk suka kalo kayak gini,,!"
"Us, ini roket yang dilepas nangkap alien kan?"
"32 bagi 4 tu lapan (delapan) kan Us?"
Us.
Sepanjang usia, selalu saya pahami, kosakata ustadz dan ustadzah begitu
berarti sakral. Ustad Sholihun, Ustad Tulus, Ustadzah Widi, Ustadzah Mimi,
Ustadzah Puji, dan ustadzah ustadzah yang lain yang berjuz-juz lembar alqur’an
dihafal, berbuku buku referensi materi diniyyah dibaca, berkali kali MMQ
Qiro’aty diikuti, dan lain sebagainya. Besar. sakral, dan tentu saja mendalam.
Dan semacam perasaan apa berputar putar di kepala atas
konsekuensi dari sebutan ‘Us’
Upaya memantaskan diri untuk layak dipanggil ‘Us’ yang
sering terlontar dari lisan bocah bocah mungil itu?
Apapun, menjadi pengajar sekaligus pendidik adalah
keniscayaan. Barangkali, bocah bocah itu mengingatkan bahwa ada derivat logis
yang harus dipenuhi dan harus dijalani ketika kita menyadari peran peran itu
hadir dan memang harus hadir tanpa ada kemampuan untuk menghindar darinya.
Bukan pada soal merasa lebih mampu, tidak. Meskipun mungkin peran yang
dijalankan berada di satu tingkat lebih atas daripada yang dididik. Tapi lagi
lagi, itu hanya persoalan hirarki pemahaman, atau parahnya, persoalan usia yang
menjadikan fasenya menjadi tahu lebih dahulu. Tapi pada hirarki keimanan???
Jangan salah, keimanan adik adik kecil itu jauh lebih utama, lha mereka baru
sedikit berbuat dosa kan?
Ya begitulah.
Panggilan ‘Us’ semacam menyadarkan, bahwa seiring
berjalannnya waktu dan bertambahnya usia, peran peran mengelola dan mendidik
itu bukannya semakin berkurang. Tidak. Maka sepertinya penyadaran penyadaran
akan arti penting kapasitas dan kepantasan menyandang sebutan ‘Us’ atau yang
ekivalen dengannya teramat sangat penting diulang ulang dan didoktrin di benak
kepala masing masing kita.
Semakin banyak membaca, semakin banyak mendengar, semakin
banyak diskusi, semakin banyak merenung
dan aktivitas aktivitas diniyyah yang diperkuat.
Nah, Buku apa saja yang udah dibaca bulan ini ‘Us’??”
Ahad 24022013
23.03
gambar http://brightfutureismine.files.wordpress.com/2012/11/muslimah.jpg
Comments
Post a Comment