Menulis Hitam - Putih - Abu abu


"Menulis adalah terjemahan dari keadaan, bahwa kehadiranku masih ada gunanya dalam kehidupan"

Berhari hari mencoba (berniat menulis), apapun. Mulai dari sms yang bermutu, status yang menggerakkan kebaikan, atau sebatas tweet yang membuat orang (dan diri sendiri) terhenyak dari kelalaian..satu, dua, dicoba, ada yang bisa, ada yang berputar putar terus diisi kepala, termasuk salah satunya menulis postingan di blogspot yang sekian pekan tak terjamah ini.

Kata kata Pram sebagai pembuka tulisan di atas sesungguhnya sugesti teman teman, bahwa memang benar, sebuah aktivitas bernama menulis, boleh dibilang adalah terjemahan eksistensi diri. Tanpa itu, bisa jadi keberadaan ibarat ada dan tiada. Yang biasa menyambangi akan termangu mangu, kemana dia, baik baik sajakah dia, atau begitu banyak kerjaan di bawah tanah yang tak terselesaikan juga mesti bulan segera beranjak tenggelam tergantikan siang.

Begitulah menulis.

Tak peduli tulisan apa, kepada siapa, muatannya apa, banyaknya berapa. Tumpahkan saja semua yang ada, baru setelah usai semua, uji kelayakan barangkali yang bisa dilakukan, kalau memang kurang pas momentumnya, barangkali bisa dipending beberapa saat, sampai tiba saat yang tepat. Tidak ada tulisan yang tidak baik, apalag ditulis dengan nurani penuh kesungguhan, jikalau tak tepat, bisa jadi hanya persoalan momentum.

Menulis hitam-putih-abu abu. Seperti nuansa blog ini yang baru.

Pelajaran Ustadz Deden beberapa malam silam, menegaskan kembali di benak saya, nilailah seseorang cukup dari apa yang nampak mata. Jangan menduga duga, apalagi sampai pada tahap syak wasangka. Apa hubungan kata kata ustad dengan maksud menulis hitam, putih, abu abu?

Tulislah apa yang hitam adalah hitam, dan tulislah yang putih adalah putih.
Tetapi kadang, pada tulisan yang hitam (warnanya (?), topiknya (dunia hitam maksudnya (?)), atau apa ?) bisa ditarik pelajaran putih oleh sebagian orang, meskipun dalam arti berkebalikan. Tidak mengapa. Semua, tuliskan.


Bagaimana kalau kehabisan bahan tulisan?

Itu sebenarnya pertanyaan retoris.


Orang menulis, akan identik dengan banyak membaca. Apapun. Studi kasus saya langsung. Bagaimana saya bisa kehabisan bahan tulisan (untuk proposal s*****i saya) ?


Jawabannya ternyata sederhana.
Saya (hanya perlu) banyak membaca yg berkaitan dengan topik tulisan saya sebagaimana yang dimaksud di atas.

Nah.

Bagaimana dengan tulisan blog? Yang temanya lebih general, dengan suasana hati lebih leluasa, dengan batasan waktu yang lebih longgar? Lebih banyak tentunya kesempatan topik bacaan yang bisa dihabiskan. Membaca dengan tak harus menghabiskan berlembar lembar halaman, atau duduk di depan laman laman web orang. Kadang kadang membaca (untuk bahan menulis di blog) cukup dengan seliter dua liter bensin, atau sepuluh dua puluh kayuhan sepeda, banyak bacaan sumber tulisan yang sesungguhnya bisa kita telorkan, lewat pelajaran pelajaran keseharian.

Selanjutnya, hanya soal mau tak mau.

Bagaimana dengan kamu (fathim) ?

20 Februari 2013
01.03



 

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU