#untitled
Mbak Fatim kenapa diputer lagu crisye terus??
Bagus aja Neng, ini dzikrul maut banget.
Itu, semacam percakapan beberapa
hari lalu.
Ini bukan sebuah prolog pembuka
yang mengajak pembaca menebak nebak yang bukan-bukan. Karna saya yakin, tak
semua perjalanan hidup riil tergambar dalam sinetron sinetron Indonesia, atau
drama drama korea yang bersedih sedih.
Kemudian minggu ini berganti, lebih
banyak lagu lagu “Ibu doakanlah”nya seismic, dan “Berita kepada Kawan”nya Ebiet
G Ade yang terputar berulang ulang, diantara the cloud dan koi-nya Kitaro.
Terlepas dari apapun lagunya, ini
tentang membangun semangat kawan. Agar akal dan rasa berjalan beriring dan tak
menabrak norma norma yang normal saja. Penjara perasaan, yang acapkali dipunya
para kaum hawa seperti saya, memang harus sering sering diasah agar tak
menumbalkan banyak hal yang itu biasa saja ketika kita menjiwainya dengan
logika.
Tetapi keseimbangan rasa juga
perlu, agar semangat pembelajaran benar benar menyatu, menguatkan,
menggerakkan. Karena juga, acapkali hal hal yang sudah sangat sesuai dengan
runtutan alur berpikir ilmiah sekalipun, menjadi melelahkan saja karna tak jua
kuat hati menjiwainya.
Ingat mati, membuat kita terus
semangat berkarya untuk hari ini. Untuk menyegerakan beramal baik karena bisa
jadi ini amal terbaik sebelum kemudian sekian detik lagi kita tak bernyawa
lagi, membuat kita berpikir berpuluh kali untuk memulai proses bernama janji
dan hutang karna tak yakin apakah kita mampu melunasi yang membuat kita
menyitir ungkapan Insya Alloh ditiap tiap ujung pangkal perjanjian yang kita
buat.
Kalo pak Aris Marfa’i salah satu
dosen saya, bahkan dalam menumbuhsemangatkan satu pekerjaan yang kiranya
“sepele” seperti skripsi, anda bisa melakukannya dengan luar biasa ketika
mengingat mati (ngk gitu persis juga sih kata katanya, tapi insight yang
didapat kurang lebih begitu).
Maka sungguh, ketika anda merasa
pekerjaan serasa berat, anda merasa seakan kurang sreg pada suatu kondisi, anda
merasa “kok ini gini banget sih” atau “Alloh, kok berat banget eh”, dengan rasa
berkecamuk acak random atau apapun juga, menyemai waktu untuk sekedar main ke
tempat tempat yang membuat ingat mati boleh dicoba. Ke rumah sakit, ke panti
asuhan, ke makam pahlawan, atau yang paling utama adalah menghadirkan buka’
(rasa ingin menangis) saking menjiwainya dalam membaca Al Qur’an.
Kemudian ingat Ibu, ingat orang
tua di rumah. Sepertinya akan menjadi energi luar biasa ketika ketertenggelaman
dalam lautan aktivitas mendera. Apalagi yang jarang komunikasi langsung, atau
yang kultur keluarganya bukan kultur yang mudah dekat satu sama lain (ada kan
ya? Apalagi kalo dari Jawa yang semi priyayi, kadang kadang, ta’dzim versi
unggah ungguh Jawa membangun kedekatan yang sedikit berbeda dengan deskripsi
umum, kedekatannya masih memunculkan rasa canggung juga untuk mengucapkan “Aku
Sayang Ibu” meskipun dalam banyak tulisan dan ucapan ucapan do’a itu senantiasa
dilafalkan). Maka rasakan saja kedekatannya, melalui energi mengingat dan
menjiwai perannya. Siapapun ibu yang kita punya, dialah yang terhebat dan
hadiah terbaik yang dihadiahkan untuk kita.
Walhasil, energi tawazun, adalah
memang sesuatu yang menuntun kita memperbaharui terus dan terus. Energi
keseimbangan. Tak dominan di kanan, tak juga memberat di kiri. Barangkali
proses bersama waktu dan kebersamaan bekerja dengan banyak kondisi dan karakter
satuan satuan jiwa manusia, membuat merasai banyak peran yang sebelumnya jarang
terhadirkan di hati kita.
Ambillah masing masingnya
seperlunya, sebagai bekalan hidup panjang selanjutnya. Untuk 40 atau 50 tahun
ke depan kemudian, barangkali, inilah lompatan memulainya.
Multazam 7
15:32
#bersama rasa, hiasilah ilmu padanya,
agar efek tak pernah membabi buta
Comments
Post a Comment