Versi

“Awake dhewe bakal gandhengan karo sing ditresnani sesuk mlebu suwargo”

Itu penggalan isi pengajian dalam rangka Maulid Nabi di at Taqwa semalam. Menceritakan bagaimana seorang shahabat mengatakan kenyataan bahwa sangat cintanya ia pada Rosululloh SAW, dan berharap selalu bersama dengan beliau.

Well, saya jadi ingat satu penggalan kisah di bukunya Kang Abik, Ayat-Ayat Cinta, dimana Fahri sedang di penjara, dan habis sudah akal Aisha mengupayakan kebebasan sampai ada terpikir akan menyogok keluarga Bahadur dengan sejumlah uang. Beruntung, Fahri adalah orang yang memilih di penjara dunia daripada jatuh pada kobaran api neraka, sekalipun untuk sebuah kesalahan yang tak pernah dilakukannya.

Kita akan bersama dengan orang yang kita cintai besok di hari akhir, cinta yang benar akan membawa ke syurga –pun- bersama-sama.

Mungkin begitu. Ketika sampai pada satu kesadaran akan cita besar syurga, cinta tak berhenti pada sebatas kata, aku cinta kamu, maukah kau menjadi istriku, atau biar lebih tersimbolkan islami ditambah sedikit kata, aku mencintaimu karena Alloh, dst dst. Cinta kadang serupa diam yang meniscayakan kerja-kerja.

Determinasi wujud cinta, pun kadang tak semua sama, juga tak diharapkan oleh semua orang terwujud sama. Dalam sebuah obrolan dengan dua orang saudara, kita mencoba mendeterminasikan cinta dengan beragam rupa. Seperti orang yang terbiasa banyak kerja misalnya, wujud cinta adalah dalam diamnya, tapi tiba-tiba ada kejutan tertentu yang membuat hatinya berbunga, pun, juga rasa terkejut yang diungkapkan dalam diam-diam saja. Konkritnya misal, seorang istri yang pulang dengan ban motor rusak, atau plat nomor motor rompal dari sepeda, dengan tanpa banyak kata keesokan harinya tampak sudah betul dan normal sebagaimana biasa. Sepertinya garing ya, tapi tetap ada juga yang menikmati dengan perwujudan demikian. 
Romantika versi sekrup kami katakan. Bisa jadi tak banyak yang menikmatinya, tapi, ada perwujudan rasa yang besar tak kira-kira yang tak habis lewat bualan kata-kata. Hanya segelintir kata yang kadang terucap, dan yang tak tampak, ia jauuuh lebih besar. ibarat gunung es, kira-kira begitu.

Ada juga yang diungkap lewat kata-kata dan puisi atau apapun itu yang terucap verbal secara jelas. Konon inilah yang seharusnya dilakukan. Sebuah kesalahan dari tradisi orang-orang tua yang teramat jarang berucap kata-kata sayang di depan anak-anaknya terlebih bagi orang jawa, perlu direvisi untuk generasi sekarang. Saya rasa ini perwujudan yang lugas, dan tentu saja sangat baik.  Karna Rosul pun bersabda, kalau kau cinta saudaramu, ungkapkanlah. Romantika yang terwujud lewat puisi, begitu kira-kira namanya.

Atau yang terakhir, cinta yang tak terbatas ruang dan waktu. Saya mengibaratkan cinta Rosul kepada Khodijah, yang tak henti-henti disebutnya sang Khodijah yang sudah almarhumah, sebagai istri kecintaan sekalipun beliau sudah mendapatkan ganti yang muda lagi lebih cantik. Cinta yang tergetar dalam ruang rasa dan ruang rindu. Cinta yang tak terbatas jarak, juga tak peduli saat satunya sudah tiada. Yang seperti ini, kadang mengharu biru tapi juga menyisipkan beragam pelajaran. Seperti ketika Umar bin Abdul ‘Aziz mencintai seorang gadis, dan memilihkan seorang laki-laki justru untuk menikahi gadis yang dicintainya. Ketika di tanya, Umar hanya mengatakan, bukan. Aku menikahikanmu dengan lelaki ini bukan karena tak lagi cinta, tapi justru cinta ini semakin besar (ada di bukunya ust Salim yg Agar Bidadari Cemburu Padamu-ProUMedia). Ini baik? InsyaAlloh. Inilah romantika dalam sebaran spasial atau agihan keruangan.

Hahaha bagaimanalah cara kita mengklasifikasikan cinta versi kita masing-masing, tapi yang jelas, seyogyanya kepahaman akan cinta ini menggiring bahwa cinta adalah suci lagi baik. Setiap rasa, tentu saja akan melahirkan hujjah. Dan setiap rasa yang berhujjah, masing-masing akan menerima konsekuensi. Misal soal rasa, ketika dia dibangun atas keinginan meninggikan agamaNya, maka konsekuensinya adalah Syurga, sebaliknya, kecintaan yang membabi buta dan ternyata beralasan niatan menyimpang apalagi merendahkan agamaNya, kobaran api neraka tempat abadinya.

Maka benar kata Rosul, kita akan bersama dengan yang kita cintai. Ke syurga, jika kecintaan kita beraroma syurga, pun sebaliknya, akan bersama ke neraka dengan ungkapan kebencian kepada yang di dunia di cinta, teriring caci maki saling menyalahkan dan saling berlepas diri atas tanggungan dosa satu yang lainnya.

Maka, sejatinya kita lah yang punya kuasa akan kita kemanakan rasa itu dimuarakan. Kita yang punya kuasa, dengan berlatar kepahaman yang tak henti kita cari, bukan sebaliknya, kita diperbudak oleh rasa, dan merunut mengikutinya hingga lupa etika dan syariat Alloh yang membatasinya.

Selasa
28 Januari 2014

5:21 AM

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU