#untitled

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. (Gie)

Menilik realita orang-orang terpinggir, orang-orang kecil memang tidak pernah nikmat. Setidaknya, jika kita punya alat pembanding dengan jalan-jalan ramai yang hilir mudik berwarna mewah dunia tiap hari. Tapi menikmati jenak pertemuan dan menikmati hari-hari yang mereka habiskan adalah keajaiban. Karna dalam detiknya, karna dalam waktu yang bertambah sejengkal demi sejengkal masih ada ungkapan “untungnya” meskipun masih sepi dari cukup kebutuhan hidup dari standar.

Hari-hari terakhir Alloh sempatkan saya melongok takdir-takdir baik yang dipunya orang yang dibawah kecukupan dari saya, untuk sekadar menilik kembali betapa banyak nikmat yang terlewat disyukuri. Diskusi di sore hari bersama adik kelas, tentang kebelumjelasan rencana setelah hingar bingar kelulusan, tentang satu dua orang sakit, tentang perjalanan jauh menyengaja menikmati lelah sekadar pemutus nikmat tiap hari lalu lalang dengan kendaraan yang tinggal naik mengantar sampai ke tujuan, hingga beruluk ta’dzim pada guru yang setia menyambut bendelan kertas ditengah tumpukan bahan koreksian, pada rambut yang kian memutih, pada senyum teduh di setiap kali ruangan ramai pengunjung.

Hidup adalah menjalani rasa, jika di tengah gempita ada yang terluput dari lupa di atas banyak yang lebih diingat. Hidup adalah mengawasi lupa, agar simpangan tak keliru jalur yang mana yang diputuskan. Bukankah se ditengah-tengah-nya kita berjalan kita tak kan pernah sebenar-benar di tengah? Bukankah seluput-luput kiri masih saja kita kadang mengambilnya sebagai langkah?

Hidup adalah bilangan waktu hidup dan tak hidup. Ada aturan yang dipatuhi, ada prosedur yang dipenuhi, ada bilangan tak pasti sebagai durasi. Lalu dalam centang perenang tempat kita ada, kita menempatkan diri dimana? Di satu titik kita adalah batu bata tumpul, tapi tak juga membundar ujungnya. Di sisi lain, kita adalah kerikil kecil yang terhempas ombak hingga menyusut sekecil pasiran atau malah debu. Tertiup angin, jatuh di sabana luas, atau sebuah tempat bernama gumuk pasir. Tak ada hujan, angin bertiup pelan, hingga berkumpullah dalam jumlah ribuan dalam fungsi tak pasti. Tumbuhlah perdu pohon di sela-sela luasan, sesekali ditingkahi bunyi serangga pasir dan ular gurun.  

Berjalan mendaki memang tak melulu menatap lurus. Kiri kanan jalur perjalanan adalah cerita penuh yang bisa direkam, sekaligus adalah juga, hambatan dan tantangan.

Lurus saja, ada ujung tak bertepi di atas sana, menanti.

26022015

6:30

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU