LELAKI HARIMAU : SEBUAH REVIEW

Menyadari bahwa tidak banyak kekuatan ingatan yang saya punya untuk menyortir ingatan – ingatan secara rapi, kebiasaan menulis adalah kebiasaan yang menolong dan menguntungkan. Dan bulan – bulan seperti sekarang ini : Januari adalah waktu yang akan leluasa untuk menumpah ruah apapun yang ingin ditulis, karena pekerjaan tidak terlalu banyak menyita waktu (teorinya).


Berikut adalah review singkat untuk buku yang saya beli di keributan harbolnas bulan Desember 2017 kemarin. Buku yang saya baca sehari semalam, dan mungkin akan saya baca lagi beberapa hari mendatang.

LELAKI HARIMAU: SEBUAH REVIEW

Sebelum membaca buku ini, saya membaca sambil lalu beberapa review dari orang – orang, lewat blog maupun review singkat di goodreads. Sama sekali belum terbayang ceritanya seperti apa. Saya juga mengikuti blog Eka Kurniawan (pengarang buku ini) untuk membaca ulasan – ulasannya mengenai sastra, kepenulisan dan berbagai buku. Tapi saya tidak menemukan spoiler atau apapun ada dari sekian banyak tulisannya. Atau lebih tepatnya, saya tidak berusaha menerka apa arti dari metafora lelaki harimau.

Bagian 1 yang mengecoh. Eka kurniawan bercerita seperti untuk dirinya sendiri. Intonasi dan pemenggalan kalimat seperti dia sedang menulis untuk dirinya sendiri. Dan memang bukankah harusnya memang begitu? Sedikit butuh penyesuaian saat membaca paragraf – paragraf awal. Terus terang sedikit ngos – ngosan karena penulis lebih memilih menjeda sementara-kan kalimat yang panjang – panjang daripada mencukupkan informasi itu dalam satu kalimat ringkas. Sedikit butuh nafas panjang, karna rupanya cerita ini tidak sependek kelihatannya.

Bagian satu mengecoh saya karna saya mengira tokoh utama adalah nama – nama yang tersebut di awal. Tapi dengan sudut pandang pertama dan ketiga yang berganti – ganti, bab 2 dan bab – bab selanjutnya mengatur alur mundur. Dengan antiklimaks yang apik di bagian akhir.

Cerita yang disampaikan sangat realistis, meskipun tetap mengundang kritik bagi saya yang kelewat lurus : apakah begitu? Jika pun tradisi begitu, apakah kita harus setunduk itu tanpa bisa dicari ruang – ruang untuk kompromi? Jika dihadapkan pada sikap kejam semacam itu apakah tidak ada perlawanan? Atau jika saya terlibat dalam jalan cerita apakah saya akan menyikapi seperti Margio, Mameh atau muncul dalam watak baru yang sedikit berbeda?

Margio sang tokoh utama adalah makhluk bernama manusia yang sangat biasa. Menjalani hidup dengan ajaran moral dan tradisi agama dari kehidupan sehari – hari. Hidup dari kemarahan masa lalu dan persoalan keluarga. Kisah cinta yang gagap dan berakhir dengan tandas oleh sebab keegoisan – bukan – ada ruang tak bernama yang menampakkan sosok antagonis dalam cerita ini sangat kerdil dan memuakkan.

Sebenarnya apa yang ingin penulis paparkan dari cerita ini .. ?

(sumber gambar: ekakurniawan.com)

Dampak yang ditimbulkan setelah saya membaca buku ini kurang lebih sama ketika saya selesai membaca buku Sepasang Mata yang Indah Dipandang (Ahmad Tohari: 2013), Amba (Laksmi Pamuntjak: 2012 ) atau setelah saya selesai menonton Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya: 2016). Diam tepekur dan sedikit pening. Cerita riil yang kelewat dewasa untuk saya konsumsi. Cerita yang terlalu luas untuk jangkauan pikiran dan referensi yang berhasil saya endap sampai di usia ini. Dan.. kita seperti tersedot dalam pusaran cerita tidak peduli seberapa jeli kita sudah mengatur diri untuk tidak terlibat masuk ke dalam. Mengatur hampir presisi agar berada di jarak aman. Tetap saja tidak bisa.

Indikasinya mudah : diajak ngobrol sedikir tidak nyambung, menekur lama, dan akan mengambil waktu cukup lama untuk menyendiri.

Margio membunuh dengan cara kanibal. Mengakhiri harapan atas pemujaan kepada perempuan yang dia cintai sekaligus yang dia ketahui tak akan pernah dimiliki : karna jeda yang teramat jauh dan disempurnakan kenyataan bahwa mereka saudara seayah – dengan keterpaksaan penyebutan ayah karna ibunya mengandung anak yang diperolehnya dari ayah perempuan yang Margio cintai.
Margio yang bertahan untuk senyum ibunya, sekaligus kebencian yang bertumpuk dengan rasa kasihan pada ayahnya. 

Mengakhirkan pesan getir : Berhati – hatilah pada pikiranmu sendiri. Jujur dan ambillah resiko untuk suara hatimu sendiri. Katakan apa yang kamu sukai, dan katakan pula apapun yang tidak kamu sukai. Hidup ini singkat, terlalu sia – sia untuk menyimpan hal - hal yang tak tuntas.


16012018

13:41

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU