Terlahirlah untuk Memberi Solusi
Barangkali bisa, seketika pergi
dan tidak perlu kembali lagi. Lupakan. Dan seolah olah yang kemarin kemarin itu
tak pernah ada. Diam. Diam sekalian. Diam. Ya. Diam dan asik dengan dunia dan
khayal yang kita cipta. Menulikan telinga. Sangat mudah dan bisa. Sangat bisa. Cukup
ciptakan lamunan, ikut arus menatap lurus kedepan pada jalan yang sengaja kita
cipta di benak dan angan saja. mudah bukan? dan sangat bisa. Membebalkan rasa,
cukup puas dengan perut kenyang hati senang, sangat mudah dan bisa. Enough. Orang
lain tak repot dan kita tak pusing. Aman dari apapun, tak kan dicekal, tak kan
diasingkan, tak kan menjadi bahan gerutuan, asal diam. Toh era demokrasi
menghargai yang demikian.
Diam pada banyak hal yang tak
kita sepakati, meski bertentangan dengan hati nurani, diam, dan mengikut sistem
yang abai pada nurani nurani kecil yang bicara satu satu berdengung meriuh. Diam.
Dan cukup diam melamakan tatap kosong saja. Sangat bisa kalo mau.
Tanpa effort, tanpa kerja, dan
ketika suatu saat ada perubahan kita kan tetap ikut menikmatinya. Iya atau
tidak, itu menjadi (semacam) hal yang menyenangkan.
Mendiam dalam kubangan air yang
menggenang, maka tak lama ia akan membau macam comberan. That is. Enough.
Tapi saya memilih berbeda. Ini pengkhianatan
pada hati sendiri jika harus diam tanpa pilihan. Ini juga akan menjadi
kebohongan jika saya lari mengejar dengan topeng yang menjijikkan. Pura pura. Sandiwara.
Dan dialog hati yang kerontang dipaksa dengan seember air darah nanah yang
meluapkan muntah.
Karena berbeda. Mengasingkan. Ini
pilihan paling rasional yang harus saya ambil. Saat ini. Bersama yang memilih
mengasingkan juga dari alur alur lurus yang elok dipandang.
Sekali lagi ini pilihan paling
rasional atas pilihan pilihan yang dihadirkan.
Diam?
Atau sekali lagi Diam?
Atau sekali lagi akan Diam?
Tidak.
Karena pilihan ini pasti, solusi,
itu yang dicari. Dan takdir ini menulis, terlahirlah untuk menjadi solusi.
Comments
Post a Comment