Ya, Lebih Tepatnya (Tekad Keibuan) ini Kebutuhan
Dua bulanan tinggal di asrama, kala itu. Dan saya memutuskan
akan menyalip banyak orang dari kanan. Yap. Bisnis. Saya pikir itu satu jalan
mengaktivasi cari duit lewat otak kanan. Kuncinya Berani + Nekad. Modal dan
Pasar, pikir entarlah. Maka segera, semua adik adik les saya, dengan sangat
terpaksa sekali, dengan sendu sedikit pilu, saya kabarkan pada mereka, saya
pamit tak ngelesi lagi, tak membersamai malam malam mereka lagi, dan mempersilakan
untuk mendapatkan arahan lewat guru les yang lebih canggih dari pada saya
(padahal sesungguhnya yang beraaat amat melepas putik putik generasi yang
bermekaran itu adalah saya). Tapi, membulat sudah keputusan, saya akan melepas
profesi pekerja (walopun toh ini sampingan, kan utamanya saya belajar :P) untuk
fokus menekuri apa yang disebut bisnis (padahal pun ini saya sangat buta).
Waktu berselang, singkatnya saya mulai mencoba coba nerima pesenan cateringan, mau snek, makan berat, dari yang Cuma 10 bungkus, sampai yang ratusan saya iyakan. Omzet, untung, jangan ditanya. Keberanian untuk mencoba dan melakoni hingga meng-istiqomah-i, bagi saya adalah sedikit prestasi ditengah kerendah dirian saya bergaul dengan masyarakat luas. Hingga sampai saat ini. Banyak saya belajar. Keberanian, ketekunan, keuletan, penghargaan pada serupiah dua rupiah uang, silaturahim dan tegar tersenyum setiap saat, adalah sedikit dari impuls impuls yang terus menegangkan dan mengaktivasi otak saya mengharuskan saya kaya. Terjatuh, terpelanting, belum banyak saya rasa, karena toh yang saya kerjakan belum memunculkan rasa itu meskipun ada ritme ritme harus jatuh. Sampai hari ini.
Tapi sejak kemarin sore,, tiba tiba saya ingat Bintang,
ingat Tunggul, ingat Rena dan Rino, ingat Gilang, ingat Akmal, ingat Embun, ingat bocah
bocah sholih yang biasanya berwajah manyun matikan TV begitu saya datang ke
rumah rumah mereka. Ya. Sejak kemarin sore, saya banyak termenung mengingat
mereka. Dengan siapa malam malam begini mereka belajar satu tambah satu? Dengan
siapa mereka mereka reka maksud soal cerita tentang untung rugi dan bunga Bank?
Tiba tiba saya merindui saat mereka
teriak hore, yess saat tau jam les sudah habis. Ya. Rindu pada wajah wajah yang
saat saya pamiti mereka menangis mbak besok kesini mbak besok kesini.
Dan saya pun mengingat fragmen sejenak saat di merbabu 3
hari. bersatu dengan bocah bocah pecinta AlQur’an yang konon tak lama lagi akan
segera khataman hafalan, meneriakkan lagu dan irama gunung, berlari meneriaki,
dan melambaikan tangan selepas mengantar sampai ke persimpangan jalan karena
saya pulang tak kebagian boncengan motor.
Anak Anak Merbabu itu :D |
Sejenak saya merenung, ada yang menyentak. Saya rindu naluri
saya yang dekat dengan mereka. Saya rindu pada jenak jenak mengelus kepala. Saya
rindu menatap sejajar matanya. Saya rindu pada polosnya wajah dan cita biru
mereka. Tak saya pungkiri, jiwa saya bahwa saya wanita memberontak oleh
kerinduan yang setengah menyesak.
Wanita, mau tak mau, suka tak suka, bagi saya itu amanah dan
kebutuhan utama. Kewajiban mungkin iya, wajib melahirkan, merawat dan
membesarkan, tapi itu padu dengan kebutuhan tangan wanita yang memang harus
seperti itu. Maka bagi saya, saya yang jauh lebih butuh adanya mereka. Persoalan
menjadi wanita karir, anggota parlemen atau pegiat LSM, saya pikir itu pilihan.
Bisa disiasati lebih fleksibel. Tapi jiwa ibu, jiwa merawat, jiwa
menumbuhkembangkan, dan jiwa jiwa mendengar memberi solusi adalah jiwa jiwa
alami, yang bagi wanita –marilah kita jujur pada nurani- adalah satu pemenuhan
kebutuhan jiwa kita sendiri.
Dan Kebutuhan itu kewajiban juga, selaras dengan memang yang
seharusnya saya (dan semua wanita) lakoni. Mendidik generasi, adalah mendidik diri ini sendiri..
Comments
Post a Comment