Pahami, dan Tuluslah Memberinya Rasa
Latar, pengalaman, asa yang terbangun, rintangan yang
terhadap dan informasi wawasan yang terkembang membuat ia jengah dengan realita
yang ada. Egonya membuncah, karena kiri kanannya tak tanggap dan menganggapnya
bermimpi melangit tak menginjak bumi.
Disisi lain ditemui, pragmatis memilih ada. Asal ikut dan
berbekal kepercayaan pada pemimpinnnya belaka.
Tak sedikit pula yang pijar matanya adalah optimis menatap
masa, meraba keteraturan dan tak menuntut banyak.
Tapi ada yang manja dan tak punya inisiatif bergerak, mesti
direkuh dengan pemahaman pemahaman terbata.
Ada juga, berupa rupa yang mencibir dan menghentak cukup! cukuplah
sampai disini saja.
Inilah sejatinya memimpin. Mengarahkan. Menunjukkan. Menata.
Memahami. Dan berusaha mengerti. Berwarna warni rupa yang harus dikelola, ya,
langkah satu adalah memahaminya.
Memahami dan mengerti, butuh waktu yang tak sebentar,
memahami dan menjawab iya apa yang terbersit dibenak dan terucap dalam argument
argumennya. Maka lihatlah, pijar matanya saat ia bercerita, bola matanya yang
tergerak melihat kita mengangguk tekun menyimak. Berikan dia rasa percaya. Percaya
sepenuhnya, bahwa kita adalah kakak, teman, adik, saudara dan rekan kerja yang
bisa dipercaya olehnya.
Saat mata saling
bertaut pandang, maka pastikan hati terjalin terajut rapi. Disinilah sesungguhnya
rasa berat melawan ego pribadi. Kesabaran kita mendengar, pendiaman kita meski
kita sebenarnya lebih tahu, ketelatenan kita menyimak bicara, tak menyelanya
dalam panjang kali cerita cerita hebatnya dan penceritaan penceritaan
kehebatannya. Maka sungguh kita telah memimpin pribadi sendiri sejalan dengan
kita memimpin hati yang kita berhadapan padanya.
Memahani dan mengerti, sampai batas dia telah punya rasa
sepenuhnya mempercayai kita. Cukup. Dan diamkan. Tak perlu kita memberi solusi
solusi bahkan, karena ini baru pertama kali.
Besok lagi, temui dan datangi untuk memahami, ada bekal bagi
kita pribadi untuk menghadapi apa yang akan tercerita dari binar harapan dan
kejengahannya atas hal yang biasa saja disekitarnya.
Dan lihatlah wahai, dia lagi lagi banyak bercerita. Dan cukuplah
kita diam saja dan yakinkan kita adalah orang yang menjadi tumpahan apa yang
bisa ia tumpahkan ke kita.
Ketiga kali, keempat kali, sampai ia pribadi bertanya,
menurut anda seperti apa, maka masuklah pada jalan jalan kepercayaannya pada
kita. Jalan jalan yang ia mau menampung apa yang mengalir dari mulut kita, tak
menggurui, tak lebih hebat, tapi kita adalah kawan sejawat.
Kelima kali keenam kali, mampulah ia berbagi masalaha untuk
menemukenali alternatif solusi solusi. Disinilah mulai kita masuki gagasan
gagasan kita. Kita rekuh hatinya dengan menegaskan yang harus dan yang
dilarang.
Memahami.
Dan belajarkan sang dia dari masalah masalah yang tak perlu
kita tutup tutupi. Belajarkanlah sang ia dari kepahitan dan kemasaman realita. Belajarkanlah
pada ketidakbenaran dan keamoralan yang harus ia kelola untuk bertahap mencapai
kebaikan. Belajarkanlah pada yang asasi. Belajarkanlah bukan pada teori teori
yang terasing dari kehidupan kehidupan yang sebenarnya. Belajarkan pada sejarah
sejarah dan biarkan benang merah itu dia tarik sendiri. Belajarkanlah, dan
belajarlah agar bisa saling belajar ketika fase fase kita memahami sampai pada
waktu yang takterfragmentasi lagi.
Memahami. Dan lanjutkan pada memberinya rasa percaya, bahwa
dialah yang hebat pada masanya.
Memahami. Akan jadi fase panjang untuk memahami diri
sendiri. Dan taulah kita bahwa kita kerdil, tak berarti, jika sendiri.
Comments
Post a Comment