DA’WAH IS TOTALLY ABOUT LOVE
Sejenak ada jeda dari puzzle puzzle merbabu. Hari ini akan bicara tentang cinta. Sesuatu yang pasti menarik, membuat novel novel punya klimaks, sinetron sinetron dan film korea punya ending yang membuat penasaran. Ah, cinta juga yang membuat ada A ling dan Ikal, ada makcik Maryamah, ada Nurmala ada Arai, ada Laila, ada Majnun, ada Zainuddin ada Hayati, ada Romeo, ada Juliet dan ada banyak kisah klasik akan cinta.
Tapi saya pikir kali ini bukan untuk mbahas atau cerita tentang itu semua saya menulis. Ada yang lebih butuh cinta untuk melakoninya. Apa? Apapun. Utamanya tentang dakwah.
Dakwah? Ya, dakwah. Atas nama apa kita kadang dengan mudah mengatakan dakwah. Bergabung dalam lembaga dakwah. Atau berpindah ke ranah lain untuk melebarkan ranah dakwah. Ya. Teramat mudah kadang kata itu terlontar. Padahal saya pikir tak semudah itu sebenarnya.
Dakwah adalah mengajak. Nidaa’, nad’u, dalam bahasa arab artinya mengajak. Bahkan kalo mau ekstrim ngajak nyuri pun dakwah. Ngajak ngrampok, ngajak korupsi pun semua adalah dakwah. Mengajak. Tapi bukan seperti itu ya pemaknaan kemudian. Dakwah tentu saja mengajak. Mengajak kebaikan. Mengajak agar setiap tindakan, tingkah laku kita, segala attitude kita, segala perilaku dan tata norma yang kita lakukan, adalah mencontohkan, menunjukkan dan membuat orang lain menjadi lebih dekat dengan RabbNya. Membuat kita dan orang lain ingat bahwa hidup di dunia tak lama. Hidup di dunia adalah permainan belaka, hidup di dunia hanya senda gurau dan banyak rekayasa rekayasa yang menipu saja, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa dengannya, dengan senda gurau itu, dengan tipu daya itu, dengan permainan itu, dengan rekayasa rekayasa menipu itu disanalah bisa menjadi berbeda, menjadi satu instrument yang bernada tak sama, untuk satu kebaikan di hari yang akan kita temui setelah mati. Sederhana begitu saja saya memaknai dakwah. Tanpa banyak tanya dan protes. Tanpa menggugat kenapa begini dan begitu. Karena saya pikir tabiat para salafussholih adalah thaat dengan apa perintah yang telah jelas termaktub dalam kitabNya, lain dari bani Israil, yang banyak cakap dan tanya, banyak cibir dan tawa, tapi nyaris nol dalam aksi aksi nyata. Ya. Sederhana begitulah dakwah.
Mengajak. Dengan terus upaya total perbaikan bagi diri pribadi. Karena bukankah yang mengajak saja tanpa melakukan justru menghantarkan kemurkaan Alloh yang kian besar?
Sederhana begitu definisi dakwah. Tapi dakwah yang sederhana saya pikir tak menjadi sederhana. Akan ada banyak diferensiasi dari sana. Bagaimana membangun tatanan jamaah atau kesatuan dalam mengemban misi dakwah bersama, itu tidak mudah, karena akan menyatukan banyak kepala dengan beragam prinsip, mimpi, visi, misi dan tabiat tabiat yang tentu saja tak mudah untuk seketika diaklamasikan harus begini dan harus begitu. Tentu, tidak mudah, sama tak mudahnya dengan mengajak untuk memahami misi besar dari upaya perbaikan umat ini.
Pun juga semakin tak mudah. Karena manusia hidup di dunia tak semata mata manusia diturunkan sendirian, tak diuji, tak dibersamai setan penggoda ataupun nafsu yang membisikkan keburukan tak henti henti. “ Dan apakah kamu mengira kamu cukup mengatakan beriman dan tak di uji?” itu salah satu FirmanNya dalam kitab suci. Maka godaan menjadi niscaya. Godaan dari pribadi, godaan dari saudara saudara, godaan kepercayaan, godaan wanita, tahta dan harta, godaan godaan yang tak henti henti datang. Maka memang diferensiasi dari dakwah itu tak sederhana.
Dan semakin tak mudah ketika yang tampak di sekitar kita kadang membuat pesimis itu datang, pergi dan datang, pergi dan pulang. Menggodai dan memenjara harapan dan asa asa besar bahwa perbaikan itu masih akan tercipta dan bisa diciptakan. Tiba tiba saya mengenang FM2GM, yang agak ricuh tapi mampu menghadirkan Deny Indrayana di sana, mengajarkankan untuk Optimislah bangsa ini, yang kalo interpretasi saya, optimislah umat ini.
Dan begitulah dakwah berikut differensiasinya. Tak pernah ada yang salah dengan misi besar dakwah ini. Tak pernah ada yang kurang. Tak pernah ada yang cela. Karena ia memang terturunkan di dunia dengan sederhana. Dengan kebenaran langit. Yang menjadi misi para Rosul dan Nabi diutus ke muka bumi. Terlanjut oleh para shahabat shahabat terbaiknya, para tabi’in dan para khilafah bani Umayyah, Abbasiyah sampai lekang pada Turki Usmani. Baik semata. Elok semata. Indah dan sempurna. Adapun yang kecil, adapun yang furu’ adapun yang turunan turunan adapun terjemahan dalam perilaku teknis, inilah yang kadang memang menjadi tak sederhana. Rumit. Dan disanalah letak muamalah terjadi, interaksi, independensi, dan take and give terus ada dan yang selanjutnya menimbulkan akan adanya friksi friksi, prasangka prasangka, secuil kesombongan, sepotong sakit hati, seiris iri dan dengki, dan bisa jadi menimbulkan rasa kecewa lantas sakit hati. Ya, bukankah perpecahan umat ini rerata berasal dari hal hal yang sepela yang dimainkan oleh pihak tak senang?
Ya. Disinilah sebenarnya menurut saya letak susah dan ujiannya. Bukan dalam pemahaman saya pikir. Tapi pada aksi nyata dan kedewasaan dalam menyikapinya. Sigap dalam mengeja, membaca dan mentadabburinya. Akan sulit memang. Sekali lagi sulit. Karena ditiap tempurung kepala manusia ada sepotong organ yang memang dilahirkan untuk memiliki persepsi dan menghasilkan paradigma yang nyaris tiap orang tak sama.
Maka yang perlu dibangunkan dari masing kita adalah cinta. Ya, cinta. Tak sekadar mau dan suka itu yag dinamakan cinta. Tapi ia akan memiliki banyak dimensi yang terejawantahkan dalam mencari kepahaman, sekali lagi mencari kepahaman, bukan menunggu atau menyalahkan kondisi. Tapi kepahaman itu dicari, dengan kesabaran ekstra memang, untuk mencari kepahaman itu. Lantas amal dan ikhlas yang harus mengorbankan totalitas kita dalam bekerja. Dan cinta akan menuntut kita mengerti saudara, menuntut kita mengerti, bukan dibalik, selalu menuntut untuk dimengerti, lantas yang begitu berat adalah percaya. Memberikan rasa percaya, memberikan dimensi tersulit dari diri kita untuk mempercayai yang memang lebih berkapasitas dari kita untuk mendiferensiasikan rumusan awal dakwah yang tersinggung singgung di awal tadi dalam kerja kerja tertata.
Sekali lagi. Itu sederhana yang menjadi tak sederhana.
Butuh banyak rasa yang akan tertumpah ruah disana.
Dan sepertinya, harus terus belajar dan menggali, makna cinta sekali lagi. Cinta yang bukan aku dan kau dan ayo bersama. Tapi lebih luas dari itu semua. Lebih dan lebih. Dan itu tak ada kata hentinya, bahkan barangkali sampai kita tak lagi bernyawa.
(allohu a’lam)
#terngiang selalu, kalimat lawas “Dakwah ialah Cinta”-nya Ustadz Rahmat Abdullah, dalam getaran misi cinta Sang Murobbi
Comments
Post a Comment