SMA Teladan, toko Buku TOGA MAS, dan Cerita Cerita tentang Mimpi dan Perubahan



SMA Teladan itu
“mbak, ada undangan wali murid dari sekolah. Selasa, 12.30 di ruang 205.” Bunyi sms yang singkat. Padat. Tanpa basa basi. Khas adik semata wayang.
“undangan? Selasa ya, ok. Diusahakan.”  Reportnya, sent. Terkirim balasanku.
Selasa.
Kuliah blok selesai, jam 10.30an. Tentang kebutuhan air, dan sedikit tentang studi kasus Gunung Kidul bumi Karst.  Lanjut tugas kelompok. Tidak banyak yang dikerjakan kecuali nyicil laporan akhir yang kayaknya harus dikumpul akhir bulan ini, beriringan dengan usainya perkuliahan blok Evaluasi Lahan Air.
Jam 1 kurang, izin ke teman teman kelompok, ke asisten, chao ke Wirobrajan. Sekolah teduh diantara ramainya jejalanan. Sekolah yang katanya Teladan (benarkah ia menjadi Teladan? Allohu A’lam. Yang jelas kepentinganku datang tak lain tak bukan adalah semata menemui wali kelas adikku. Tak kurang tak lebih. 


Ruang 205. Sebelahan dengan ruang kelas Bahasa. Jadi ingat masa masa SMA. Ruangan sepi. Ngak ada satupun wali murid, teman teman adikku. Jauh dari ekspektasi. Beruntung ada ibu guru cantik lewat, menyapa.
“nyari siapa mbak?”
“ oh, Bu, ini mau ada ketemu wali kelas XI IPA 4 Bu”,
Ibu cantik itu menunjukkan ruang 205 yang memang sepi. Ibu Wali kelasnya sedang sholat, beliau bilang.
Tak lama berselang, ibu berperawakan agak gemuk datang. Menyapa. Basa basi sejenak. Baru mempersilakan duduk, mengulurkan tagihan uang sekolah. Tu, kan, sudah kuduga.
Negosiasi usai. Setidaknya titik pelik ini tertunda. Ada waktu untuk berpikir. Ada waktu untuk melobi banyak pihak. Bahkan tak mustahil keajaiban itu akan datang. Yang jelas amat sayang, amat sangat sayang. Cita cita masuk Teladan – toh yang akhirnya juga biasa biasa saja- adalah cita yang awalnya tak biasa. Adikku, tak punya apa apa kecuali semangat akan tuntutan ilmu. Karena memang telah tertakdir. Kita sepakat untuk melewati arus bahaya ini, menggadaikan susah payah dan peluh pilu untuk membeli ilmu. Titik.
Ya. Hari itu aku bertemu kembali dengan tekad itu. Janji telah terbeli. Tinggal arus yang mengalir deras menebas batuan batuan padas itu dilawan. Dilawan. Karena hulu yang dituju tak jauh lagi dari pandang mata.
Sekali lagi. Kita telah menukar peluh keluh dan tangis bunda, untuk mengeja makna luasnya samudera ilmu. Titik. Lillah, bismillah.
Toko buku Togamas
Jl. Affandi, atau Jalan Gejayan. Dekat simpang empat. Nyaris nyerempet ring road utara. Ingat pesan Murabbi. Banyak yang dapat dilaku, meski kuasa atas orang orang dalam lembaga itu sudah tak padu. Kadang amanah atau jabatan adalah sarana untuk meng-upgrade kapasitas diri. Sarana untuk mengenal perpustakaan karakter manusia, dan menyelami samudra harap dan asa. Ya. Beruntunglah orang yang selalu menyibukkan diri untuk bisa memberikan segala yang dipunya lewat sarana dinamika organisasi.
Lantas, ketika pasca itu datang. Bukan berarti ia terhenti. Justru ruang ruang kian terbuka untuk menembus batas dan sekat untuk kian total berkontribusi. Masukilah jendela, jalan panjang tanpa koma, lewat lembar lembar kertas buku samudra ilmu.
Dan sore ini di toko buku TogaMas.
Masuk pintu langsung bertemu nostalgia Romo Kir dalam bukunya yang terterbitkan Kompas Gramedia (kalo saya tidak lupa). Symbol pluralism dan sekaligus harmoni Kristen budaya di lereng Merbabu-Merapi. Isi buku itu, terlalu sering saya dengar harmoni ruang rindunya dalam cerita cerita dan diskusi bapak menjelang tidur. Ya, ialah romo Kirjito, misionaris, atau zending mungkin, yang totalitas memperjuangkan Kristen di belantara hutan batu lereng merbabu. Overview saya baca buku itu.
Dan yang ada, adalah saya malu.
Setan telah jauh, seperti kata Umar bin Khattab saat mempergoki salah satu pendeta nasrani, menyesatkan manusia dalam kemusyrikan dan diyakini.
Pun Romo Kir, atas harmoni yang dibangunnya. Entah kenapa terterbit rasa dihati saya, berharap suatu ketika ada Hidayah dariNya, menemukannya pada Hidayah Alloh, cahaya Islam, seperti ketika Umar mendengarkan bait bait kalimatNya lewat lisan sang kemenakan Fatimah tercinta. Semoga.
Dan mimpi itu kian terbumbung. Dalam upaya menabung sekeping pahala. Sekeping keridhoannya. Agar ia bertumpuk. Memenuhi asa akan perbaikan perbaikan diri pribadi. Tak mengapa. Saat ini lewat lingkaran lingkaran kecil bernama halaqoh. Merawatnya. Merawatnya dengan cinta. Yang dari individu individu itu akan tegaklah perbaikan umat, lalu perbaikan itu membumbung menjadi perbaikan negara dan bangsa. Bukan. bukan itu tujuannya. Tapi adalah semata. Li Ilaa Kalimaatillah…
Ya. Mimpi itu satu. pertetanggaan dengan para kekasihNya. Dan saya kira harap itu kian tak palsu. Meskipun berat ditengah tengah urusan urusan pribadi yang menari ingin memanjakan diri.tidak. syurga itu terlalu dirindui dan serupa mimpi yang bisa dijembatani unutk dimasuki.


Toko Buku Toga Mas. Tentang mimpi. Tentang cita cita langit yang kian meninggi.
Dan hari ini.
Ada dialog dialog dari hati ke hati. Dalam liuk suasana yang tak biasa. Ada asa di wajah wajah riang adik adikku tercinta. Adik kandung, adik lembaga, adik adik yang mengajak duduk melingkar menekuri setiap kalam kalam luhurNya di besok jum’at siang menjelang kuliah Geomorfologi.
Ya. Ada selalu harap disana. Mimpi itu kian terpatri. Dengan apa yang telah tertekad dan terba’iat untuk dibeli. Bukan. bukan dengan jabatan dan posisi. Kukira itu sangat naïf. Perniagaan itu telah meluluh peluh. Menderukan riuh. Berharap, ada yang abadi disyurga nanti yang direkuh,, (Amiiin)
Selasa-Rabu-Kamis
#Hari Hari penuh makna, ada selalu riak harap disana..

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU