CERITA TENTANG AKSI
Ada banyak cerita dari aksi beberapa hari ini. Berawal dari hari apa aku lupa. Seruan pertama datang, dari orang yang tak begitu kukenal. Hanya aku tahu, beliau pernah menjadi orang penting di fakutas sebelah.
“Seruan Aksi! Peduli pilrek. Pembatasan umur!”
Glek. Apa apaan ni. Pilrek. Ia tanggal berapa? Baru ku ingat, tinggal beberapa waktu yang tak bisa dikatakan lama lagi.
Dan massa aksi, tak lebih dari 20 orang.
Selang beberapa waktu. Media bergulir satu satu. ada apa yang terjadi di lingkup elit? Banyak yang tidak tahu dan tidak terbaca kaum awam. Kecuali yang mau satu satu search dan nanya nanya, atau baca notes notes di wall wall FB orang orang Isipol yang banyak mengupas mengulik tentang isu ini.
Pun ini. Masih sedikit yang peduli.
Oya. Tentang aksi perdana bermassa 20 orang tadi, ialah berasal dari orang orang peduli yang mengatasnamakan Garpu. Entahlah filosofinya. Yang jelas mereka bicara dan bekerja. Tak diam. Karena diam berarti pengkhianatan (katanya).
Seruan aksi kedua. Masih dari Garpu.
Agak rame orangnya. 150 ada. Bermacam macam tuntutan disampaikan. Ada pembatasan umur. Ada kecurigaan regulasi yang telah ditata sedemikian rupa yang semula tak ada kemudian menjadi ada. Intinya yang diminta. Transparansi. Titik.
Pun juga. tak banyak yang dihasilkan dari aksi kedua ini. Bertemu para orang tua di rektorat iya, tapi seberapa membekasnya janji janji kemudian yang akan direalisasikan masih menyisakan ragu dan waspada.
Kadang juga masih timbul tanya. Kok masih mau maunya ya aku ikut toh tau tak banyak manfaat yang kudapat (itu kalo aku mau pragmatis).
Seruan ketiga. Agak beda. Bukan dari garpu, sendok, apalagi piring panci. Ini seruan dari BEM KM. yang sampai di inbox hape bahkan lewat jam 10 malam. Seruan Aksi, 8 Cita untuk Gadjah Mada. Kenapa Cuma 8? Harusnya kan banyak? Ah banyak nanya kamu Tim, berangkat berangkat. Ngak ngak. Tapi ini kan BEM? Emang kalo yang bukan BEM bisa ikut? Ah, biarin, siapa suruh sms aku. Tapi kayaknya buat mastiin enaknya confirm.ternyata siapa saja boleh. Oke, meski telat, luruskan niat, mau aksi buat apa. Berangkat. Titik.
Bunderan sudah sepi (ya iyalah, seruannya jam berapa baru datang jam berapa). Langsung aja jalan ke Rektorat. Ekspektasi karena yang ngadain adalah BEM KM, yang disanalah induk federasi BEM fakultas Se UGM, saya asumsikan yang datang 200an lah (mau berharap lima ratus ngak berani). Asumsi tiap fakultas ngirim 15an orang. Taruhlah 2 orang perwakilan perdepartemen, per fakultas. Ditotal se UGM 200an lah lebih. Tapi Ola la.. harusnya memang sudah diduga nding. 30 orang saya ngitung nyampe ngak ya.. (lupa). Saya ngak tau. Ada apa dengan eksekutif? Ada apa? Tanyakan pada rumput dan kupu kupu, maka mereka akan mengangguk dan tersenyum setengah pilu.
Mungkin memang, aksi tak akan banyak mengubah kalo itu dilihatnya secara kasat mata jangka dekat. Apalagi mahasiswa sekarang cerdas cerdas. Ada saja dalihnya. Emang isunya apa? Emang masalahnya apa? Saya ngak mau ikut ikutan ah. Saya ngak mau terprovokasi ah. (iya ya. Bicara dan bergerak tanpa bukti memang serupa robot. Tapi kita kan punya milyaran neuron hebat tersimpan di balik tempurung otak? Ya, diantara tugas utama kita menguak rahasia dibalik ilmu ilmu kita, kita ada sebagai mahasiswa untuk rakyat yang telah terlanjur menaruh harap. Maka, bukan saatnya lagi untuk tidak tahu. Karena kita harus mencari tahu).
Kembali ke aksi yang diadakan BEM KM. sepi. Padahal saya tahu, dengan nama besarnya harusnya ia dapat banyak menggalang massa. Tapi emang kerja itu keras. Ditengah himpit menghimpit apatisme mahasiswa. Ditengah padatnya tugas tugas akademik yang kadang satu selesai (atau bahkan belum) yang berikutnya sudah susul menyusul. Maka hebatlah ia yang tetap bisa padu menselaraskan itu. Pun tidak. Hebatlah mereka yang memilih yang tak biasa dan tak sama dengan kebanyakan orang disekitarnya. Maka. Luruskanlah selalu niat niatnya. Agar hasilnya tak semata di dunia.
Aksi dari BEM KM. aksi ketiga dari aksi aksi Garpu sebelumnya. Dengan massa yanag setengah tak membuat bangga. Tapi saya tetap yakin, ada konsekuensi dan hadiah tersendiri yang tak semua orang memilihnya.
Dan di sekretariat MWA kian ramai. Jadwal jadwal pemilihan, mulai dari SA, MGB, dan nanti akan ke MWA sampai pada menteri, terus terjadwal satu satu. sampai bertemu pada hari ditetapkannya.
Ada insiden deadlock di MGB pula. Nah, lho. Kata pak Dekan malah karena pimpinan kurang mampu memimpin rapat. Trus gimana mahasiswa mahasiswanya ya? Ah curiga, jangan jangan ada kepentingan kepentingan di baliknya (ya, Alloh,, izinkan aku berkhusnudzon pada para Begawan (istilah anak Fisipol) yang tengah merumuskan masa depan UGM di elit sana, meski sangat paham kutahu, itu sangat susah).
Isu berikutnya. JS dan Kajasha aksi. Tu, anak anak masjid pun mengalah dan turun ke jalan. Menambah ritme panjang dan menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa masih hidup walau mungkin napasnya satu satu. Aksi mereka, tak jauh pada tuntutan hak hak atas nama mahasiswa juga. dan do’a tentu saja. agar bapak rektor tercinta yang akan menakhkodai universitas tua ini, mengajak semua akar rumput merangkak pada ekstrapolasi kurva yang kian menanjak, eskponensial kalo bisa. Do’a panjang,, agar pemimpin itu adalah yang adil dan dicintai rakyatnya..
Aksi terakhir. Garpu lagi. 100an orang ada. Mengarak keranda dari Bunderan ke rektorat. Tuntutannya keprofesionalan MWA-PAH. Agar ingat. Bahwa posisinya adalah amanat rakyat.
Terakhir kemarin. Kamis, terpilihlah lima nama dengan suara terbanyak. Pak Pratikno, Pak Marsudi, Pak Danang, Pak Djagal, pak Suryo Hapsoro. Bapak bapak hebat. Yang tentu lama malang melintang didunia mereka. Lama meneguk asam garam. Lama pula mengeruk pengalaman. Lama dalam berjuang kalo boleh saya bilang. Maka saya berharap, merekalah yang akan berkompetisi dengan bersih dan jujur. Bukankah kita hanya boleh menilai dari apa yang Nampak dhohir saja? perkara ada niat niat dan kepentingan dibaliknya, ya itu tanggungan mereka.
Tapi kita, kita saat ini, dalam 7 hari ini, masih bisa memilih takdir kita. Akan dipimpin siapa dan akan menjadi apa para pengais ilmu di belantara gadjah Mada ini. Masih bisa memilih takdir saya bilang. Takdir yang baik. Yang memberikan ruang ruang terbitnya perbaikan perbaikan. Maka jangan salahkan, akan banyak teriakan ketika tertemu yang tak benar sebelum palu terketokkan. Masih ada waktu saya bilang. Masih bisa teriak. Masih bisa datang memenuhi seruan. Masih ada waktu menghitung hari untuk banyak banyak mengorek dinamika di balik tembok tebal sana.
Penuhilah janji yang telah terlanjur disaksikan rakyat.
Penuhilah amanah yang telah tertulis oleh para pendiri peletak batu pertama bangunan megah ini.
Tak ada kata lagi.. harus kembali.
#Jum’at. Dalam do’a.
Comments
Post a Comment