Mengawal Senyum Sejuta Kupu-Kupu
Secara tanpa kebetulan, saya mengagumi sosok Abdurrahman Faiz, putra maestro fiksi-fiksi bertabur nilai islami di awal awal nuansa islam di Indonesia semilir berdiri, Helvy Tiana Rosa. Ya. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Meskipun sepagi tadi Ummi Asri Widiarti mewanti-wanti kami, anak asrama di kuliah pagi, cukuplah kalian mengagumi sosok yang sudah yakin ke-syahid-annya, atau kebaikannya, atau ke-husnul khotimah-annya, tapi pada karya-karya sang Faiz barangkali banyak nuansa tempat berkaca, tentang hidup, tentang hati, tentang idealisme yang kian susah dicari. Termasuk, saya menemukan satu frase “senyum sejuta kupu-kupu” di beberapa prosa dan sajak puisi yang beliau tulis.
Kadang, dalam hidup kita terlalu menyeret jauh pada soal
yang sebetulnya tak perlu begitu jauh kita pikirkan. Sampai pikiran kusut dan
wajah carut marut. Dalam three cup of coffe, sitiran ungkapan Omar Kayam
terlontar dengan nuansa jernih,
kenapa kita jauh kau bawa ke pikiran-pikiran masa depan?
Kerjakan. Dan biarkan Alloh menjawab rahasia masa depan
Setelah merumuskan sekian impian bertanggal, memang lebih
tak mudah menyelesaikannya satu-satu dengan perlahan. Kita umat yang berpikir
dan bekerja, jadi ujian-ujian mengawal tawakkal akan terus-menerus ada.
Begitulah.
Tapi dari Bidadari-Bidadari Syurga-nya Tere Liye, kita belajar dari sajak-sajak cinta Kak Laisa. Cintanya adalah pengorbanan dan kata kerja. Menyitir habis makna paham, menepati janji, dan tentu, kepasrahan penuh setelah usaha tak kenal henti beliau lalui. Masihkah ada dan benarkah ada di dunia sosok itu kini?
Begitulah.
Menanggalkan ke-aku-an. Menyimpan ke-paling-an. Memupuk ke-optimis-an. Mengfokus pada yang substansi dan menyuburkan energi kebaikan. Ujian-ujian ke depan kian tak mudah. Dari dalam, dari samping, dari depan, dan parahnya dari diri sendiri.
Kita bersama, dan semua menjadi ringan saja. Bukankah kita tali yang dipilin dari helai-helai serat yang awalnya demikian rapuh tak berharga? Bukankah kita lidi-lidi yang dipersatukan yang sebelumnya hanya lidi sebatang yang begitu dikebat patah seketika? Bukankah kita satuan –satuan warna yang tergabung menjadi indah putih bercahaya? Bukankah??? Bukankah kebersamaan dan keberjamaahan membuat kita bangkit segera setelah sejenak terpelanting jatuh di kubangan atau menapak pasir yang mudah longsor pada jejakan Bubrah menaik misalnya?
Bukankah demikian energi dari hidup yang dilakoni bersama sama?
Maka memang benar kata baliho lebar di atas lampu merah per-empatan Gedong Kuning arah Wirobrajan, kedepankan kita daripada aku, maka dari itulah, kita bisa mengawal senyum sejuta kupu-kupu..
Semoga energi ini tak melulu karna aku, kau dan kita saja. Tapi berlebih lebih, ini karena Alloh mengirimkan ridho dalam jenak-jenak pertemuan kita, meski seringnya, pertemuan tak melulu bertatap muka.
Mushola Asma Amanina seusai kelas
11 April 2013
22:49
Comments
Post a Comment