Pada sebuah fase-2: Sepersil Bahagia
Mana ada segede ini
kita ketawa lebar kayak anak kecil di samping pas kita naik kereta yang
notabene banyak orang banyak penumpang banyak keperluan?? Tapi ni bocah, pede
aja tuh duduk dipangkuan orang ngk dikenal, ketawa terbahak, sampai gigi-gigi tonggosnya
nampak semua. Anak kecil, memang lebih merdeka dan leluasa mengekspresikan
keadaan hatinya. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa takut apa kata orang, tanpa
tendensi ada apa untuk apa.
Inilah sepersil bahagia.
Dulu kala, kalo kita baca Sirah manusia Tersempurna, jelang
wafatnya istri pertama Khadijah al Kubra Radhiyallohu ‘anha, beban di pundak
yang dirasai kian berat, aral melintang menelikung dari segala sisi, fitnah,
cecaran, makian, dan tuduhan-tuduhan gila hinggap mendarat dari mana pun sudut ia datang. Maka sang
pengganti, yang Alloh hadirkan langsung dari wahyu sang Jibril, mengantarkan
pada sang kekasih hati, ‘Aisyah yang pipinya kemerah-merahan, al Humaira, binti
Abu Bakar.
Wataknya yang ceria, kekanakan, membawa hadir dalam kepenatan kerja
barangkali yang dirasai manusia tersempurna dengan senyum ceria yang meronakan
rumah tangganya. Lomba lari, mandi sebejana, saling cemburu, membanting mangkuk
sayur, dan sifat kekanak yang menentramkan jiwa. Maka tumbuhlah, keluarga dan
rumahtangga yang ceria, diantara tugas-tugas memimpin negara.
Itu tentang kisah Rumah tangga Rosululloh. Dengan ‘Aisyah al
Humaira disisi beliau.
Maka benar kata Raihan, berhibur tiada salahnya, karena
hiburan itu indah, hanya pabila salah memilihnya, maka jadilah tersalah.
Dalam satu diantara sekian wajibatul akh yang tercantum
dalam Risalah Ta’lim Hasan al Banna, ada satu anjuran dari sang imam, sekali
waktu, pergilah ke gunung, pergilah ke pantai, selamilah ayat kauniyah yang
menggairahkan iman, menyubur kembali energi kerja, ya, ini bukan sekedar
apologi bahwa biarkanlah saya sekali waktu, diakhir minggu,mengunjungi dakian
dakian terjal merapi, sumbing, slamet dan teman-temannya, mudah-mudahan bukan. Tapi
memang, mengunjunginya, meski sedikit energi lelah tertanggungkan badan, tapi
produktivitas dan energi baru menjadi berlebih-lebih, energi sabar
berlipat-lipat, dan tentu, sejumput ego terkikis pelan pelan.
Tetapi apabila, kadang memang, meski sudah sekian jauh
pemandangan di pandang, tetap masih menyisa lelah ketika kembali, maka nasihat
teman suatu ketika, jika kau lelah, temuilah wajah anak kecil, masuklah dalam
dunia mereka, menjadi mereka, dan rasailah bahagia. Maka, ayo jadi guru TPA
#eh, salah fokus. Bukan. Tapi memang benar, masuk dalam dunia kanak akan
membawa hadir energi baru, energi lucu, dan energi penghibur sementara waktu. Sejumput,
sepersil bahagia.
Atau kalaulah tidak, selami kembali masa kanak. Main balon,
main tali, main bola tangan, dan nostalgia kehidupan kanak tanpa tendensi apa-apa.
Indah nian kadang diingat, sejenak merasa bebas dalam penat. Haghag. Kita sebenarnya
tak berat-berat amat cobaab ditimpakan ke kita, tapi kadang penjara diri dan
belenggu ego menjadikan kita paling menderita dan paling sengsara,, haghag. Maka
sungguh, selamilah meski sebentar, persil kecil pemuncul bahagia, yang pasti
barang tentu, tak menghadirkan mudhorot berlipat ganda.
Maka dunia, memang warna-warni suasana perlu dengan kreatif
kita cipta. Lagi-lagi benar kata raihan, berhiburlah, yang tanpa salah memilih
hiburan. Dunia kini, dibombardir hiburan-hiburan yang mem-penat-kan, yang
menghibur sampai hiburan itu menyisakan ruang sempit mengingat kubur. Padahal,
biaya besar terkeluarkan tanpa sadar, menjadi satu komoditas tersendiri bagi
satu pihak yang memanfaatkannya tanpa sadar. Maka sungguh, bersedikit biaya,
menghadirkan sepersil bahagia, dengan jalan paling mudah.
Membaurlah dengan
alam, menyitir waktu menemui kekanak sekitar, dan menerjun tanpa beban pada
masa kita kanak dulu, meski sebentar, meski sesaat.
Pada mengingat sebuah sore di masjid satu desa di kecamatan
Licin,
Kamis, 25 April 2013 : 19.54
Roudhoh 3
Dalam purnama 76 hari jelang Romadhon
#all photos by Bang Yusup
Comments
Post a Comment