Pada Sebuah Fase-1
foto by @mirayos |
Pada sebuah fase, kita dihadapkan pada segala yang nampak
jelas. Pada sebuah fase yang lain, kita dihadapkan pada segala yang nampak
abu-abu. Pada sebuah fase, selalu, kita dituntut untuk secara tegas mengerti,
apa hakikat kita dalam sebuah waktu. Memahami arti dari titik-titik hidup, pada
sepanjang perjalanan hidup yang dilewati.
***
Hari ini adalah perjalanan pulang dari ujung paling timur
Pulau Jawa, kecamatan kecil bernama Licin, kabupaten Banyuwangi. Setelah sejak
Rabu pekan lalu, pukul 10 malam kurang lebih, sampai di kecamatan ini. Ini
kuliah lapangan yang benar-benar berasa di rumah sendiri. Segala bentanglahan
bahkan, hanya seumpama kita keliling Kulonprogo di Jogja sana.
Disini, dikota ini, sebagaimana obrolan yang saya lontarkan
ke teman di depan tempat duduk di kereta barusan, tak sesempit skripsi, revisi,
atau laporan. Banyak, jauh lebih banyak, pelajaran-pelajaran yang bisa kita
resapi kita ambil dari nuansa perjalanan, persil-persil kecil pembelajaran dari
alam sekitar, pada karakter-karakter alam yang benda mati yang jauh bicara lebih
banyak dari sekedar susunan kata-kata.
Beruntung. Sampai hari ini saya semakin mencintai geografi,
semakin mencintai bidang ilmu yang dulu kala SMP pernah terlontar tanpa sadar
dari lisan guru saya bahwa masuklah kamu ke geografi. Sepanjang sampai saat
ini, selalu, ada yang baru yang pasti bisa dipelajari dan diresapi, pada
tiap-tiap fase perjalanan menyusun persil sejarah ini.
***
Mengenal sebanyak 22 teman se-tim dalam suasana yang selalu
tak terduga duga. Disini menyadarkan, bahwa yang namanya warna di dunia tak
melulu bisa bernilai hitam dan putih semata. Menilai orang tak melulu dari apa
ia tampaknya. Disini, dalam beberapa waktu ini, menyadarkan bahwa 1+1 tak
selamanya sama dengan 2, bisa jadi 4, 10 atau bahkan variabel tak hingga.
Disini, menyadarkan dan membelajarkan, bahwa hidup memang sebuah fase yang
harus memberi satu titik warna baru dalam hidup.
***
Saya menjadi mengingat satu kata-kata dalam buku Geography
of Bliss,
“Perjalanan selalu Bersifat Pribadi, meskipun kita melakukan
perjalanan bersama, perjalananmu bukan perjalanku”
Selalu punya sudut pandang berbeda pada tiap kepala manusia.
Batasan benar salah harus diletakkan pada apa kata Pencipta kita berfirman
dalam tiap-tiap kalam suci dalam Al qur’an-Nya. Selebih yang tidak bertentangan
dengan syari’atNya? Biarkan, dan yang terpenting adalah bertanggungjawab. Itu,
cukup.
***
Hari pertama, kedua, ketiga dan keempat. Perjalanan bersama tujuh orang yang susah dijabarkan dengan kata-kata. Dengan segala kelemahan, mungkin, kalau itu dimata sesama manusia adalah kelemahan, dan segenap kelebihan yang dalam hati mereka selalu terselip pengingat sang Pencipta, terbukti pada tiap-tiap waktu yang selalu tak melupa pada kewajiban sholat 5 waktu memenuhi kewajiban atasNya.
Pada sebuah fase
Belajar bertahun-tahun dan saya menemukan
sedikit-demi-sedikit jawaban. Memberi, memberi dan memberi. Itu cukup. Pada
banyak cerita, tidak pernah ada dalam sejarah orang yang besar adalah yang
mencari dari orang lain dengan meminta atau mengharap lebih. Itu dampak. Maka
memberilah, terus dan terus.
Dalam tulisan ust Anis Matta yang kemudian dibukukan dalam
serial cinta, mencintai yang sesungguhnya adalah menggali produktivitas jiwa
terus dan terus, sampai titik maksimal potensi kita tersalurkan untuk
menghadirkan kebermanfaatan bagi orang lain. Bahkan tanpa disadari, manfaat itu
akan terterima berlahan, tanpa melulu kita meng-artificial-kan pada gerak-gerak
yang bisa dibaca orang.
Kursi 7-C Gerbong 4 Kereta Sri Tanjung
Perjalanan stasiun Karangasem Banyuwangi-Lempuyangan Jogja
Bersama “Orang-orang terkucil”nya Ebiet G Ade
Comments
Post a Comment