Terhadap Tantangan untuk Cita Kita yang Meninggi


Tidak ada di dunia ini petarung ulung lahir dari riak-riak dangkal. Hampir bisa dipastikan mereka yang beroleh hal besar pastilah dimulai dengan jalan panjang. Jalan terjal juga berliku. Begitu pula diri kita.  Mimpi dan cita-cita adalah ruh hidup kita. Dia tidak bisa membuat kita kenyang, tapi itu semua membuat kita bisa bertahan. Cita-cita yang benar akan membuat kita tahan banting. Ada kala memang keadaan sekitaran menyadarkan sejauh apa kita dengan mimpi yang kita citakan, tapi, dengan menata ulang dan berfikir di sela-sela semua peluang, ada saja jalan bagi kita untuk terus mengembalikan mimpi kita pada rel yang seharusnya.

Ada saat gelombang kesalahan pribadi kita membuat kita terhempas. Membuat kita mengulang kembali titian awal materi dimana mula-mula kita menjejak mimpi. Tapi itu semua bukanlah sebuah kesalahan yang terus menerus harus disesali, diratapi, apalagi membuat kita merasa tidak berguna hidup di muka bumi.

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Itu pepatah yang digunakan bukan untuk sebagai pembenaran dan pemakluman atas salah yang sudah kita buat. Pepatah itu adalah kosakata motivasi langit, dari Alloh SWT agar kita sadar bahwa pintu taubat selalu terbuka setiap saat. Kita memang pernah salah, kita memang pernah khilaf, tapi Rahmat ampunan dariNya tidak pernah ada kesudahan untuk didatangi.

Kita pernah melakukan sebuah kesalahan yang itu terasa aib bagi kita. Yang membuat kita malu sangat pada kebesaran sang Pencipta. Tapi itu semua bukan untuk membuat kita meratap. Itu adalah indikator agar kita merapat lekat pada sang maha penguat. Bahwa Alloh maha kasih juga maha sayang. Dialah yang menyembunyikan segenap aib-aib kita, menampakkkan diri kita demikian baik di hadapan sesama. Seandainya sekejap saja kita mengingat betapa seandainya segenap aib oleh Alloh tidak ditutupi, mungkin jangankan ada orang bercakap, mendekat pada kita bahkan tidak mau.

Kembali pada cita-cita. Jika putus asa adalah tabiat orang kafir (sebagaimana tersebut dalam surat Yusuf : 87) maka tetap menjaga harapan adalah tabiat yang lebih dekat dengan karakter kita sebagai muslim. Maka aral apapun yang menghadang, bolehlah melemah sejenak di hadapanNya, tapi langkah selanjutnya adalah menguat menata tekad kembali meniti cita.

Cita yang tinggi, tidak heran tebusannya pun tinggi. Aral yang menghadang pun tentu banyak. Ibarat naik gunung, jika capaian akhir adalah summit attack, maka aral yang menghadang akan lebih banyak daripada yang hanya ingin berhenti membuat camp di pos III. Pengorbanan dan perbekalan pun, yang dipersiapkan jauh lebih banyak. Begitu juga cita-cita hidup kita. Jika ia meninggi dan jauh, tidak heran aral yang menghadang pun banyak, tantangan tak henti, juga perbekalan dan persiapan yang diperlukan pun lebih banyak.

Benturan realitas tidak seharusnya membuat lemah. Dia semacam alert bagi kita untuk meluruskan kembali orientasi awal kita dalam bercita-cita. Dan ketika kita bercita-cita dengan benar, ada saja jalan Alloh SWT untuk menunjukkan kembali kelurusan orientasi. Kemudian kita harus membuat sikap di tengah tengah banyak pilihan yang menghadang kita di depan. Tapi itu semua harus disikapi. Boleh jadi sikap kita dicibir orang, dianggap melarikan diri dari masalah, atau dianggap lemah dan patah arang. Boleh. Sungguh boleh orang menilai karena justru dengan itu imunitas kita kian menguat, daya tahan dan daya banting kita meraih puncak semakin berlapis-lapis. Maka mengingati kembali bahwa petarung ulung lahir dari gelombang besar, perlu terus kita dengung-dengungkan.

Begitulah tabiatnya. Begitulah jalannya.

Karna janji Alloh sudah pasti, tinggal kita menata rapi-rapi dan menebalkan keyakinan untuk mempercayai. Ya. siapa yang berdo’a dengan jujur, yakin Alloh akan jadikan ia terkabul.
Semoga kita adalah bagiannya.

Sepenuh cinta.

Muntilan, 25 April 2014
Di gerimisnya setelah Ashar

16:42

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU