Berlari dari takdir terbaik satu menuju takdir terbaik yang lain
” Ya, kita
lari dari satu takdir (ketentuan) Allah kepada takdir (ketentuanNya) yang lain,
bagaimana pendapatmu jika engkau akan berhenti di satu lembah yang memiliki dua
alternative jalan, yang satu subur dan yang lainnya kering dan tandus. Jika
engkau memilih yang subur maka engkau telah memilihnya dengan ketentuan Allah,
tetapi jika engkau memilih jalan yang gersang dan tandus engkau katakan bahwa
pilihanmu itu dengan ketentuan Allah?” (al bidayah wa nihayah hal 196 (edisi
terjemahan bahasa Indonesia)).
Itu adalah kata-kata sakti yang disampaikan sahabat Umar bik Khattab RA
saat datang ke wilayah Syam untuk berperang. Saat melewati suatu tempat, Umar
diingatkan oleh seorang prajuritnya tentang wabah penyakit yang sedang menimpa
Syam saat itu. Musyawarah pun dilangsungkan, ada yang berkata “Jika telah
datang unutk berperang mengapa harus kembali?”. Ada juga yang berkata, “Menurut
kami, kita lanjutkan perjalanan yang telah kita mulai.” Walhasil Umar pun
menginstruksikan semua kaum muslimin kembali lagi esok hari, hingga sahabat Abu
Ubaidah bertanya “Apakah kita lari dari ketentuan Alloh?” Maka keluarlah
kata-kata sakti yang tertulis di atas.
Indah ya konsep takdir yang dipahami Umar. Memang begitu. Hingga pada
akhirnya manusia bebas menentukan jalan hidupnya walaupun tidak terlepas dari
bagaimana Alloh menetapkan takdir dan maha besar dengan segenap Pengetahuannya.
Begitulah Umar mengajarkan. Tidak rumit dan tidak mempersulit.
Pengikut aliran ilmu kalam bolehlah berdebat panjang dan lebar tentang
itu semua. Bagaimana Mu’tazilah dengan segenap rasionalitas dan mengedepankan
akal sehat untuk memahami, sedang Jabariyah dengan menyerahkan bahwa segalanya
adalah sudah digariskan sehingga menafikan kemampuan manusia untuk menentukan
jalan hidupnya, tapi Umar (sekali lagi) begitu indah mengajarkan cara memahami
takdir secara apik.
***
Saya tergelitik menuliskan
hal yang sudah jamak ditulis orang ini tak lain karena pengalaman yang membuat
saya begitu ta’jub dengan cara Alloh membelajarkan saya tentang takdir
tersebut.
Bulan Februari lalu
kira-kira, saya berbincang dengan beberapa orang tentang Asma Amanina yang saya
tinggali. Lalu terbersitlah pikiran dalam hati saya, akan meniatkan diri tetap
berada di Asrama ini, dengan niat menjadi pemandu. Ya. saya rasa menjadi
pemandu adalah cara belajar dan menjadi santri dalam bentuk yang lain. Saya timbang-timbang
dengan berbagai alasan, tapi hanya saya simpan dalam hati mengingat penerimaan
santri baru masih cukup lama. Beberapa rencana kerja, maupun kelanjutan belajar
juga saya catat.
Bulan Maret ada beberapa
kejadian yang membuat saya meninggalkan Asrama, dan mencoba melihat realitas
lain di sekitar rumah tempat tinggal. Hal ini berjalan, cukup lama, hingga
ternyata waktu penerimaan pemandu sudah dekat saja.
Beberapa orang menanyakan
ke saya terkait keinginan, rencana setelah dari asrama dan sebagainya, saya
hanya menjawab dengan basa basi. Hingga ternyata, 3 hari yang lalu, Umi
pengasuh asrama mengajak saya ketemu. Bertiga dengan Ustad Deden, kita diskusi
cukup lama. Menimbang ke depan asrama mau dibikin seperti apa, pertimbangan
agar saya masih bertahan, diskusi kampus, dan segala macamnya. Akhirnya saya
utarakan ke beliau, bahwa secara pribadi, secara personal, masih sangat ingin
menerima tawaran tersebut. Siapa yang tidak bersedia coba? Tiap malam dan tiap
pagi asupan pengetahuan religi tersedia, mau menghafal berapa juz alQur’an
lingkungan sangat mendukung, dengan ustadz-uztadz yang ilmunya berlemari-lemari
buku menjadi dekat, suasana dekat dengan kampus yang sangat dinamis. Bukankah itu
menggiurkan?
Saya menjanjikan tiga hari
ke depan jawaban akan saya sampaikan.
Baru kali ini, saya
melibatkan keluarga dalam urusan sesederhana ini. Biasanya, saya mau tinggal
dimana pun selama di Jogja saya jarang mengkomunikasikan, toh ibaratnya pasti
bakal dipersilakan. Nasehat orangtua selalu sama dari waktu ke waktu, selama
kamu pegang Agama dan kegiatanmu positif, silakan-silakan saja. Saya
komunikasikan, termasuk dengan kakak dan adik. Saya sempatkan istikhoroh
(walaupun susah juga menangkap pertanda pertanda yang Alloh sampaikan. Kali saya
harus memperbanyak lagi mendekat denganNya).
Jawaban yang saya
sampaikan, kepada Umi siang ini, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya sampaikan
saya akan tinggal di rumah. Belajar bermasyarakat, juga belajar mensiasati
hidup dengan cara yang berbeda di tempat yang berbeda.
Dan Umi, dengan panjang
dan lebar (sampai janji kepulangan saya terlambat sekian jam) menerima jawaban
saya sekaligus menambahkan nasehat banyak tentang masa depan, tentang hidup
bermasyarakat, tentang ego, juga tentang cara terbaik mengelola takdir.
Kata beliau,
“Ammah Fatim, kita kadang
memang merencanakan sesuatu, sesuai keinginan kita, cita-cita kita, kemudian
ada saja hal yang membelokkan niatan itu karna satu dan lain hal. Tapi dengan
pemahaman dan pertimbanagan yang kita paling tahu, dengan tak lupa minta
petunjuk dari Alloh dan nasehat orang-orang yang berpengalaman, kita memutuskan
dengan cara yang paling bijak. Semua pasti ada resiko, semua pasti ada
konsekuensi. Tapi, kalau memang takdir Alloh nanti akan membawa Ammah Fatim
kesini, akan ada cara Alloh menjadikan itu terjadi.”
Cesss.
Umi Isma memang tiada dua.
Begitulah.
Berada di bi’ah sholihah
dengan tambahan amaliyah yang bisa dilakukan adalah takdir baik, tapi pilihan
yang lain yang tampaknya kurang mengenakkan juga takdir baik, InsyAlloh.
Dan kini, selamat datang
kehidupan masyarakat. Semoga kita bisa berdamai.
PS. Terima kasih atas
banyak orang yang saya mintai nasehat. Menjaga prasangka baik, dan tak berhenti
mendo’akan. Setiap pilihan, selalu membawa konsekuensi. Semoga ini sikap
terbaik. Bukankah bersikap itu tabiat para pemenang? :))
Jelang Maghrib
Muntilan 23 April 2014
17:43
Comments
Post a Comment