Dua alat takar
Minggu lalu saya sempatkan ke pantai Krakal, mendatangi LK
SKI. Malamnya, ada acara sharing tentang lembaga untuk peserta, maka sebagai
alumni, saya dan Dini, adik kelas yang saya ajak saat itu, kebagian menjadi
pembicara utama (*emote kacamata hitam*).
Di tengah-tengah diskusi, Dini menyampaikan salah satu
materi ustad.
Dalam melakukan apapun, yang perlu kita timbang sebelumnya
cukup dua : Alloh ridho atau tidak dengan apa yang akan kita lakukan? Dan yang
kedua, Bermanfaat atau tidak perbuatan kita bagi orang lain?
Dua alat takar yang mudah-mudah susah. Dini waktu itu
mengibaratkan begini, misalnya kita akan tidur siang, yang perlu kita pikirkan
adalah, Alloh ridho atau tidak dengan tidur siangku? Bermanfaat bagi orang lain
atau tidak kah tidur siangku? Nah dari situ akan ketemu, apakah tidur siang
kita adalah istirahat, semata-mata mengisi waktu kosong, atau jangan-jangan
bagian dari sifat malas (..... na’u dzubillah).
Menurut saya, sebagai orang muslim memang cukup punya dua
alat takar tersebut dalam kita menjalani hidup sehari-hari. Bagaimana tidak? Kita
tak lagi perlu berfikir tentang pretensi, tentang anggapan orang, tentang
keuntungan pribadi atau bahkan gengsi. Sama sekali tidak perlu.
Selanjutnya, dua alat takar dalam kita beramal di atas,
membuat kita tidak mungkin tidak berfikir secara baik sebelum bertindak. Tidak mungkin
juga melarutkan kita dalam nostalgia panjang setelah amal selesai dikerjakan. Tidak
mungkin alat takar itu memusingkan kita akan prasangka-prasangka atau anggapan
orang atas perbuatan kita. Bukankah hidup menjadi lebih ringan? Bukankah parameter
itu membuat hidup kita mengalir lancar?
Akan tetapi sifat manusia adalah lupa dan lalai. Ada saja
pemakluman-pemakluman, atau pembenaran-pembenaran yang seringkali kita lakukan,
hanya karena agar amalan kita “seperti” baik-baik saja. ah iya, saja jadi
teringat diskusi panjang Sabtu lalu dengan mbak Uzi. Jangan-jangan kita sering
ghurur, sering tertipu dengan amal yang kita khayalkan dan kita bayangkan
sepertinya sudah “baik” sepertinya sudah “banyak”? Ya. jangan-jangan kita sudah
cukup merasa bangga dengan amalan yang sudah kita lakukan? Dengan mengingat-ingat
berulangkali kebaikan seolah-olah itu amalan terbaik kita? Atau sudah cukup
bangga dengan tulisan-tulisan kita yang banyak dan disukai banyak orang?
Ya. menilai perbuatan kita semata karena agar Alloh ridho,
dan apa yang kita lakukan bermanfaat bagi sesama adalah dua alat takar yang
lebih dari cukup. Yang membuat kita mengulang-ulang istighfar dalam malam-malam
dingin. Dalam pekatnya gelap malam, juga dalam keramaian jejalanan.
Bismillah.
Semoga kita saling mengingatkan dalam kebaikan. Saling menasehati
satu sama lain. Dengan langsung, ataupun tak langsung. Serta tak henti
menggumamkan do’a, atas persaudaraan-persaudaraan yang terbingkai dalam
indahnya Aqidah kita. Serta menutu aib
satu sama lain atas aib yang telah Alloh tutup atas kita, dan menebusnya dengan
istighfar-istighfar panjang kita.
Semoga :))
Jelang shubuh
Muntilan, 24 April 2014
4:21
Comments
Post a Comment