Menulis adalah wakaf diri untukNya


Hari Kamis sore hari. Saya janji dengan seorang mbak yang baru saja menerbitkan bukunya di sebuah penerbit kenamaan di Jogja. Beliau, masih satu umuran dengan saya, satu tahun lebih tua kira-kira. Dengan kepadatan janji beliau dengan banyak orang yang lain, beliau sempatkan berbagi dalam waktu yang cukup lama.

Pembawaannya riang, dan memang orang yang suka bercerita. Kalimat dalam tiap cerita selalu panjang-panjang tapi herannya, saya tidak bosan mendengarkannya. Pelajaran yang beliau ceritakan adalah tentang pengalaman beliau selama menulis, juga sampai diterbitkan. Tapi Masya Alloh.. pesan yang sampai ke saya lebih dari sekedar itu.

Pertama tentang niat. Dalam amal menulis, atau selanjutnya dalam amal apapun, rupanya niat adalah jalan sekaligus langkah utama dalam bertindak. Niat, adalah kasus yang sangat pribadi antara kita dengan Alloh. Disitulah letak sebuah amal bernama menulis menjadi berharga atau tidak. Punya ruh atau tidak. Memberi imbas bagi penulis sendiri maupun pembaca atau tidak. Satu kata yang saya catat dari beliau, menulis adalah wakaf. Ya. menulis adalah wakaf diri kita pada Alloh. Semata agar lahir dari apa yang kita tuliskan itu kebarmanfaatan, bukan yang lain. Semata agar yang lahir dari tulisan kita, niatan cerita kita, membuat orang lain semakin dekat denganNya.

Motivasi terbaik apa sebelum kita meniatkan menulis? Lihatlah para Imam besar yang karyanya masih kita nikmati sampai sekarang. Jasadnya sudah berkalang tanah, sekian puluh, ratus bahkan ribu tahun yang lalu. Tapi setiap kita membaca karya-karyanya kita merasa dekat, merasa beliau-beliau hidup, merasa bahwa beliau –beliau sedang menasehati kita dihadapannya secara langsung. Karya-karya itu menghidupkan hati yang mati, menerangi hidup yang pekat, memberikan lentera jalan bagi pejalan yang kebingungan, juga memberi naluri mendekat pada sang pemilik kehidupan. Harusnya, dari para Imam dengan karya-karyanya ini kita membangun motivasi. Maka  kita menjadi malu ketika karya dibukukan, diterbitkan, dan menjadi terkenal ketika niat kita salah. Sama sekali salah. Apalagi menulis semata hanya pemenuh ambisi, semata agar terkenal, semata agar terlihat hebat, atau bahkan hanya semata pemenuh citra diri. Na’udzubillah.

Para penulis sejati adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Tulisan yang benar pasti punya ruh, sedang tulisan yang hanya bicara perihal keakuan, jauh dia dari ruh itu sendiri. 

Tulisan yang menggerakkan, adalah tulisan yang kita dapati dari kepekaan rasa kita pada kondisi sosial juga kepekaan pada orang lain dan sesama. Maka menulis adalah jiwa kita pada alam raya, jiwa kita pada kiri kanan depan belakang persoalan sesama. Bisa jadi tentang diri kita pribadi, tapi menjadi cermin untuk membangun jiwa-jiwa lain atau bahkan diri sendiri dari diam menjadi gerak.

Itu semua tentang pelurusan orientasi dalam niat kita berkarya.

Selebihnya adalah persoalan detail yang berproses. Berproses untuk terus berlatih membuat tulisan. Sehari menulis satu sampai dua notes, seminggu satu dan sebagainya. Intinya adalah kedisiplinan diri sendiri pada tekad berkarya.

Menemukan ide. Kata beliau, ide sangat-sangat bisa dilatih. Dengan melatih peka kondisi, dengan melatih menyampaikan gagasan perlahan, dan latihan kontinyu. Sekali lagi, ini semua tentang proses.

Biasa menerima kritik. Tidak lemah ketika dicecar, juga tidak terhanyut ketika dipuji. Tidak takut memasukkan karya ke ruang publik, tapi juga tidak berkecil hati ketika ditolak. Semuanya adalah fase belajar. Teori-teori selanjutnya bisa dipenuhi dengan melakukan, learning by doing.

Satu hal lagi, bagi beliau, ditekankan betul menjaga nama baik orang lain maupun branding. Mengutip nama, mengutip merk adalah bagian dari etika menjaga hak orang. Hal seperti ini ternyata membutuhkan perhatian. Jika memang orang lain tidak menghendaki ada namanya, maka lebih baik dituruti. Bahkan, hindarkan menyebut nama langsung kecuali benar-benar untuk maslahat (betapa sering saya (atau mungkin kita semua) menyebut nama-nama. Semoga tidak lahir dari niat kita kecuali untuk kebaikan). Jangan sampai tulisan kita menjadi tindakan tidak adil kita pada orang lain.
 
Tentang ide dan tumbuhnya keberlanjutan menulis, tidak lepas dari semangat membaca dan semangat belajar dari sekitaran. Baca buku apapun, habiskan waktu untuk menelaah apapun. Maka ide dan jalan tulisan akan selalu mengalir dengan sendirinya. Selebihnya, tentang gaya bahasa, diksi, rima dan alur maupun tata tulis yang baik, akan terlatih seiring dengan jam terbang. Tentang seperti apa bentuk tulisan dan cerita yang kita hasilkan, tidak perlu kita pusingkan. Bisa jadi tepat untuk satu orang ini, tapi bisa jadi tidak memberi ruh apa-apa bagi yang lain.

Hingga akhirnya, saat karya kita menjadi begitu berharga, siap diterbitkan, atau akan laku dipasarkan, semuanya tetaplah berorientasi berkah. Pesan terakhir : Jangan terburu-buru memetik buah sebelum masak. Bukan hanya pada soal menulis, tapi dalam perkara apapun. Sudah naluri manusia mengagumi karya sendiri, maka benar untuk terus kita utamakan : mengembalikan lagi-lagi pada persoalan niat dalam berkarya.

Maghrib. Dan terpaksa pembicaraan disudahi.

Satu yang menohok ulu hati : menulis, adalah membersihkan ambisi citra, dan mengorientasikan pada hidupnya ruh hati kita dan selainnya dalam setiap karya-karya. Menulis adalah wakaf. Yang darinya kebaikan sampai antar satu dengan yang lain.

Semoga kita diistiqomahkan untuk terus belajar. Menghidupakn ruh-ruh yang –kata Ustadz Salim A. Fillah- diakrabkan oleh iman.

Roudhoh 3, Asma Amanina
Jum’at, 25 April 2014
2:55



Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU