Sepotong Puzzle Hikmah Hidup ini, terserak di Pedusunan Tertinggi Lereng Merbabu (3)
Beberapa hari teralihkan kerjaan lain membuat saya perlu sejenak merenung mengingati apa saja di lereng Merbabu kemarin saya bekerja. Susah tertemu dan terdefinisi, tapi yang jelas dan masih riang kemerlip di hati adalah tentang Cinta. Ya, seperti puisi yang selalu saya gumamkan di sepanjang pendakian saat itu. Aku ingin mencintai semua ini dengan sederhana….
Hari kedua, yang jelas terekam dalam memori adalah saat pagi saya dan sekelompok yang mondok di tempat Bu Tuginem, masak telor dan sayur kangkung bersama. Dengan kebersamaan pagi yang sulit terdefinisi, saya terus mengeja arti ketulusan senyum senyum yang tertawarkan bersama hirupan minuman teh pagi, ya, Ukhuwwah itu begitu sederhana.
Jadwal kita hari kedua, 11 Februari, bersih bersih masjid. Start at 8 am. Oke, Berangkaaaaat!!!
Sapu, pel, bersihkan sarang laba laba tu dilangit langit, bersihkan tu semua karpet,, Uffft. Semua kerja, semua tertawa, semua ceria, semua bahagia, semua tahu bahwa ini akan menjadi cerita. Cerita itu adalah cerita cinta yang putih anak anak gunung yang tak henti tertawa sepanjang waktu selama saya disana.
Jam 10an lewat, selesai rekan rekan!!
Dan dua adek kecil yang sepertinya bolos sekolah dan nampak dekil bersegera mengalihkan pandangan saya. Saya tatap tajam, keduanya tertawa.. ah dasar Bocah. Dekil, kotor dan kusut baju baju dan wajah mereka. Saya ingat, ada sebotol sabun cair dan shampoo di tas, bersegera saya keluar masjid, kembali dengan cepat dengan samphoo dan sabun cair di tangan.
Saya tahu, kalo bukan karena cinta yang dianugerahkanNya, saya gak bisa melakukan apa yang secara sadar saya lakukan waktu itu. Saya bimbing keduanya, masuk ke pemandian umum yang memang agak terbuka. Saya lepas baju dua anak ini, saya guyur dengan air gunung yang dingin menggigit, berkali kali saya guyur, hingga ingus hitam mengering di bawah hidungnya bisa saya hapus dengan mudah. Girang keduanya menerima shampoo dan sabun yang saya sodorkan, berbusa busa, dibilas, diulang, dibilas, diulang, ah, kalian memang anak anak yang jenaka. Saya lap tubuh mereka, dengan handuk kusut yang mereka bawa. “Tu kan, seger?”
Keduanya mengejap tersenyum lebar.
Berganti pakaian, dan saya sisir rambut keduanya berbilah bilah. Ya. Anak anak yang manis.
Jarang mereka mandi bersih bershampoo-sabun sampai berbusa busa. Bahkan berangkat sekolah tak kenal mereka terhadap rutinitas itu, dekil kusam, dengan jilbab jilbab mereka yang sudah menutup dada. Dengan rinso kata mereka kadang kadang berkeramas. Ah, dan kalian menjadikanku kian meninggikan rasa cinta itu.
Komparasi saya jelas semakin terkuatkan. Ketika hari ketiga saya harus berpindah ke dusun Nganggrong, satu dusun diatas Batur.
Cantik dusun itu, tapi tetap saja kotor dan anak anak berpenampilan dekil. Dan di dusun itu, satu gereja ramai dan bergema reramaian disana. Lagu lagu, iringan iringan music, dan keluarlah dari sana ketika ibadah selesai ummat kristiani dengan tertawa, tersenyum dan teriangkan wajahnya.
Ya, gereja itu dipucuk gunung, letaknya persis di bawah masjid, ramai. Pengunjung datang berbondong bondong. Dan mereka berpenampilan cantik dan menarik. Baju mereka bersih, wajah mereka lebih berseri.
Terus terang saya iri.
Bukan. bukan pada Umat Kristiani itu saya iri. Sekali lagi bukan. Toh mereka tertawa, bocah bocah kecil di sekeliling saya muroja’ah surat surat pendek dengan lebih keras dan tertawa lebih lepas. Saya hanya iri, pada jargon kebersihan sebagian dari iman yang saya punya, Umat islam ini punya, tapi belum saya ruhkan dengan seksama.
Saya hanya ingin, wajah wajah yang bersinar sinar matanya itu terpelihara penampilan, wangi pakaian mereka oleh sabun mandi dan badan yang bersih, bukankah itu keinginan yang sederhana?
Saya tak tahan untuk tidak membandingkan antara dua perbandingan jelas yang Nampak di depan mata,. Ya, saya iri, dan rasa iri ini kian membekas sampai kini.
Dan rasa iri itu kian menerbitkan rasa rindu, rindu ingin bertemu kalian adik adikku, yang lama tak kusua, beberapa minggu yang akan segera berganti bulan.
Masih ingin sebenarnya saya ajarkan menyikat gigi, menyikat kaki dan tangan tangan dekil kalian sepulang dari ladang, dan membasuh total badan kalian dan menggosok dengan sabun hingga berbusa busa, dan kian kulihat, wajah kalian mengkilat, cantik, menyenangkan, menggirangkan wajah umat..
#merindui hari hari itu J, berjanji satu masa kan kembali lagi..
Comments
Post a Comment