Sepotong Puzzle Hikmah Hidup ini, terserak di Pedusunan Tertinggi Lereng Merbabu (2)


Masih di hari pertama. Berbeda nuansa ketika berada di dalam masjid bersama anak anak, remaja dan para Ibu Bapaknya. Dibeberapa jam sebelumnya saya sempatkan jalan jalan di beberapa titik yang menarik di dusun kecil ini. Ya, dusun Batur yang berisi 86 KK. Sejenak berjalan, ada satu titik menarik, ya, persemaian tembakau yang oleh orang sana disebut sebagai Soto. Bukan soto sebagai makanan kuah, bukan, tapi dibaca soto yang dibaca dengan o mendekati huruf a, ya benar, kayak mengeja a ha na ca ra ka di aksara jawa.
 Ya, bentar lagi bibit bibit kecil tembakau itu akan disemai di ladang mereka, yang mereka sebut sebagai Wono. 

Memang ini menjelang musim kemarau, yang tentu saja akan jarang turun hujan, membuat tanaman tembakau akan tumbuh subur. 

Berbicara tentang tembakau adalah berbicara tentang hal yang sensitif sebenarnya. Ya, karena akan banyak mulut bicara disana. Kesejahteraan ekonomi yang diatas namakan rakyat kecil penanam tembakau, hukum hasil olah tembakau berupa rokok yang diperdebatkan para tokoh agama, money laundry pengusaha rokok berbentuk beasiswa beasiswa, sponsor-sponsor lomba dan sebagainya, ya, sensitif plus politis. Allohu A’lam.

Bukan apa apa. Terus terang, saya belum pernah merokok dan mendapatkan beasiswa dari perusahaan rokok, jadi perspektif saya tentu saja sebagai orang yang secara tegas anti terhadap rokok. Tapi jangan salah, Bapak saya adalah perokok berat, yang baru berhenti dua tiga bulan yang lalu setelah dokter menegaskan bahwa paru paru, ginjal dan jantung beliau tak sebaik dulu lagi. Pun kakak semata wayang yang begitu saya banggakan, yang berpuas diri lulus SMP tapi justru melejit tinggi dengan menulis buku dan aktivitas coding-desainnya, beliau adalah perokok yang secara sadar dan tahu bahwa rokok adalah merugikan, memelaratkan, memiskinkan, dan mempercundanginya. Tentu 2 orang terdekat saya juga berpengaruh, karena saya taulah –meskipun sedikit- susahnya mereka meninggalkan rokok. Ya, karena keduanya manusia. (Tapi do’a itu selalu terlantun buat mereka, karena telah kunisbatkan bahwa cinta ini bagi mereka sedemikian sederhana, karena meninggalkan yang tak berguna adalah bagian dari kesempurnaan agama, dan keluargaku,, ku ingin kesempurnaan agama diupayakan oleh mereka…).

Warga Batur yang putih. Atas nama permintaan pasar barangkali mereka menanam tembakau, ya mau gimana lagi? Harga tembakau bisa berlipat saat dijual dibanding dengan harga sayuran lokal macam sawi, daun bawang alias loncang, wortel dan kubis yang ditanam di atas lahan yang sama. Harga sawi yang mereka petik, hanya laku 300-1000 rupiah per kilo disaat panennya, wortel dan daun bawang tak jauh jauhlah rupiah perkilo atas mereka. Sementara tembakau, bisa sampai 40.000 per kilo (saya tak tahan untuk tidak teriak WOW, tu, sampai saya capslock tulisannya). Alloh, kalo pun saya jadi mereka, saya tak yakin untuk tidak berbuat seperti mereka. 

Itulah gambarannya. Sayur sayur lokal yang susah payah diproduksi oleh rakyat kecil, diantara jurang jurang mereka membedeng bedeng tanah ladang, ya untuk menanam hijauan sayur itu. Produk lokal, susah payah rakyat kecil, terpupuk alami kotoran kambing dan ayam dan hanya laku tak lebih dari 1000 rupiah perkilo. Mari kita tarik nafas panjang bersama. 

Dan lihatlah  kita ke Superindo, atau sejenak ke Mirota Kampus jalan Simanjuntak, tengok baik baik di lapak sayur sayuran yang dikemas apik disana, ada wortel sekilo 2000? 3000lah? Bisa saya katakana TIDAK ADA, 2000-3000 paling dapat 2 biji doang, Gimana dengan daun bawang beberapa helai, berapa harganya? Buncis, kapri, wortel, yang lainnya?? Dan hampir kebanyakan disana brandingnya IMPORT. Arghhhhh. Inilah Realita Fathim, Its for Real! Alloh,,,

Saya tidak tahu, Alloh perlihatkan antitesa antitesa ini jelas di depan mata, dan yang lebih menyakitkan adalah saya tak bisa berbuat banyak. 

Inilah dia. Hasil tani yang alami, diolah oleh rakyat yang putih, tulus mereka menanam, dan hanya berharga sekian itu di pasaran, terberangus oleh gengsi dan kapitalisme orang orang besar. Dan selanjutnya mereka diiming imingi dengan sekian besar harga pasaran tembakau, demikian menjanjikan, demikian menggiurkan. 40ribu demikian besar bagi mereka, tanpa tahu para tengkulak tengkulak raja rokok dan tembakau kering akan menjualnya ke Kudus atau bahkan diimport ke Bremen dengan berlipat lipat ganda harganya. Mereka tak tahu, dan bersyukurlah mereka dengan 40ribu itu. 

Dengan riang ibu yang ada di tempat persemaian tembakau itu terus bercerita, senyumnya istiqomah diwajahnya, sementara hati saya menangis dalam gerimis… Mereka tak tahu, mereka menanam karena memang dengannya ia dapat kelebihan penghasilan dibanding sayuran biasa. Mereka tak tahu, bahwa yang mereka tanam dijual oleh para kapital tembakau dengan harga berlipat ganda, mereka tak tahu, bahwa produk tembakau yang mereka tanam telah merusak-binasakan sekian banyak paru paru dan ginjal, mereka juga tak tahu, bahwa dengan menanam tembakau itu, importir sayur yang kongkalikong dengan penguasa semakin menjajah dan menjerat Indonesia. Mereka tak tahu, bahwa kecintaan akan produk lokal kian tersisih atas nama gengsi,,, Mereka tak tahu. (Dan saya kian menangis dalam gerimis, mengenangkan kecintaan mereka akan hidup, mengenangkan mereka akan kerja keras di sawah ladang, mengenangkan mereka yang putih, tak sengaja ikut andil dalam kerusakan negeri,,, mereka sama sekali tak tahu, ..)

Ya, dan aku mencintai kalian saudaraku, keluargaku, rekan rekanku, sahabat sahabatku, desa dan kotaku. Dan kucinta kerja keras mereka, kesungguhan dan totalitas kerja mereka. Pun juga kucinta lereng Merbabu itu karena ia bagian dari Indonesiaku, Aku cinta semua. Sungguh, sepertinya benar. Tak ada waktu terlambat untuk membangun cinta, meninggikan cinta itu, menguatkan asa, menerbitkan selalu harapan harapan baru, tidak ada kata terlambat. 

Tegakkan rokok itu, berhentilah menyalakannya lagi. Biarkan ia tegak tak berasap, tak merongrong masa panjang fungsi paru, ginjal dan semua organ. Berhentilah, kuatkan tekad untuk berhenti. Sekali lagi, Berhentilah dengan segera. Jika itu tak mudah, mohonkan do’a selalu pada Alloh yang membolak balikkan tekad. Mudah bagi DIA untuk menakdirkan kita istiqomah untuk tak lagi menyentuhnya. Masuklah ke dalam lingkungan yang akan terus menguatkanmu, menebalkan tekadmu, memotivasimu, dan menegurmu jika sewaktu waktu ingin kembali barang sebatang dua batang. Sibukkanlah waktumu, dengan aktivitas yang membuatmu tak butuh, lupa dan tak ingat lagi nama barang itu. 

Keluarlah kita dari lapak lapak penjajah ekonomi. Bergegas kita belanja ke ibu ibu dan simbah simbah di pasar tradisional, memang tak biasa, tapi bisa dimulai asal ada mau di dada. Stabilitas ekonomi rakyat kecil itu disana, di uang yang diputar dari barter rupiah dan sayur sayur gunung produksi lokal. Tak perlu takut kotor, karena ia hanya kotoran kasat mata yang bisa hilang segera jika disikat dengan rinso atau so klin, tak perlu malu karena inilah keluhuran dan kemandirian bangsamu. 

Tak ada kata terlambat. Tidak ada kata susah. Semuanya bisa asal ada tekad kuat disana.
Dan lereng Merbabu,, disana selalu tersimpan senyum riang dan hijauan dedaunan sayuran. Dedaunan hijau, seperti warna perkakas  Syurga yang dijanjikanNya….
#Refleksi, dengan instrumen latar musikalisasi “Aku Ingin”nya Sapardi Djoko Damono

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU