Sepotong Puzzle Hikmah Hidup ini, terserak di Pedusunan Tertinggi Lereng Merbabu (1)
Jum’at 10 Februari.
Satu fase harus saya lewati, harus. Pagi ini, berangkat ke tempat yang saya sendiri belum tahu, berbekal ketsiqohan dan kethaatan pada Qiyadah, saya hendak berangkat. Tapi serius, benar begitu berat dirasa. Persiapan nyaris tak ada, badan yang setengah –tidak difit-fit-kan- dan kalo saya mau saya bisa membuat beberapa alasan lain yang seolah olah rasional untuk tak mengikuti kegiatan yang diarahkan pada saya sepekan yang lalu kurang lebih. Tapi, saya tak tahu, tiba tiba sudah berdiri di depan pintu kamar pemandu Asrama,
“Mbak mau pergi ngak?” Kalo ngk, minta tolong antar saya ke Masjid Nurul Barokah Mbak, kumpul buat berangkat acara kampus hari ini”
Kuliah Bahasa Arab Ustad Deden pagi ini lewat, sengaja saya ijin tidak masuk, jam 6 sampai di masjid tempat membuat janji.
Sepi. Ternyata baru dua orang yang datang. Dan selain perlengkapan pribadi, tak satupun perlengkapan sebagaimanayang diarahkan saya bawa. Untung samping masjid ada warung yang disanalah selanjutnya bahan makanan, beras, telur, gula bahkan senter saya beli.
Denah diberikan, ini trek kalian dan inilah lokasi kalian harus kumpul. Dan ternyata, jalan Magelang, plang Gontor 6, naik, Sawangan, Kedungkayang, Windusajen, Dusun Batur. Bagi anak Muntilan, “oh sekitaran situ, yo jalan!” jam 7 lebih baru semuanya kumpul, oke, berangkat, Bismillahi Tawakkaltu ‘Alalloh..
Plang Gontor lewat, jalan mulai naik, terus, Plang selamat Datang di Taman Merbabu lewat, oke, perjalanan tak lama lagi. Persimpangan Ketep-Kedungkayang ambil kanan, ikuti jalan, terus, dan jalan tak lagi aspal halus, mulai naik, dan makin naik diiringi kelokan yang berbatasan jurang, Windusajen lewat sampailah di Jalan berbatu, oke, bentar lagi nyampai. SD Wonolelo 4 menyambut dengan senyum. Dan 3 hari kalian akan disini, bersitatap dengan umat langsung, akankah gaung Khadimatul Ummat bisa kau perankan? Di depan, kerucut Merbabu tersenyum dikulum.
Pembagian pondokan, ramah tamah dengan Ibu – Bapak angkat untuk 3 hari ke depan, sampai Adzan Dhuhur berbunyi. Briefing, dan bagi job, dua orang jatah nge-hendel anak TPA – dan sengaja saya masuk, milih menjadi salah satunya- sedangkan yang lain masak dan beres beres rumah.
Jam setengah satu sampai setengah tiga adalah kelasnya adik adik Iqro’ satu sampai tiga. Langsung dihendel teman parter yang notabene lama malang melintang di GerakanK*M*IMengajar. Jam setengah 3 kelas masuk ke kloter kedua, anak anak Iqro’ 4-6, diisi bahasa arab kak biasanya, begitu kata mereka. Oke, kita akan belajar Lughotil ‘Arobiyyah bareng Kak fathim,
“ kaifa halukum?” Bikhairin, walhamdulillah,,,
“ Min aina Anta?” Ana Min Batur,,
“Maa ismuki ya ukhty?, Maa ismuka Ya Akhi,,? Ismi Pur, Ismi Anto, Ismi Sholikin, Ismi Agung, Ismi Joko, Ismi Wahyu, Ismi Nurul, Ismi Marsih, Ismi Yuli, Ismi Rani,,,
Oke, Maa Ma’na Sabburah? Sabburah Huwa papan tulis, Ma Ma’na Baabun? Babun huwa pintu,,,
Jam 3.45 kelas Iqro’ 4-6 usai. Sholat Ashar.
Ba’da Ashar, 4 remaja putri menanti, jatahnya mentoring remaja ternyata, sampai jelang Magrib. Ah, senyuman mereka, Sarti, Ani, Yuni dan Ipah, bahkan sebelum saya meninggalkan masjid Ar Rohman, saya sudah merindui kalian. Teruslah punya mimpi, untuk menjadi besar, jika tak yakin kalian berubah saat ini, mimpi mimpi itu akan berwujud pada generasi generasi setelah kalian.
Usai magrib kembali ke rumah Ibu, Ibu angkat 3 hari ini, sekadar pamitan baru pulang jam 9 lebih, dan mengajaknya turut ke masjid, ternyata ada penyambutan oleh adik adik nan manis.
Adik adik kecil malu malu bertepuk tangan –anak sholeh dan rukun islam-, si Cantik Nurul mendemonstrasikan hafalan Annaba’nya yang merdu dibacakannya dengan Qiroah Ahmad Saud yang kecil melengking, lantas kedua tim nasyid dari ikhwan dan akhwat kecil tampil, tau apa lagu yang dinyanyikan? Siapa pula yang mengajarkan? Semoga Alloh berkenan meridhoi jalan hidupnya, lagu shoutul Harokah, Gelombang Kehidupan dan Merah Saga ternyata yang mereka nyanyikan. Dusun itu, anak anak itu, ah, kalian mengajariku untuk malu pada ketakseriusanku memaknai keislaman ini. Gempita isi masjid, tak terduga melihat anak gunung mengeja makna Jihad.
Ya, belajar dihari pertama. Pada bocah bocah yang putih yang telah perlahan terwarnai. Gelombang kristenisasi tak surut bahkan kian menjadi, makam makam dibelakang rumah yang ada kalanya tercium bau kemenyan menusuk, dan kepercayaan mitos yang simpang siur terus lestari, ya, kewaspadaan salimul aqidah itu tak ringan. Dengan Pertolongan Alloh, kita bisa. Bukan begitu?
Desa Batur di hari pertama, mengenalkan dan mengenangkanku pada seberkas realita sekaligus asa besar, akan muncul orang orang besar negeri ini dari sana...
#Teriring The Cloudnya Kitaro, dalam refleksi.
Subhanallah, super sekali mbak Fatim.. kasih fotonya dong pasti lebih bagus... :D spirit spirit..!!
ReplyDelete