FRAGMEN SELEMBAR TIKAR


Pulang ke rumah sudah menjadi agenda rutin pekanan di dua bulan terakhir ini. Ya, bagaimana dalam setiap celah waktu dalam sepekan, ada waktu yang memang diagendakan untuk pulang. Sudah banyak tahun yang aku habiskan untuk diriku sendiri, 6 tahun Tsanawiyyah dan Aliyah yang hanya pulang setahun 2-3 kali, dan masa masa perkuliahan yang sebulan dua bulan sekali pulang, miris sebenarnya, mengingat Jogja –Muntilan bisa ditempuh hanya dalam waktu setengah jam saja.
Dan dua pekan yang lalu aku pulang.
Karena sebelum dhuhur sudah di rumah, maka dialokasikan jam 5 balik ke Jogja. Bersih bersih rumah, selesai. Di satu sudut rumah, tampak kupergoki selembar tikar, masih rapi, tergulung, terbungkus plastik. Maka keluarlah kata basa basi.
“ klasa anyar ya Mak (tikar baru ya Mak)?”
“ho o, wingi nang kumpulan PKK eneng sing nawari, pas kelingan kamare Aris kae klasane perlu diganti (Iya, kemarin ada kumpul PKK, ada yang menawarkan tikar, pas kebetulan ingat kalo kamar Aris tikarnya perlu diganti),”
Kebetulan di ruang depan bapak tengah khusyu’ baca Kompas. Beliau dengar.
“klasa anyar? Piro regane? (Tikar baru?, berapa harganya?),” basa basi pula kayaknya beliau tanya
“kalo kontan 60ribu, kalo dicicil 3 kali jatuhnya 90ribu,” santai saja ibuku jawab pertanyaan Bapak.
Tapi respon Bapak, aku sendiri tak sempat menduga. Mendengar jawaban kalo beli kontan bayar 60ribu dan kalau di cicil 3 kali jatuhnya 90ribu, maka percakapan – atau lebih tepatnya tausyiah Bapak – menjadi tidak sebentar.
“kok bisa bisanya kamu beli? Itu Riba, namanya kayak gitu tu riba,” jelas Bapak dengan suara yang agak keras.
Dan tanpa menunggu jawaban, beliau sampaikan banyak hal. Bahwa sistem jual beli sebagaimana yang dipraktekkan ibuku dalam membeli tikar itu adalah riba. Beliau jelaskan tentang jual beli dalam islam itu adalah muamalah, dan asas muamalah adalah Wa Ta’awanuu ‘alal Birri wattaqwa, tolong menolong dalam kebaikan.
Lebih lanjut,beliau mulai menyitir ayat Qur’an, bahwa Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dan ditandaskan, inilah cara kita menghargai ni’mat Alloh, sebisa mungkin kita ikhtiarkan mengkonsumsi semua yang halal, jangankan haram, syubhat kalo bisa kita sama sama hindari, tegas beliau.
Puas menjelaskan komparasi riba dan jual beli, beliau sambung pula dengan penjelasan macam macam riba, riba pada Bank konvensional, riba dalam utang piutang, Riba nafilah, Riba X, Riba Y sampai Z yang aku sangat yakin ibuku tak paham sama sekali, tapi prasangka mengatakan pembicaraan bapak sepertinya ditujukan ke arahku yang sedari tadi diam sejak Kompas bapak beliau letakkan dan mulai berkhotbah panjang lebar.
“paham tho sekarang? Besok jangan pernah sekali kali beli apapun lewat transaksi seperti itu, kalo ragu nanya, kalo belum jelas dan gak ada yang bisa ditanya mending keinginan beli apapun itu ditahan!” tandas bapak diujung pembicaraan.
Glek. Niatan Cuma negur, ikut senang punya tikar baru, taunya setengah jam lebih aku dengerin kata kata bapak tanpa bisa diinterupsi sekejab pun.
“jadi sekarang gimana dengan tikarnya Pak?”  aku coba bertanya, mana tau ternyata Bapak hanya pandai berdalil tapi minim solusi.
“udah dibayar ?”
“udah, lunas,” jawab Ibu pendek
“Lunas?”
“iya, lunas,”
“Masih bisa dibalikin?” kata bapak membuka ruang penyelesaian
Ternyata gak bisa – atau lebih tepatnya ibu sudah gak enak untuk mengembalikannya, kebiasaan orang jawa  , gak enakan – dan beliau jelaskan penjualnya adalah semacam sales alat alat rumah tangga, yang nanti pembayaran diambil tiap bulan.
Diam beberapa saat.
“serius gak bisa dibalikin ?”
Dan setelah penjelasan diulang,beliau bapakku berpikir kembali.
“yo wis, tikar biar tetap disini, tapi jangan sekali kali dipakai buat alas sholat, alas belajar atau alas baca Qur’an. Buat tidur boleh, buat naruh kain jemuran boleh. Tapi untuk masalah ibadah, jangan sekali kali dipakai. Cukup sekali ini, besok besok jangan pernah adalagi hal hal kayak gini,”
 Ibuku diam. Akupun diam. Dan bapak beberapa saat terdiam.
Saat Ibu keluar rumah, tinggal aku dan bapak. Kupikir beliau akan nanya gimana kabar kuliah, gimana kabar teman teman, aktivitas sekarang, kemarin ada aksi ikut ngk, diskusi bareng prof ini datang ngk, atau pertanyaan pertanyaan dan obrolan seputar cerpen, pameran, parpol dan kasus kasus luar negeri seperti biasanya. Ternyata tidak. Nasehat  beliau terus berlanjut.
“kebobrokan bangsa kita, kampung kita, itu tu berawal dari kayak gini Tim. Dari hal hal sederhana, dari kongkalikong PKK dan rentenir, dari “pengglibengan” rakyat yang bodoh dengan orang orang berpengaruh yang licik. Dari sistem ribawi yang ditumbuh suburkan. Dari orang yang punya pengaruh –yang bahasa bapak disebut raja raja kecil – tapi menggunkan pengaruhnya untuk membodohi orang dan memperkaya diri sendiri. Tapi ya sayang, orang kayak Bapakmu ini dianggap sok idealis, dijauhi. Dalam kondisi seperti ini, ya, cara bapak  menunjukkan pernyataan sikap adalah dengan menarik diri, konfrontatif dengan kebijakan – cara yang menurutku sendiri kurang pas, karena itu benar bagi Bapak, tapi tidak benar dalam menumbuhkan pembenaran sosial- dan hanya hadir sesekali dalam pengajian atau kumpulan RT.
Aku diam. Menghela nafas.
Ya, pulang ke rumah yang sedemikian berharga. Entah. Yang jelas aku menemukan satu pelajaran berharga. Seperti apapun bapakku, kutahu, ayat “Kuu anfusakum wa ahlikum naaron” betul betul ingin bapak amalkan, dan aku berharap beliau bisa istiqomah dengan itu semua.
Dan.
Hari ini aku pulang.
Tikar itu masih di tempat yang sama sebagaimana kulihat pada dua pekan yang lalu.
Dan.
Ada azzam baru yang terbersit di hati.
Mungkin, inilah salah satu cara Alloh mencintai keluarga kami.
Kalo disyukuri, maka ku yakin ni’matNya kian bertambah tambah.
(Allohu A’lam bi showab)

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU