KARENA PERTAMA : TUNAS RISALAH INI BELIAU SEMAI DENGAN CINTA (1)
Terlahir tanpa bapak, yatim sejak masih kandungan pada masa pergolakan fanatisme kejahiliyahan Arab, hukum rimba yang terjadi atas kaum sekelilingnya, penodaan atas hak hak kemanusiaan, pemerkosaan terhadap kemerdekaan, dan pembungkaman ruang publik dan partisipasi perempuan, tak ayal, Kejahiliyahan memang sebenar benar julukan yang langsung Alloh sematkan pada masa yang menjadi alasan beliau diturunkan. Tengok saja ungkapan beliau : “ Aku diturunkan adalah sebagai penyempurna akhlak”.
Ketika bayi mulia terlahir, bukti kerosulan bahkan sudah tampak, bertepatan dengan kelahirannya, sepuluh balkon istana Kisra, runtuh. Api yang dipuja dan disembah orang orang Majusi di sepanjang tanah Persia padam atas izinNya, dan gereja pemujaan berhala berhala tak bernyawa, ambles ke tanah hilang tak berbekas. Bukankah ini suatu pertanda?
Lantas beliau lahir, dengan perawatan kasih ibu kandung dan ibu susu, Aminah dan Halimatussa’diyyah. Suci darahnya, tak terkotori oleh benih zina barang sekerlip, ya, ialah para ibu dari seorang manusia mulia. Masih bayi ia, ketika sang kakek membawa ke haribaan Rumah Pencipta, diantara sekup sekup kekusukan para tetua kabilah – karena memang tak lazim pada masa itu – seorang bapak membawa anak keluar rumah, yang bagi mereka adalah urusan domestik profesi ibu susu. Tapi Bashiroh sang Abdul Mutholib begitu kemilau, melihat bahwa sang cucu bukan sembarang cucu.
Pun beranjak naik usianya, sang kakek gembira dan bangga mengajaknya untuk hadir dalam majelis majelis pengambilan keputusan, perumusan strategi kebijakan kaum Quraisy dan masa masa riuh ramai penetapan keputusan. Ya, karena ada Alloh yang menunjuki tokoh Quraisy yang terpandang ini, bahwa sang cuculah yang kelak menjadi perumus kebijakan – tak hanya untuk kaum Quraisy – bagi umat sepanjang zaman, karena ia adalah Khotamul Anbiyaa.
Maka ketika menjadi piatu beliau tak banyak menangis, perjalanan ke Yatsrib menengok sang ayah, dalam kepergiannya bersama ibu tercinta, berakhir di ‘Abwa. Beliau adalah setegar tegar anak dalam masa kanaknya. Tapi itulah, karena beliau adalah setegar tegar pemimpin yang kecintaannya pada umatnya sampai di penghujung usia terlukis dalam setiap kata yang beliau wasiatkan,. Ummati,. Ummati,. Ummati,.
Maka selanjutnya sang Paman mengambil alih bagian. Pembelajaran praksis kepemimpinan, tanggungjawab beliau jalani, dengan penggembalaan kambing, jual beli, niaga dan bisnis yang beliau tekuni – sekarang coba kita lihat dalam kitab suci AlQur’an- logika logika da’wah adalah logika perniagaan dengan Alloh, logika tanggung jawab adalah logika sebagaimana penggembala bertanggungjawab terhadap ternak yang ia gembalakan. Bukan. Kali ini bukan –sekadar- bicara tentang penggembalaan dan jual beli. Bukan. tapi bicara tentang bagaimana tunas peradaban yang Rosululloh SAW semai, adalah yang ditumbuhkan dalam persemaian cinta, yang tumbuh berkembang sejalan dengan logika manusia, untuk satu peradaban besar, yang kemanfaatannya tak lekang sebelum kiamat itu Alloh SWT datangkan.
Pun tentang peperangan, dengan sangat paham kita tahu andil tak kecil beliau dalam perang Fijar – kala usianya 15 tahun- perang atas pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan-bulan suci, yang akhirnya dimenangkan pihak Quraisy dan Bani Kinanah. Inilah perang mula. Sebelum akhirnya puluhan perang dan detasemen beliau bentuk kelak untuk penegakan agama dan Risalah yang beliau bawa.
Ya, sebelum kelahiran, ketika lahir dan tumbuh kembang sampai menjelang dewasa, adalah masa masa persemaian risalah, dimana nasab adalah keniscayaan kesucian nan luhur tak ada noda, masa kecil tumbuh dalam pembinaan nan visioner, masa remaja yang besar dengan sepenuh persiapan pengemban Risalah dan Da’wah, dan jejak menjelang dewasa, yang memuncul-dekatkan pertanda bahwa beliau nabi dari sekian banyak Anbiya…
(bersambung, Insya Alloh)
Comments
Post a Comment