TPA
Mengajar TPA hal yang biasa bukan?
jalan kaki, naik sepeda,atopun naik motor juga biasa aja. Ketemu satu dua orang
nasrani juga hal yang lumrah. Nah, menjadi berbeda bagi saya, ketika belajar
meng-combine tiga hal itu menjadi rutinitas ba’da ashar di sepanjang Romadhon
mulia ini. Yup, betul banget. Mengajar TPA di masjid AT Taqwa dekat jalan
tasura, yang notabene dengan dan ‘kental’ dengan komunitas nasrani. Ah, biasa
aja tu Thim. Hmm, iya sih biasa. tapi kok sudut pandang pribadi saya mengatakan
istimewa ya?
Karnanya, terbersit sedikit
harapan. Saya akan belajar mencintai TPA ini, sepanjang sore, b’da ashar di
Bulan Ramadhan. Maka saya izin kepada pemandu asrama, yang penanggung jawab
kegiatan ini, agar diizinkan ikut dibelajarkan dengan mengajar TPA disana tiap
sore. Walaupun jadwalnya masing masing santri hanya sekali dalam sepekan. Boleh
boleh aja, kata ammah Evi, tapi juga harus meng-kader santri santri yang lain
untuk juga peka pada perkara sya’bi. Insya Alloh Mah, walaupun saya tiap hari,
saya janji tak akan mendominasi, tetep hak hak teman teman santri untuk juga
berkecimpung disana tak terkurangi, mudah mudahan.
Namanya Iqbal dan Hesal. Sepintas
nampak kakak adik, Iqbal berbatik dihari ini, Hesal juga. besok ganti kemeja
polos Hesalnya, Iqbalnya juga. bongsor badannya, kata kata yang terlontar
bahasa bahasa gaul ABG yang sering nongol di FTV FTV (kayaknya). Ada juga Bagas
dan Andri. Soulmate-an kayaknya. Pulang pergi barengan. Sama sama pinter dan
menonjol. Kalo diminta hafalan, dibanding yang lain mereka paling banyak
hafalannya. Masih banyak yang lain. Koko dan Irul yang hitam legam, mirip dan
ternyata kakak adik kandung, Adit yang sepanjang ditanya diam saja, Rahmat,
Kelvin, dan bocah bocah kecil yang pendiam makanya tak mudah saya ingat ciri khasnya.
Yang putri bermacam macam pula.
Tapi satu yang selalu saya perhatikan sampai tembus ke bola mata binarnya.
Namanya malah saya lupa. Tapi setiap kali maju bawa jilid, mendadak hati saya
terguncang ingin memeluk erat bocah lugu ini. Maklum mbak jilidnya masih
sedikit, keluarga besarnya nasrani. Cuma bapak, ibu dan dia yang muslim, begitu
kata temannya. Saya manggut manggut.
Menyisakan senyum. Selalu. Selepas berpisah. Mereka adalah
anak anak hebat.
Jalan tasura memang biasa biasa saja. Laiknya jalan jalan
yang lain. Tapi suster suster hilir mudik pagi hari lewat. Diujungnya ada
universitas sanata dharma yang nasrani. Pinggir jalan satu dua warung berjualan
laiknya puskat dengan dagangan salib dan patung maria, warung warung makan yang
buka sepanjang siang di bulan Ramadhan, wanita sebaya saya yang keluar masuk
hilir mudik hanya bermodal hotpants, dan dilehernya seringkali bertengger
salib.
Saya curiga, asrama yang saya tempati, Pondok
Pesantren Mahasiswi (PPMi) Asma Amanina didirikan bukan tanpa misi. Pasti ada.
Ya ngak sih? Hmm, perlu diselidiki.
Minimal geraklah
dulu. Sambil terus menulis mimpi mimpi, menulis harapan harapan rasional yang
bisa diterjemahkan dalam kata kerja. Bagaimana bocah bocah lucu ini lebih kenal
agamanya, budaya islamnya, punya pilar minimal dalam geraknya. Pun kemudian
hidup berdampingan, toleransi itu tetap berpijakkan kekokohan akidah. Apakah
terlalu muluk saya berharap?
Udah sih Thim, baru juga tiga hari TPA itu kamu jalani.
Tekuni dulu, benerin dulu, motivasi dulu adik adiknya. Bikin mereka dekat,
senang, dan ngerasa butuh untuk belajar islam. Itu dulu, simpel kan? Muluknya
iya, tapi disistematiskan ya? Di share kan juga ke yang lain, biar semangatnya
nular, biar jadi kerja jama’I yang berkelanjutan, ditopang banyak SDM. Citamu
besar, tapi bisa kerdil kalo merasa bisa selesai dengan sendirian.
Kayaknya, studi banding awal terbangunnya Nurul Ashri
menarik. Ngak mungkin kan tu Nurul Asri
yang juga sebelahan sama penerbit kanisius langsung besar dan keren gitu
aja?? Sekarang aja hasilnya kelihatan, lha proses tertatihnya dulu ??
Hm, Mendadak saya
kangen sama ikan ikan besar dikolamnya :D
salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
ReplyDeleteBersabarlah dalam bertindak agar membuahkan hasil yang manis.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.