Ini Puisi Cinta
Sekarang aku begitu mengerti, kenapa Abdurrahman Faiz dengan "Aku Ini Puisi Cinta"nya bisa mirip Helvi Tiana Rosa sangat :')
Barangkali ini puisis cinta, untuk Palestina yang aku yakin tak dirundung duka. aku yakin. pasti mujahid sana bersorak sorak gembira. karena cita Husnayain sudah di depan mata. Hidup mulia, Mati Syahid, itu cukup. lagi lagi, itu cukup.
APAKAH SAMPAI PADAMU BERITA TENTANG MAHANAZI?
(Helvy Tiana Rosa)
Kabar apakah yang sampai padamu tentang Palestina?
Apakah sampai padamu berita
tentang rumah-rumah yang dihancurkan
tanah-tanah meratap berpindah tuan,
bahkan manusia yg dibuldozer?
Apakah sampai padamu berita
tentang air mata yang tumpah
dan menjelma minuman seharihari
tentang jadwal makan yang hanya sehari sekali
atau listrik yang menyala cuma empat jam sehari?
Apakah sampai padamu
berita tentang kanak-kanak yang tak lagi berbapak
tentang ibu mereka yang diperkosa atau diseret ke penjara?
Para balita yang menggenggam batu
dengan dua tangan mungil mereka
menghadang tentara zionis Israel
lalu tangan kaki mereka disayat dan dibuntungi
Apakah sampai padamu berita tentang masjidil Aqsha
di halamannya menggenang darah
dan tubuhtubuh yang terbongkar
Peluru yang berhamburan di udara
menyanyikan lagu kematian menyayat nadi
kekejaman yang melebihi fiksi
dan semua film yang pernah kau tonton
di bioskop dan televisi
Kebiadaban yang mahanazi
Tapi orangorang di negeriku masih saja mengernyitkan kening:
“Palestina? Untuk apa memikirkan Palestina?
Persoalan di negeri sendiri menjulang!”
Mereka bersungutsungut tak suka
Membatu, tak jarang terpengaruh
menuduh pejuang kemerdekaan Palestina
yang membela tanah air mereka sendiri
sebagai teroris!
Duhai, maka kukatakan pada mereka:
Tanpa abai pada semua persoalan di negeri ini
Atas nama kemanusiaan: menyala-lah!
Kita tak bisa hanya diam
menyaksi pagelaran mahanazi
sambil mengunyah menu empat sehat lima sempurna
dan bercanda di ruang keluarga
kita tak bisa sekadar
menampung pembantaianpembantaian itu dalam batin
atau purapura tak peduli
Seorang teman Turki berkata:
mereka yang membatasi ruang kemanusiaan
dengan batasbatas negara
sesungguhnya belum mengerti makna kemanusiaan
Hai Amr Moussa tanyakan pada Liga Arab
belum tibakah masanya bagi kalian
bersatu, membuka hati, berani
berhenti mengamini nafsu Amerika
yang seharusnya kita taruh di bawah sepatu?
Hai Ban Ki Moon,
apakah Perserikatan Bangsa Bangsa itu nyata?
Sebab tak pernah kami dengar
PBB mengutuk dan memberi sanksi
pada mahanazi teroris zionis Israel
yang pongah melucuti kemanusiaan dan keberadaban
dari wajah dan hati dunia
Apakah kalian, apakah kita tak malu
Pada para syuhada flotilla, Rachel Corrie, Yoyoh Yusroh
dan George Galloway?
Karena sesungguhnya kita bisa melakukan sesuatu:
menyebarkan tragedi keji ini pada hatihati yang bersih,
memberi meski sedikit apa yang kita punya
dan mendoakan Palestina
Apakah sampai padamu, berita tentang mahanazi itu?
Tentang Palestina yang bersemayam kokoh
di hati mereka yang diberi kurnia?
Seperti cinta yang tak bisa kau hapus
dari penglihatan dan ingatan,
airmata, darah, dan denyut nadi manusia
dan juga aku tak bisa berhenti menyukai Taufik Ismail. Karena puisi cintanya tak lekang meski usia jauh jauh melewati batas paruh baya,,
Barangkali ini puisis cinta, untuk Palestina yang aku yakin tak dirundung duka. aku yakin. pasti mujahid sana bersorak sorak gembira. karena cita Husnayain sudah di depan mata. Hidup mulia, Mati Syahid, itu cukup. lagi lagi, itu cukup.
APAKAH SAMPAI PADAMU BERITA TENTANG MAHANAZI?
(Helvy Tiana Rosa)
Kabar apakah yang sampai padamu tentang Palestina?
Apakah sampai padamu berita
tentang rumah-rumah yang dihancurkan
tanah-tanah meratap berpindah tuan,
bahkan manusia yg dibuldozer?
Apakah sampai padamu berita
tentang air mata yang tumpah
dan menjelma minuman seharihari
tentang jadwal makan yang hanya sehari sekali
atau listrik yang menyala cuma empat jam sehari?
Apakah sampai padamu
berita tentang kanak-kanak yang tak lagi berbapak
tentang ibu mereka yang diperkosa atau diseret ke penjara?
Para balita yang menggenggam batu
dengan dua tangan mungil mereka
menghadang tentara zionis Israel
lalu tangan kaki mereka disayat dan dibuntungi
Apakah sampai padamu berita tentang masjidil Aqsha
di halamannya menggenang darah
dan tubuhtubuh yang terbongkar
Peluru yang berhamburan di udara
menyanyikan lagu kematian menyayat nadi
kekejaman yang melebihi fiksi
dan semua film yang pernah kau tonton
di bioskop dan televisi
Kebiadaban yang mahanazi
Tapi orangorang di negeriku masih saja mengernyitkan kening:
“Palestina? Untuk apa memikirkan Palestina?
Persoalan di negeri sendiri menjulang!”
Mereka bersungutsungut tak suka
Membatu, tak jarang terpengaruh
menuduh pejuang kemerdekaan Palestina
yang membela tanah air mereka sendiri
sebagai teroris!
Duhai, maka kukatakan pada mereka:
Tanpa abai pada semua persoalan di negeri ini
Atas nama kemanusiaan: menyala-lah!
Kita tak bisa hanya diam
menyaksi pagelaran mahanazi
sambil mengunyah menu empat sehat lima sempurna
dan bercanda di ruang keluarga
kita tak bisa sekadar
menampung pembantaianpembantaian itu dalam batin
atau purapura tak peduli
Seorang teman Turki berkata:
mereka yang membatasi ruang kemanusiaan
dengan batasbatas negara
sesungguhnya belum mengerti makna kemanusiaan
Hai Amr Moussa tanyakan pada Liga Arab
belum tibakah masanya bagi kalian
bersatu, membuka hati, berani
berhenti mengamini nafsu Amerika
yang seharusnya kita taruh di bawah sepatu?
Hai Ban Ki Moon,
apakah Perserikatan Bangsa Bangsa itu nyata?
Sebab tak pernah kami dengar
PBB mengutuk dan memberi sanksi
pada mahanazi teroris zionis Israel
yang pongah melucuti kemanusiaan dan keberadaban
dari wajah dan hati dunia
Apakah kalian, apakah kita tak malu
Pada para syuhada flotilla, Rachel Corrie, Yoyoh Yusroh
dan George Galloway?
Karena sesungguhnya kita bisa melakukan sesuatu:
menyebarkan tragedi keji ini pada hatihati yang bersih,
memberi meski sedikit apa yang kita punya
dan mendoakan Palestina
Apakah sampai padamu, berita tentang mahanazi itu?
Tentang Palestina yang bersemayam kokoh
di hati mereka yang diberi kurnia?
Seperti cinta yang tak bisa kau hapus
dari penglihatan dan ingatan,
airmata, darah, dan denyut nadi manusia
dan juga aku tak bisa berhenti menyukai Taufik Ismail. Karena puisi cintanya tak lekang meski usia jauh jauh melewati batas paruh baya,,
PALESTINA, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU
(Taufik Ismail)
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir
dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran
di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan
(Taufik Ismail)
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir
dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran
di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan
apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di
Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor
agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas
mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai
kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-
sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening
kita semua, serasa runtuh lantai papan surau
tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an
40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini
ditetesi air mataku.
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan
umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan
tangan dan lengannya, siapakah yang tak
menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang
dizalimi mereka – tapi saksikan tulang muda
mereka yang patah akan bertaut dan mengulur
kan rantai amat panjangnya, pembelit leher
lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-
Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim
Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang diba-
cakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami
semua berdegup dua kali lebih gencar lalu ter-
sayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami
pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan
kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi
dusta, menebarkannya ke media cetak dan
elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi
di padang pasir belantara, membangkangit reso-
lusi-resolusi majelis terhormat di dunia, mem-
bantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser
Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at
sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh
dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,
yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu
dengan kukuh kita bacalah
‘laquwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.
Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor
agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas
mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai
kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-
sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening
kita semua, serasa runtuh lantai papan surau
tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an
40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini
ditetesi air mataku.
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan
umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan
tangan dan lengannya, siapakah yang tak
menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang
dizalimi mereka – tapi saksikan tulang muda
mereka yang patah akan bertaut dan mengulur
kan rantai amat panjangnya, pembelit leher
lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-
Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim
Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang diba-
cakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami
semua berdegup dua kali lebih gencar lalu ter-
sayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami
pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan
kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi
dusta, menebarkannya ke media cetak dan
elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi
di padang pasir belantara, membangkangit reso-
lusi-resolusi majelis terhormat di dunia, mem-
bantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser
Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at
sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh
dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,
yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu
dengan kukuh kita bacalah
‘laquwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.
Comments
Post a Comment