Mengelola Rasa Cemburu
D : “Kamu
motoran sendirian kan?”
K : “Yoi”
D : “Oke,
kalo gitu aku mbonceng kamu ya Kakak !”
K : “oke.
Gampang.”
...............
F : “Ehm.
Ada yang jealous loh!”
D :
“Hahahaha! Ada yang jealous!”
Btw aku juga orang yang sangat mudah loh kayak
gitu !”
K :
“?!xmndfdshsg !”
F : “ Hmm.
Menarik. Mengelola rasa cemburu! Jadiin tulisan ahhh!”
Dyfdskfriterbhgcsdvwevedftretwes cdd.................
Sepenggal percakapan, di suatu waktu.
Rasa cemburu. Hmmm. Itu bukan hal yang tabu untuk
dibicarakan bukan??? Baik, kali ini ingin sekali menuliskan terkait rasa yang
satu itu. Namanya rasa cemburu. Yaitu suatu rasa, yang jika dan hanya jika
hadir dalam diri seseorang maka akan menghasilkan suatu rasa baru yang
menimbulkan rasa itu berasa sejuta rasa. Duh, betapa susahnya mendefinisikan istilah itu. Ada yang bisa
bantu saya???
(Lagi lagi) ada kisah menarik yang bisa kita selami. Yaitu
saat Rosululloh membebaskan kota Makkah, peristiwa agung bernama Fathul Makkah.
Dalam pada itu, satu fragmen kecemburuan ala Rosululloh bisa kita teladani.
Penasaran? Teman teman bisa buka buku (lagi lagi) Ustadz Salim A Fillah, Jalan
Cinta Para Pejuang, hal 193-196.
Fathul Makkah, adalah masa pengampunan besar besaran yang Rosululloh
gelar bagi seantero warga Makkah yang dahulu menyakitinya. Tapi tetap saja, ada
daftar nama nama musuh keji yang harus Rosululloh basmi. Satu diantaranya
adalah saudara sesusuan Usman bin Affan. Minta suakalah sang saudara ini pada
Usman. Dan ketika sepi mulai menghampiri hiruk pikuk kemenangan, menghadaplah
Usman dan saudaranya ini menghadap Rosululloh mohon pengampunan. (Duh, maafkan saya Ustad Salim, mendadak
kisah mendalam itu terasa dangkal begitu akan saya ceritakan ulang). Intinya saat menghadap Rosululloh itulah,
kita belajar betapa rasa cemburu itu adalah sesuatu yang sangat ‘sesuatu’.
Sahabat beliau yang sangat beliau cintai, Usman, menghadap
beliau, untuk memintakan ampun dan memohonkan perlindungan atas orang yang
sampai saat itu menjadi musuh dakwah. Usman!. Sahabatnya!, bersanding untuk membela musuh dakwah yang
beliau emban, bersitatap dan berseberangan posisi dengan beliau! Betapa rasa
cemburu itu pasti mencabik cabik sisi putih hati Rosululloh. Muka beliau datar.
Kenapa bisa Usman membelanya? Memberikan suaka?
Pun juga disisi hati Usman. Dalam hatinya bergemuruh.
Pantaskah ia melakukan ini semua?? Pengorbanan yang ia lakukan menjadikan
perbuatannya ini pastaskah ?
Tapi Rosululloh, dengan segala faktor yang bisa dirasio
dalam analisis kita, bersanding dengan putihnya hati beliau, dilluluskanlah
permohonan sang sahabat nan pemalu. Meskipun suatu kepastian. Rasa cemburu itu
susah didefinisikan lagi. Usman
menggandeng saudaranya, dengan ekspresi sebelumnya yang berseri sejenak,
lalu muram, lalu datar. Pasca menjauhnya
Usman, Rosululloh bersabda pada para sahabat yang membersamainya, yang juga
diam seribu bahasa saat menyaksikan episode yang menegang senyalang pandang
sebelumnya. “Jika pun diantara kalian tadi ada yang maju memenggalnya,
sesungguhnya aku terdiam sedari tadi agar ada diantara kalian yang maju dan
memukul tengkuknya..”
“mengapa tak kau beri isyarat pada kami?” tutur sesal
seorang Anshar
“Sesungguhnya seorang nabi, tidak akan berkhianat meskipun
hanya dengan isyarat”
Alangkah cemburunya sang Nabi, meliaht sahabatnya,Usman,
memilih saudaranya dibanding beliau, begitu konklusi yang disampaikan ustad
Salim, “,........alangkah bergejolak hatinya melihat yang dilakukan Usman,
alangkah ingin beliau membunuh musuh Alloh, si murtad ‘Abdullah ibn Abi Sarh.
Tapi alangkah kukuhnya prinsip yang beliau pegang. Kecemburuan tak mengizinkan
seseorang menjadi pengkhianat. Maka sang Nabi tak berkhianat, juga Usman pun
tak berkhianat pada ‘Abdullah saudaranya yang telah mempercayainya. Dari mereka
kita belajar, cemburu, bukan untuk cemburu itu sendiri” (JCPP : 196)
Nah pembaca.
Pernahkah hal ‘semacam’ itu kita rasa?
Disini mulai jelas ya. Bahwa tak melulu cemburu itu milik
abege putih abu abu. Ini tentang keluhuran pelajaran dari kata cemburu. (agak
risih sih sebenarnya ngulang-ulang kata kata ini).
Dalam persaudaraan, dalam pertemanan, dalam bergandengan
tangan mengerjakan sesuatu secara bersama sama, kondisi kondisi yang
meniscayakan kecondongan pada satu partner itu niscaya. Juga urusan urusan yang
harus diselesaikan, meniscayakan kedekatan merujuk kesatu nama itu juga
keotomatisan. tapi dalam pada itu, banyak pelajaran yang bisa diambil. Bahwa
atas nama kepemilikan, kepemilikan akan teman atau saudara, ada sesuatu yang
tak selamanya menjadi milik kita. Kita berhak memilikinya dalam satu sisi, tapi
dia juga berhak memiliki yang lain dalam sisi lain. Memang, jebakan rasa
kepemilikan ini mengkhawatirkan. Akan menyisakan lembar menyakitkan ketika
kebablasan. Maka menjadi penting adalah, mengelola rasa dalam batas batas yang
proporsional. Ada kala seutuhnya bisa jadi milik kita, tapi suatu waktu ia akan
menjadi milik bersama.
Dalam persaudaraan, entah atas nama persaudaraan apa, ada
pelajaran riil yang bisa kita dapati sehari hari. Disini mendidik kita,
mengajak kita, bahwa adil itu bukan suatu kata yang melangit milik medan
penguasaan saja. Tidak. Adil bahkan, pada diri sendiri, pada teman, pada
saudara, bahkan, sebagaimana kisah diatas, musuh sekalipun, harus terletak
disana persil keadilan. Keadilan dalam satu fragmen, bernama kepemilikan.
Maka cemburu itu harus dimunculkan, dan kemudian kita kelola
untuk kian arif memaknai keadilan, proporsional, . dalam kepemilikan. Lagi
lagi. Dari rasa cemburu, mari kita belajar.........
Multazam 7
Senin, 26 November 2012 :: 15.38
jempol deh buat mbak Fatim XD.
ReplyDelete