Sepanjang Melepas KT 7445 AK
Mulai nulis dari mana ni ceritanya?
Dari keluar asrama, kemudian ke Gerai (?) Kawasaki Gejayan,
dan ke Pusat Kawasaki Jalan Magelang dekat SMA 4 Jogja, atau ... (?)
Kayaknya lebih efisien to the point ke KALOG Jl. Pasar Kembang,
simpel, sarat makna. Mari.
masih buka pak. ditunggu bentar kalo bapak mau ngirim sore ini juga.
Itu sepenggal pesan singkat, balasan yang diberikan cp staff
kalog yang saya tanya via sms karna sekian menit saya duduk di emperan jalan,
nungguin kantor ngk buka buka. Persis di depan kantor Logistik KA-nya. Kantor
Pengiriman segala macam dokumen, barang, dan kendaraan (tapi lupa slogan-nya
apa).
ya pak, saya tunggu. (btw maaf, ini bukan ‘pak’, ini putri)
Sejurus lamanya. Ada panggilan dari belakang,
“Mbak Putri ya?? ada yang bisa dibantu ?”
Errrrr. Nahan tawa. Masuk mengikuti bapaknya, dan kemudian
hening, sejenak.
Dengan bapak (namanya Pak Danu), duduk di balik mesin tik
lawas inventaris KALOG, saya duduk berhadapan, nglepasin helm, ngluarin kunci
motor, dan nyerahkan fotokopian STNK.
“Ralat Pak, nama saya Fathim, bukan Putri. Maksudnya kata
putri di sms saya tadi adalah saya anak putri Pak, putri yang kebalikannya
putra, saya ngk kulino pake kata kata cewek, kalo perempuan juga terlalu
panjang, apalagi wanita, terlalu formal,” datar dan kalem (pastinya).
“Oh, kirain namanya Mbak Putri, hahahha. Yowis yo mbak,
gimana gimana? Mau ngirim kemana, mana alamat nomer hapenya?”
Welldone. Prolog yang menyenangkan. Selebihnya, sekitar
20menit saya diinterogasi macam macam, alamat tujuan, alamat asal, kuliah,
dan.. jadinya malah ngobrol ngk tentu arah. Sampai sampai, malah curhat tentang uzurnya mesin tik Pak Danu-nya.
Untung ada bapak bapak yang ngurus paketan juga, slain itu ada ibu ibu jualan
minum mondar mandir di depan KALOGnya, ngobrolnya walhasil ngk Ikhtilath saya
(Terimakasih ya Alloh).
Urusan usai. Ongkir Yogya – Bandung untuk satu motor (+
helm, dan kelengkapan2 yang disertakan) 190ribu, ditambah biaya packing,
ngangkut dari kantor KALOG sampai gerbong, dll nambah 35ribu, total uang keluar
225ribu (penting untuk dicatat, bagi anda anda pembaca yang ada probabilitas
besar akan ngirim sesuatu ke Bandung). Dan... “trimakasih banyak Pak, dan saya
pamit...”.
Menuju shelter trans depan Malioboro I, depan hotel Garuda.
Di persimpangan, dekat rel. Mata saya bersirobok dengan
pemandangan yang “nggegirisi” –menggiriskan-. Bapak anak, dengan anak yang
masih bayi, prediksi saya belum ada satu tahun usianya, didudukkan di pangkuan
sang Bapak. Dengan tangan bapaknya memegang wadah koin, ya, mereka pengemis.
Saya tak ada minat berspekulasi banyak hal, itu anak siapa, dari mana, ngapain
keduanya berdua disana, ngk. Sama sekali ngk ada minat. Saya takut timbul
prasangka yang tidak tidak. Maka kemudian, hanya mematung diam sejenak, menarik
napas panjang, dan “............aku jauh lebih beruntung dari mereka. Jauh.
Sangat jauh.” Menatap wajah bayi itu lebih lama, mencari cari binar matanya,
tapi lama diam, lama juga bayi itu memandang ke arah lain. Sedih. Iya. Serasa
selama ini terlalu jauh bersinggungan pada ranah yang begitu borju, hingga mata
pedih proletar bayi itu enggan lagi menyapa.
Mengingati banyak hal sepanjang berpaling dari persimpangan.
Kamar yang jauh jauh lebih “mewah”, fasilitas fasilitas perkuliahan yang kian
menunjang, kendaraan, laptop, wifi asrama, makan sehat sehari dua kali,
kemudahan dekat dengan forum diskusi, ilmu syar’i,.......jauh. sangat jauh
berbeda dari semester semester awal dulu. Pada bayi yang tak mau menoleh itu,
aku menjadi banyak bertanya tanya. Kenapa bahkan kau tak sudi menatap mataku,
bayi jalanan sholihah? Sebegitu jauhkah aku meninggalkan hidup laikmu
sebagaimana dulu? Bukan meminta minta, tapi selalu pada keterbatasan yang ada?
Bayi jalanan sholihah,,,, banyak yang harus aku perbaiki atas nikmat yang
bertubi tubi ini.
Zebra cross menuju shelter Malioboro I, lewat. Dan kemudian
masuk.
3 orang. 2 laki laki, satu perempuan. Dengan wajah wajah
cadas. Mata nyalang dengan bingkai menghitam, kelam. Para punkrock jalanan. Aku
mendadak mengingati Nanang. Nama lengkapnya Nanang .................... teman
SD dulu, satu kampung, satu RT. Teman yang agak berandalan, kala SD dia sudah
ngrokok, suka ngambil barang punya orang lain lagi! Tapi padaku dia selalu
baik, saya ingat waktu mbolos dan pergi ke kali, bareng dia juga, belum
kebaikan kebaikan lain saat masih kriminal jaman SD dulu. Nanang. Terakhir
kulihat Lebaran kemarin, tapi sepintas saja, ngk sampai seksama.
Sebelum itu, sekali waktu saya temui dia, Nanang. Dengan
kecrekan ngamennya, di perempatan Denggung yang kalau dari jogja ambil kiri
tembus ke pusat kabupaten Sleman. Nanang disana, dengan pakaian khas
sebagaimana 3 orang yang kutemui di shelter, pakaian khas Rock Jalanan. Fix.
Teman SD ku nyetrik jadi anak nge-punk, kapan kapan kita harus main lagi.
Mata ketiga orang tadi, nyalang ke sekitar. Saya pun tak
kuasa lama lama mencari cari titik temu bola matanya, mencari frekuensi dari
mana aku harus menegur membincangi mereka.
Tak menemukannya juga. Tapi kini kumampu berspekulasi, pada kemungkinan
kemungkinan dari mana mereka berasal, dan kemudian pada celah mana aku bisa
menemukan mata hatinya. Barangkali tak lewat mereka langsung, ya, tapi bersama
Nanang, yang bisa jadi masih seperti itu atau kini telah memilih yang lain.
Tapi suatu waktu, ada masa aku temukan lagi ia.
Lama menanti 3A melintas, dua orang diantara banyak orang
yang masuk shelter, berhasil mencuri perhatian. Pasangan mahasiswa. Laki laki
perempuan. Satu laki laki berjaket hitam, necis, dan satu wanita, jilbab merah
marun rapi menutup dada. Kali ini saya tak mau berspekulasi lagi, siapa mereka,
sudah nikahkah mereka. Tidak. Karena dua bola matanya yang tak berfungsi mampu
membuat otak saya mengetikkan banyak cerita cerita. Ya. keduanya buta. Dari
perbincangannya saya paham, keduanya mahasiswa tingkat akhir. Sadapan telinga
menemukan, bicara tak jauh dari topik skripsi, keluhan akan dosen pembimbing,
dan rencana rencana kunjungan mencari referensi. Keduanya tengah membicarakan
tugas akhir mahasiswa S1. Yang barangkali sama juga aku alami.
Meski sama, nyata beda. Keduanya dengan keterbatasan
penglihatan yang ada, lihat Fathim! Matanya tiada, tapi semangat bicara pada
tanggung jawab tahun akhirnya berapi api, kesana kemari, dan tak peduli pada
apa kata orang. Mereka bercita cita, dan menebus keterbatasan yang ada. Dan Aku??
Rasanya tak perlulah ada cerita.
Begitulah.
Sepanjang perjalanan melepas KT 7445 AK yang akan kembali
pada pemilik sesungguhnya, aku melihat bahwa begitu banyak perjalanan telah
mampu membeda. Membeda paradigma, membeda persepsi, dan membeda aku harus
berbuat apa. Dulu, masih independent, masih proletar, dan tentu tak mengerti
pada delik delik peri kehidupan kemapanan. Dulu. Baik, dengan segenap
kebaikannya. Dan perjalanan itu telah membeda, ada dependensi yang kini
terbangun, ya, karena keberpihakan itu niscaya, pada tempat yang tepat, pada
setepat tepat kebergantungan dan simbiosis yang membuahkan mutualisme surgawi.
Pun juga, pengenalan pengenalan pada perikehidupan yang tak selamanya proletar,
menjadikan berusaha memposisikan diri di tengah dinamika yang –tentu saja- tak
semudah yang sejak dulunya terbiasa. Tetapi pada kemapanan, aku tak ingin
berdamai dengannya, terus terang belum ingin, karena takut ini menjedakanku
kian tak mungkin mencari bola mata dari bayi bayi jalanan yang bertebaran masih
banyak di luaran yang tak sempat kutemui. Lagi lagi belum ingin. Karena aku
belum bicara banyak pada teman SDku punkrock jalanan, belum tau rasa apa yang
mereka rasa hingga pilihannya jatuh seperti sekarang.
Sepanjang perjalanan melepas KT 7445 AK.
Banyak yang membeda.. itu meniscayakan dinamika, walau
pasti, ada satu mata hati yang masih harus diasah menjernih.
KT 7445 AK : terima kasih jasa baikmu sekian bulan, baik
baik kau dirantau sana bersama sang pemilik sungguhan. Dan aku disini, pasca
kepergianmu, menyisakan ragam cara mengasah mata hati kian tajam. Mudah
mudahan.
28 November 2012 :: 12:28
(ost Mirwana : Aku tanpa cintaMu .....Aku tanpa cintaMu,
bagai layang layang terputus talinya....................)
Comments
Post a Comment