Meramu Fakta : Saat Dua Dekade Terlewati
Umar termenung lama.
Lama sekali. Apakah ini kebaikan atau musibah? Begitu ia bertanya pada dirinya
sendiri tentang fenomena fenomena kemenangan besar yang hilir mudik ia peroleh.
Tiba tiba ia tersadar, bahwa eranya terlalu jauh dengan era kedua pendahulunya
: Rosululloh SAW dan sahabat tercinta, Abu bakar As Shidq.
Di era Umar, populasi
umat islam berkembang sedemikian pesat. Lahir pula sebuah masyarakat
multikultur yang sangat besar. Lalu ada kesejahteraan dan kemakmuran yang
melimpah ruah. Ini semua belum ada, pada zaman nabi dan kekhalifahan pertama.
Itu meresahkan Umar. Apakah ini kebaikan? Atau malah musibah? Kalau ini
kebaikan, kenapa tak terjadi pada masa sebelumnya? Kalau ini musibah, apakah
Alloh hendak memisahkan aku dari kedua pendahuluku?
Baiklah. Biarkan cuplikan Serial Pembelajaran Ustad Anis
Matta berjudul “Kepemimpinan Para Pembelajar” yang termuat di Tarbawi edisi 192
th 1 Dzulhijjah 1429 H/ 11 Desember 2008 M tadi mengawali refleksi ini. Saat dua
dekade terlewati. Rampung. Dan kini bertambah satu tahun.
Kalaulah izin Alloh sejalan dengan cita, suatu waktu,
bolehlah kisah hidup alias biografi tertuliskan. Lamat lamat. Dengan harmoni
evaluasi yang tidak kenal henti. Berharap dijadikan pelajaran, atau kalau itu
terlalu tinggi, setidaknya dijadikan kenangan keluarga besar. Suatu waktu.
Mudah mudahan.
Banyak yang telah berubah. Banyak yang telah berbeda. Dalam
21 tahun menjalani hidup yang alhamdulillah tak selamanya lurus, tak selama
langgam mendatar. Lagi lagi, ini kesyukuran. Karna selalu mengingati, betapa
hidup ini ibarat naik sepeda (sebagaimana naik sepeda onthel juga kala harus
masuk kampus dan kemana mana, bukan, ini nyata, tapi hidup juga ibarat
kenyataan itu). Kenapa naik sepeda? Ya. Karena naik sepeda meniscayakan terus
bergerak, terus berjalan, kalau tidak, pastikan sepeda itu akan oleng, dan
tinggal pastikan pengemudinya pun mengalami nasib yang sama. Maka dengan
banyaknya hal yang berubah, banyaknya hal yang berbeda, anggap saja itu semua
tantangan hidup yang harus selalu berlaku. Bukankah sudah pernah kubilang,
passion hidup itu ada pada sebesar apa tantangan itu berhasil kau taklukan?
Mengingati 21 tahun yang terlewat. Ada banyak yang berbeda.
Ada banyak yang berubah. Bagaimana mengawal hidup dengan kondisi nyaman dan
lurus, kemudian memilih melihat keterjalan pola igir lembah kehidupan, semua
menciptakan pembelajaran yang tak henti memutarkan pikiran. Baru dan baru.
Berbeda dan berbeda.
Dan,
Barangkali itulah hakikatnya hidup.
Kembali pada fragmen kisah Sang Umar.
Keresahan sang Umar,
adalah resah seorang pemimpin yang tak henti untuk belajar. Ia bertanya dan
terus bertanya. Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hasilnya nyata, menjadi
sumber pembelajaran kita semua. Beliau mendampingi Rosululloh 18 tahun lamanya,
kekhalifahan Abu Bakar selama 2,5 tahun. Beliau telah belajar banyak. Jadi,
walaupun zaman beliau terlampau jauh berbeda, tapi pembelajaran lapangan telah
ia dapatkan lebih dari 20 tahun. Dan itu memadai, untuk peletakan dasar dasar
Negara Baru Madinah.
Merefleksikan 21 tahun yang telah lewat. Konon saya
dilahirkan saat adzan Shubuh hampir menjelang, di waktu waktu sepertiga malam
terakhir mau terlewati. Ide nama, bapak dapatkan dari seorang penyair wanita
Palestina, pengarang secuplik syair puisi, berikut puisinya
“Ada saatnya menggurat
kata,
Ada saatnya berbuat
nyata”
yang
beliau dapatkan dari majalah Prisma edisi kala itu.
Kemudian
diperjalankan dalam 21 tahun ini, dalam cerita cerita yang sebagaimana saya
kata dimula, bisa dibilang tak langgam langgam saja. Naik turun dalam
kehidupan, terjal landai dan menukik tajam, semuanya menyisakan pelajaran
pelajaran, yang entah cukup entah kurang, dijadikan bekal sekian tahun
menyelesaikan jatah hidup di kemudian.
Maka
dalam 21 tahun ini, lagi lagi yang rasa syukur yang ingin bertambah tambah
dipanjatkan. Syukur atas nikmat sehat, syukur atas nikmat waktu, syukur atas
nikmat udara yang bebas saya hirup, syukur atas nikmat persaudaraan, syukur dan
syukur, lebih lebih pada karunia iman dan islam. Nikmat yang saya selalu
berdo’a, ia dihadirkan selalu, di-tsabatkan selalu, karena tak siapapun tahu,
tak siapapun menjamin, istiqomah itu menjadi rahasiaNya, sampai kapanpun. Maka
pada diri sendiri tak pantas berucap yang mendampakkan ujub, melesapkan
tawadhu’, mengenyahkan karunia nikmat nikmat Alloh. Lagi lagi tak pantas.
Fragmen
kisah perubahan perubahan pada masa Umar saya cuplikan. Sengaja. Membersamai
dalam tiap kejadian yang saya alami, kadang jauh berbeda, kadang berbeda jauh,
dari yang pernah saya pelajari dari pengalaman pengalaman bersama para
pendahulu. banyak yang berbeda.
21
tahun. Itu usia fiktif. Karna pada kenyataanya merasai jalannya hidup adalah
dimana kesadaran bahwa “saya sudah dewasa” itu mulai terpatri. Saya lupa sejak
kapan. Tetapi betapa, melihat nostalgia nostalgia masa lalu itu sungguh tak
dilarang, sangat sangat diperbolehkan, sebagai bahan pembelajaran, sebagai
sarana menarik ulur pertimbangan pertimbangan. Tetapi idealisme itu bicara masa
depan. Tantangan ke depan. Persoalan persoalan hari ini. Dan strategi strategi
pemecahan sebagai ikhtiar penambah beban amal kebaikan yang kelak di yaumul
Mizan akan dipersaksikan.
21
tahun.
Memang
begitu berbeda dengan tahun tahun kemarin. Saat 20 tahun, 19 tahun, 18 tahun
dan tahun tahun sebelumnya.
Maka
pesan Sang Khalifah itu begitu kuat ingin terpegang, “Ta’allamuu, Qobla an Tasuuuduu” : Belajarlah, sebelum (kalian)
memimpin”
Dalam
tiap langgam yang berbeda inilah, semoga selalu terletak sekian banyak sarana
sarana saya belajar.
21 tahun, dan “Belajarlah, sebelum (kalian)
jadi pemimpin”.
Multazam 7
24 November 2012 :: 1.14
Comments
Post a Comment