Berhati hatilah!
Ibarat tengah berada di pasar malam, nuansa hingar bingar
senantiasa paradoksal. Andai boleh memilih, tentu bahagia senantiasa hidup
dalam suasana ideal. Ibarat ada selalu di padang gembalaan, atau sabana yang
menghadirkan bahagia, tenang sejahtera. Tetapi kehadiran suasana kadang tak mau
tau pilihan kita, dia hadir (seolah-olah) semena mena, tanpa tahu apa yang
terjadi dengan penikmat suasana itu sendiri. Semena mena? Ya. Kadang
ketaktahuan membuat senang dengan pemilihan kata kata yang (juga) semena mena dalam
mendeskripsikan yang terjadi pada hidup ini sendiri.
Kesenangan pasar malam memang begitu menipu, menghadirkan
kebahagiaan semu, sejenak, melupaingatankan penikmat yang sejenak mampir, dan
menghilang begitu subuh pun bergema. Paradoksal, dan begitu membingungkan,
sebagaimana yang dialami Algren ketika kedewasaannya tak jua tumbuh sehingga ia
terima saja tawaran untuk mengajar perang ala barat pada bangsa yang luhur
dengan samurai.
Berhati hatilah.
Ketika lupa hakikat diri, hingar bingar pasar malam yang
beberapa jenak ini begitu melenakan. Sekaligus mampu ia memilih mana yang
tulus, mana yang pragmatis mencari penghidupan dalam ragam lokus lokus
kehidupan. Yang tak waspada, ia nikmati saja aneka permainan dan hingar bingar
sampai tak sadar waktu fajar sudah menjelang. Begitu tenda tergulung dan usai
sudah pasar digelar, bisa kau tatap, dia yang terbujuk kenikmatan, lupa hakikat
diri, kini sempoyongan tak tentu arah mau kemana. Untuk kembali menyelami liku
liku idealisme yang tertanam sepi padang sabana lagi? Perlu waktu.
Maka yang belum jauh melewati malam, pada hingar bingar
pasar malam, Berhati hatilah!
Comments
Post a Comment