Mencari Ibu Paling Sempurna



22 Desember 2012
sebatas ilustrasi


Bilangan pergantian waktu memang banyak menghasilkan perubahan perubahan. Tak peduli, pada sumbu mana perubahan itu terjadi, tetapi keniscayaan s’lalu saja pasti.

Jika pada 22 Desember 2011 lalu, syair Faiz lebih melekat dalam ingatan,
“Ibu, Engkau adalah puisi abadiku,
Yang tak mungkin kutemukan dalam buku”

Maka di 2012 ini, Putu Wijaya mengajarkan dengan syair yang cukup berbeda,

“Ibu adalah sebuah konsep,
Ibu adalah sebuah ruang.
Sebuah rasa damai, sebuah peresapan.
Sebuah makna,
Sebuah makna, yang tak habis diucapkan.
Yang tak akan tepat semuanya diucapkan,
Karna ia menjalani seluruhnya,
Karna dia sempurna”

Konsep, ruang, damai, peresapan, dan menjalani secara keseluruhan. Dia adalah ibu. Yang tak selalu harus disebut sebut dalam hari hari tertentu. Dan sampai saat ini saya akan selalu mempelajari itu. Bagaimana belajar menyayanginya, bagaimana belajar untuk melihatnya dari sudut pandang paling nadzir, paling absurd, sampai setajam pedang setatap matanya nyalang. Satu kata yang betapa sulit bagi orang seperti saya, menunjukkan dengan kesungguhan bahwa saya menyayanginya, mesti rasa itu tak pernah mampu membalas sinaran surya kepada beta yang beliau lancarkan semenjak air ketuban pecah dan saya dilahirkan.

Dan ibu paling sempurna adalah ibu yang saya temui di depan mata. Ibu yang hanya ada satu pasti dimuka bumi ini. Yang bahkan mampu merangkum semua derivasi dan integrasi fungsi keseluruhan ibu, ya, persis di depan mata.

Tidak bisa tidak, untuk bersyukur, hanya satu yang nampak. Dan itu ibu saya. meskipun tak perlu layaknya orang orang kota merayakan dengan kue kue dan bunga bunga, melihatnya bangkit dari lumpur dan menepis dari panas matahari, duduk dinaungan pohon pematang sawah orang, itu sudah kado kebaikan terindah. Tak perlu juga laik orang orang kota yang membungkus kado warna warni, tak perlu juga foto mejeng ke kanan dan ke kiri, melihat dagangan dan usaha hasil tangan sendiri begitu disukai itu juga kado mulya tersendiri. Terlepas dari apapun, bakti dan jauh jarak, adalah satu cara saya semakin mencintai. Karna sungguh tak yakin, apakah berdekatan tak membuat probabilitas saya durhaka kian meninggi??

Dalam sekian waktu, mana yang menyakiti dan mana yang membahagiakan hati, seolah lagi tak peduli. Ketika disini saya tidur sudah beralas kasur busa cukup wangi, masih mengingati saya, bahwa disana barangkali tikar kasar dalam sinaran malam meredup yang menemani. Ketika disini saya mandi dengan air melimpah banyak tak harus menempuh jarak jauh dan usaha keras, barangkali kau disana menimba dalam kepayahan tubuhmu yang senantiasa tetap perkasa, atau tertatih di redupnya hari menuju ke tepian kali, juga ketika disini berkendara tak jadi persoalan yang berarti, kau disana masih setia dengan ringannya melangkahkan kaki, melangkahkan kaki, dalam arti yang selugas lugasnya. Tak ada tuntutan bahkan, dalam segala pilihan pilihan yang saya lakoni. Saya sungguh tak yakin juga, apakah kenikmatan yang saya alami sebersitpun menimbulkan rasa cinta yang berbeda??

Barangkali ini adalah titik tolak. Setelah sekian waktu saya mencari cari, mana yang sedang saya cari? Barangkali ini satu jawaban, harus berangkat dari manakah tolakan ini harus kembali ditanjakkan. Ini barangkali jawaban. Dari segala keburaman langkah yang menenggelamkan. Inilah titik tolak, dari sini, bismillah, akan saya mulai. Karena didepan mata nampak jelas, nampak nyata, jawaban itu, adalah ibu paling sempurna, adalah ibu saya. dari titik inilah saya mulai, Bismillah.

Karna ia menjalani seluruhnya,
Karna dia sempurna”

Sabtu. 22 Desember 2012
Sejenak setelah menggantikan peran ibu *ambil rapot adik*
Roudhoh 4



Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU