Melon yang Gagal dipanen
Kalo di lagu Mahadewi-nya Padi ada lirik “hamparan langit
maha sempurna, bertahta bintang-bintang angkasa” maka di sekeliling Senik dusun
tempat tinggal kurang lebih di dua bulan ini, yang terhampar adalah sawah hijau
yang bertahta melon. Banyak. Luas.
Sejak hari kedua kami tiba, mainlah kami ke sawah. Tapi sebelum
sesampainya kami ke sana, lewatlah kami ke beberapa rumah pak RT. Ber-sosialisasi
dan ber-observasi begitu kira-kira kalo mengikut bahasa LPPM. Di tempat pertama
rumah pak RT yang dikunjungi, kesasar kami ke RT dusun sebelah. Tapi tetap
saja, semua berjalan dengan lancar dan tanpa aral berarti.
Bapak RT cerita cukup banyak, tentang keluarganya, juga
lain-lainnya. Dengan tak lupa menyitir satu kalimat, “pak dukuh kami gagal
panen melon di musim ini,jadinya pikiran beliau cukup terganggu.”
Prihati kami mendengar cerita. Tapi tak berlangsung lama
karna jiwa anak muda yang masih melekat di benak kami mengalahkan cerita menyedihkan
tadi dengan tertawa setelah sadar bahwa kami mengunjungi tempat yang salah. Kemudian
berjalan kami ke rumah pak RT di sampingnya. Namanya pak Muhrodin Yahya yang
malah banyak cerita tentang cita-citanya membuat komunitas ibu-ibu “Kelompok
Wanita Tani” yang memang di dusun ini belum ada tapi di dusun lain sudah sangat
deminian progresif.
Karna waktu itu baru hari kedua keberadaan di tempat ini,
kami memilih pergi ke sawah yang sudah saya ceritakan di muka. Penuh dengan
hamparan melon, dan kedelai serta perdu-perdu gulma tentu saja.
Melonnya kecil-kecil , dan sepertinya masih muda, tapi
daunnya sudah merangas.
Musim ini banyak yang gagal, begitu tutur seorang bapak yang
kami pergoki.
Kiranya ini adalah musim kemarau, tanda tanda alam juga
sepertinya mengamini tanda kemarau di awal April lalu. Tapi rupanya titik air
yang diguyur dari langit tak mau berhenti mengguyuri bumi, jadilah lahan-lahan
yang sudah disiapkan, sudah ditanami bibit, dan mulai disiangi satu-satu,
bahkan ada yang sampai terendam air. Panen pun gagal di banyak lahan, ada satu
dua yang berhasil, hanya sedikit.
Cerita gagal diamini banyak orang. Oleh bapak-bapak tua yang juga mampir sebagaimana kami di warung es tape pinggir jalan. Ibu penjual
es. Bu dukuh di selang hari kemudian. Bu Nur dan pak As bapak ibu pondokan yang
gemar berkisah. Juga anak-anak kecil di TPA yang nyeletuk perihal tanaman melon
orang tuanya.
Sekalipun kemudian kami tetap bahagia dengan hadiah melon
yang kami makan cuma-cuma, saya sendiri kadang masih merekam kisah sedih.
Dalam geografi, perubahan cuaca global, perubahan iklim,
beberapa kali kali sempat mempelajari. Faktor el Nino (atau La Nina ya) dan
seluk beluknya memang mampu menjelaskan gelagat musim yang acapkali tak
berdamai dengan apa maunya kita, termasuk apa mau pak tani di musim ini.
Saya melihat ini dalam satu sudut pandang yang saya sebut
kearifan berpikir, kearifan menerima dampak.
Namanya lah menanam. Menanam sendiri adalah keberanian. Melon,
semangka, dan entahlah apalagi yang modalnya mungkin tak biasa. Gagal, stagnan,
berhasil, menjadi dampak atas keberanian sikap para petani ini. yang tak kuat
menanggung beban, beberapa diantaranya tertekan, itu manusiawi. Yang sepenuh
pasrah dan tetap tersenyum, itu juga sikap manusiawi-yang kemudian akan kita
sebut derajatnya lebih tinggi-. Yang merasai berhasil, mereka tersenyum, itu
wajar dan menyebutnya “bejo”.
Begitu pula kita menanam laku, menumbuhkan usaha. Kita bisa saja me-manusiawi-kan semua hasil, semua dampak, semua yang terjadi, dan menilai dengan sekian embel-embel dari segenap sudut pandang.
Begitu pula kita menanam laku, menumbuhkan usaha. Kita bisa saja me-manusiawi-kan semua hasil, semua dampak, semua yang terjadi, dan menilai dengan sekian embel-embel dari segenap sudut pandang.
Tetapi tentu paling hebat adalah pak Dukuh Senik tempat saya
berada. Sekian lahannya gagal panen, manusiawi
bagi beliau untuk tertekan. Tetapi tidak dengan kenyataanya.
Dalam segenap tekanan, sebagai pak Dukuh tetap saja beliau
sambut kami anak-anak KKN dengan ramah (sekalipun kadang kami ber-ekspektasi
lebih), diselenggarakan dirumahnya posyandu bayi sekaligus posyandu lansia
dengan segenap uborampe-nya. Dilaksanakan dirumah beliau rapat rutin bulanan
pengrajin gerabah, dilayani warga yang berurusan e-KTP dan lain-lainnya. Disebarkan
oleh beliau undangan titipan pembagian BLSM untuk warganya, juga tetap rutin
dihadiri rapat-rapat koordinasi di kelurahan.
Manusiawi bagi beliau menolak semua atas nama melon yang
gagal dipanen. Tetapi beliau memilih tidak.
kemarin lusa di saat sahur “berat ya jadi pimpinan, jadi
kepala dukuh. Harus tersenyum melayani meskipun jiwanya sedang menanggung beban”
kata saya.
Gurit seperti biasa dengan jawaban skeptisnya “makanya
jangan jadi pemimpin”
Eh, kemudian di guyonan berikutnya dia mau jadi presma taun
depan. Dengan proker andalan, penghapusan skripsi dan penerapan ujian nasional
perguruan tinggi. Presiden tanpa menteri. Dengan undang-undang sistematis
buatan pimpinan-seorang diri.
(Masih) di 19 Juli 2013
22:14
Comments
Post a Comment