Untuk Dia yang Sekandung (2)
mbak sesuk iso nang sekolah to? njipuk pengumuman jam 10.00
Itu bunyi sms yang masuk sekitar 15an jam yang lalu. Dari Astri.
Siapa lagi??
Sesuk wasana warsa nang sekolah sopo jal sing teko? Yo mbakyu
mu lah, sisan.
Itu tutur sang Ma’e, saat obrolan di rumah tempo hari.
Saya mengingati tutur seorang kawan, “kadang ya Tim, sedekat
apapun kita dengan teman2 disini, di kampus, sebagaimanapun kondisi tetap rumah
kok kembalinya”
Saya mengangguk.
Ya. Merawat adik kandung sesungguhnya gampang-gampang susah.
Praktis, si dia tau seluk beluk kita, tau sejarah hidup kita gamblang di depan
mata, dari situlah justru, menawar kebaikan dengan lisan dan omongan-omongan
lebih sering masuk telinga kanan, eh, keluar lagi telinga kanan (cuma mantul
doang maksudnya). Susah betul betul susah.
Barangkali memang, dulu yang tersisa baginya adalah energi
sisa-sisa. Saat masih serumah bersama simbah, yang ia dapat hanya kau harus
begini kau harus begitu. Jarang memang dulu bicara lembut dari hati ke hati. Bahkan
sering teramat sering, kata-kata kasar yang nusuk terlontar dengan teramat
sadar,
“Oke mbak, sampeyan nang njobo dikenal, dadi ketua OSIS ket
mbiyen, aktif kono-kono, omongan do dirungoke wong liyo, tapi nek nang ngomah pernah
po sampeyan omong alon karo aku!!!” (Oke mbak, kamu di luar dikenal, jadi ketua
OSIS dari dulu, aktif dimana-mana, omongan didengar orang, tapi kalo di rumah
pernah po bicara lemah lembut sama aku!”)
yang bahkan diucapkan sembari keluar air mata. Dan, saya
tetap terdiam dalam getas. Ya. Ego muda kadang memang tak mengingat efek jauh
ke depan.
Begitulah.
Dan bersyukur meskipun selisih paham bahkan sampai hari ini
nyaris tak pernah absen dalam pertemuan-pertemuan, kini paham bahwa nasehat
lebih sering mengena dalam diam.
Tiga tahun, saat harus menjadi wali yang kerap kali berurusan
dengan segenap birokrasi dan tetek bengek kuitansi, mau tak mau, persis nanti
pagi di jam 10.00 akan semakin mendekati titik akhir. Apa yang telah diperoleh
dalam masa sekian waktu yang harusnya aku mampu memberi warna lebih padamu?
Ya. Dan seperti tersadar memang aku tak cukup baik menjadi
kakak yang harusnya memberi segenap perhatian lebih. Me-liqo’i anak orang,
sedangkan membujuk yang sekandung untuk melanjutkan mentoring dari sejak dua tahun
lalu belum pernah berhasil. Ah, itu bukan sesuatu yang harus disesali. Bisa jadi
dan terus berharap dalam hati, entah nanti, esok hari, atau saat kau terbang ke
daerah lain nanti, kau akan menemukan apa yang begitu nikmat kini kurasa. Ya. Tak
masalah saat hari ini kau begitu sinis LHI begitu dan begini, dan kemudian kau
membela PMI dan bukan bulan sabit merah saat kontroversi itu muncul dan
kemudian menjadi bahan perdebatan. Kita hanya sama-sama belum mengerti.
Dengan jilbab yang masih bongkar pasang, sesungguhnya ada
kesedihan yang menyeruak lebih dan lebih. Juga pada Naga Lyla yang masih kau
pampang jelas di header twitter kadang membuat helaan nafas memanjang seketika.
Tetapi,
Kemudian optimis kembali hadir saat kau minta “mbak, golekke
pakean kebaya sing longgar tur jilbab’e panjang (Mbak carikan kebaya yang
longgar dan jilbabnya panjang)”. “Mbak aku milih jurusan kene ro kene (Mbak aku
milik jurusan ini dan ini)”. “Mbak pethuk nang Jombor (Mbak jemput di Jombor)” . "Mbak jarene ar nukok’e rok jin dowo" (Mbak katanya mau mbeliin rok jins
panjang), dan seterusnya dan seterusnya.
Berproses. Tanpa paksaan. Dan semoga dengan pilihan sadar
kau semakin tau indahnya islam, indahnya agama ini memulyakan wanita, makhluk
sepertimu.
#enam setengah jam menuju pengumuman UN, yang
terbaik versiNya, mudah2an..
3.30 am
24 Mei 2013
Comments
Post a Comment