Stephen Hawkings, Atheis, dan Bumi Cinta-nya kang Abik



Baiklah. Fokus memang sulit. Tapi menafikan pelajaran yang sudah terang tersodor di depan mata juga tak bisa ditampik.

Ini tentang Stephen Hawkings, dengan satu buku yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama “the Grand Design”.

Saya akan memulai dari satu pernyataan yang kerap diulang-ulang ustd Deden Anjar Herdiansyah, siapa beliau? Tak lain tak bukan beliaulah pengasuh asrama tempat saya numpang 2,5 tahun kurang lebih untuk sejenak rehat sambil menimba ilmu dari segenap penjuru penghuni dan kehidupan yang mengalir deras di asrama ini.

“Struktur bertindak bergantung struktur berpikir, struktur berpikir bergantung apa yang diketahui, dan apa yang diketahui linier dengan apa yang dipahami.”

Maka, berhati-hatilah mengatur struktur mulai dari kepahaman kita, karena itu akan berujung pada bagaimana kita bertindak.

***

Beruntunglah anda yang terlahir dari keluarga muslim. Dari kecil, struktur berpikir kita sesuai dengan fitrah kita adanya, meyakini yang ghaib, dan bahwa kemampuan nalar memiliki ambang batas. Maka kemudian, segenap ilmu yang kita terima, segenap pengetahuan yang kita sadap dari bangku-bangku sekolah, semua apa yang kita dengar, kita lihat, mampu menyeret kita pada satu pusaran : Bahwa kita adalah Hamba. Bahwa kita Hamba, dan kita meyakini sepenuh yakin Alloh ada beserta segenap Rubbuniyah-nya, Ilahiyyah-nya, dan Asma wa Sifat-Nya (la la la ~ ini pelajaran agama, aqidah, yang bahkan sampai bangku kuliah masih terus dikupas tak ada habisnya).

***

Lagi lagi. Kita beruntung. Sangat. Ini nikmat Alloh yang tak semua hamba mau mencecap-nya (see another post: “nikmat aqidah”)

***
Baik. Sekarang kembali ke Hawkings. Menonton film ini pun sungguh tanpa sengaja (lah, mana bisa??). Berawal dari Senin 13 Mei kemarin, saat saya ngampus dengan rasa yang errr. Bener2 tidak nyaman. Setelah Jum’at-Sabtu berkumpul dengan keluarga besar (dan dibrainstorm tentang isu2 politik yang lagi hangat dan cetar di media akhir2 ini) yang membuat saya ngk begitu nyaman berlama-lama di rumah, berlanjut Ahad sampai Ahad malam yang cukup err dengan segenap aktivitas yang lagi tak berdamai dengan alam pikiran yang masih kena efek perbincangan keluarga besar. Saya pikir, senin ke kampus akan menjadi sebuah trik untuk mengendapkan pikiran. Tapi tetep. Sulit ternyata. Maka kemudian saya memilih pulang. Dan sebelum pulang, tanpa saya minta satu teman men-copy-kan satu film, lah, saya ngk mau jadi sufi, tapi ya bagaimanalah ~ dan saya pulang.

Malam, seusai kelas, saya liat sekilas. Klik-klik asal dilompat-lompat. Tapi pas men-klik di bagian akhir, saya coba perhatikan seksama, nah nah nah. Lagi. Diulang. Lho? 

jadi, ketika orang bertanya kepada saya jika Tuhan menciptakan alam semesta, saya memberitau mereka bahwa pertanyaan itu sendiri tidak masuk akal.

Waktu tidak ada sebelum big bang, makanya tidak ada waktu buat Alloh untuk masuk, Rasanya seperti menanyakan arah ke tepi bumi. bumi itu bulat dan mencarinya (tepi bumi) adalah hal yang sia-sia. 

kita bebas dengan kepercayaan kita masing-masing, dan penjelasan paling sederhana adalah: tidak ada tuhan

Emang siapa sih Hawkings ini?

Saya konek-kan leptop ke internet, dan kemudian saya searching, siapa apa bagaimana dan karya-karyanya. Saya terpengarah, dan duh, betapa kuper-nya saya. Orang sebegini famous masa ngk ngerti?? Duh. Walhasil saya bacalah hasil yang tertemu di-search engine. Ternyata...

(Pertama). Mari kita tertunduk malu secara berjama’ah. Hawkings adalah orang yang tak sempurna rekan-rekan. Beliau punya satu penyakit yang bahkan sudah meng-vonisnya hidup tak bakal lama. Tapi lihatlah riwayat akademik dan sumbangsih bagi kemajuan teori fisika modern. Istimewa. Beliau jenius. Ilmuan tergokil setelah Einstein (yg kata temen saya yg fistek perlu dieja ala jerman “Ainstain” (saya baru tau juga)). Kita sempurna. Lagi lagi kita jauh lebih sempurna. Maka mari kita malu jika masih tak sungguh-sungguh mensyukuri dan memanfaatkan segenap kesempurnaan ciptaan yang kita miliki.

(Kedua). Asumsi saya kali ini terpatahkan. Selama ini, saya beranggapan, belajar agama dan mengajarkan agama pada orang2 berbasis sains jauh lebih mudah daripada yang berkutat pada perdebatan2 ilmu sosial. Karna saya pikir, alam dan dunia anak2 sains akan dengan sendirinya mengajari mereka kuasa Sang Pencipta. Kenyataanya? Ilmuwan2 yang meniadakan Tuhan dan menyombongkan kemajuan Ilmu yang dikuasai ternyata tak sedikit. Sebut saja Darwin dengan Origin of Species-nya, Mbah-nya Darwin, pengikut Darwin, temannya Darwin, eh, Hawkings dan teman2nya pun juga menantang keberadaan Tuhan.. duh. Jadi, sekalipun anak sains, ketika struktur berpikirnya tak bermula dengan benar, sungguh.

(Ketiga). Sedemikian kuat ternyata efek trauma. Maka berhati-hatilah. Apalagi ketika kelak mendidik anak2 anda (??). Trauma, bisa menjadikan faktor penyebab trauma itu menjadi satu landasan dalam struktur berpikir yang tidak bisa digantikan oleh doktrin apapun bahkan.

Coba perhatikan bagian awal dari film ini. Di  sana, disisipkan bagaimana gereja sedemikian meng-intervensi pengetahuan, dan parahnya mengaturnya sesuai dengan apa mau gereja, yang sampai bahkan menganggap kemajuan pemikiran sebagai sebuah bid’ah. Ah. Saya kira anda sudah sangat familiar dari sejak SMP, bagaimana teori heliosentris yang dikemukakan Copernicus dan Galileo menjadikan Gereja begitu murka. Inilah. Sampai hari ini, trauma itu masih saja terungkit oleh para ilmuan penganut pemisahan agama dan urusan ilmu pengetahuan. Tak pelak. Struktur pikir menjadikan ilmu ya ilmu, agama ya agama. Maka yang kemudian menjadi atheis, ah, trauma sungguh selalu menyisa luka. Maka berhati-hatilah, dinamislah, dan mari bersama bersinergi membaca perubahan zaman, agar kelak anak cucu peradabaan, tak selalu kita doktrin dengan bahwa mbah kita dulu begini maka kalian harus begini. Lagi-lagi, Trauma bisa dipastikan menyisakan Luka, termasuk sakitnya hati menerima postulat tak terbantahkan bahwa Tuhan maha ada, barangkali bagi Hawkings, menerima itu begitu pahit. Entah bagi egonya, atau entahlah.

(Keempat). Barulah masuk  ke Atheis di novel “Bumi Cinta” yang istimewa. Saya bingung mencari referensi atheis yg sederhana dan bisa dipahami, maka saya tiba-tiba teringat satu fragmen di novel ini. Saat Ayyas diminta menjadi pembicara di fakultas Kedokteran sebuah Universitas di Mokswa. Bagaimana beliau ber-argumen dengan satu ilmuwan yg menuhankan ilmu pengetahuan (lebih lengkapnya kayaknya baca sendiri akan istimewa :'.

Atheis sendiri ternyata bermacam-macam. Atheis materialisme, atheis psikologi, atheis postivisme, atheisme marxisme, atheisme eksistensialisme dan  atheisme post positivisme. Kesemua macam ini, tak lain tak bukan berdasar latar para penganut atheis itu sendiri.

Nah nah nah. Hawkings ini masuk yang mana?

Taulah. Tapi sungguh, tiap jenis atheisme ini sangat mudah terbantahkan dengan logika sederhana sekalipun. Sama kayak si Hapis teman saya kemarin njelasin tentang positif-negatif dan logika Hawkings lainnya dengan logika “trus yang bikin si Hawkings kayak gitu sopo??”

Bagaimanalah.

***

Maka saya bersyukur,kita laik bersyukur. Pada nikmat bernama Aqidah. Pada nikmat bernama Iman. Lantas bagaimana kita bersikap terhadap mereka para Ilmuwan yang sudah barang tentu jasanya bagi perkembangan dunia ini pun besar dan tak tergantikan?

Pada logika cara mereka bertuhan, jelas. Kita oposisi sejati. Kita meyakini sepenuh hati, tanpa perlu dibantah-bantah apalagi ngotot meminta pembuktian ilmiah. Rene Descartes, Braise Pascal dan Immanuel Kant menyebutnya kebenaran postulat dan menyakini sepenuh yakin Tuhan itu ada. Selebih itu, maka kita harus bersyukur atas nikmat oposisi ini.

Pada kontribusi besar kecemerlangan berpikir yang dimiliki, maka mari kita berdo’a bersama. Memohon agar hidayah itu sampai, karna sungguh kita tak tahu, mudah bagi Alloh menjadikan satu dua titik dari sekian karakter tulisan Hawkings terpeleset dan menjatuhkannya pada satu keyakinan penuh keberadaan Alloh sang Pencipta. Itu mudah. Maka ketika tangan kita tak mampu mengajak, lisan tak mampu mengingatkan, selemah-lemah iman adalah menyisip do’a dalam kebekuan waktu malam yang begitu maqbul do’a terkabul di saat-saat seperti itu.

Kita, pada Hawkings, malu atas kesempurnaan yang kita miliki, bersyukur atas nikmat aqidah yang tak terbeli, dan men-do’a agar hidayah itu bisa saja dengan mudah oleh Alloh tersampai.


Menjelang Ashar,
Mushola Asma Amanina,
14.14 :: 15 Mei 2013

#beserta satu footnote buat Desti yang hari ini terbang ke pulau seberang : “tidak salah Des, memang astronomi bisa menjadikan kita begitu menggilainya”

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU