Jalaran Sanak, Jalaran Tresno
Hidup di tengah kehidupan
pedesaan yang polos seringkali membuat kita menghela nafas panjang. Merasai pola
pikir yang sederhana, jauh dari keriuhan, dan jauh dari banyak keinginan
keinginan. Anti politik? Ah tidak juga. Politik bersih, ya, barangkali itu
jawabnya.
“aku ki ora melek politik, dadi
mujudke nek aku dadi “wong” aku yo tetep nyoblos.” (aku tu tidak tau menahu
politik, jadi bentuk bahwa saya ini “orang” saya juga tetap nyoblos)
“aneh wae nek dikiro milih dhe’e karo
kae, edan po. Awake dhewe wes urep saknggon sak panggonan, yo mesthi wae
ndukung kanthi lila lega” (aneh aja kalau dikira milih dia (nunjuk satu calon)
sama dia (nyebut nama tetangga). Kita ini udah sehidup semati, ya pasti
mendukung dengan sukarela”
“jalaran sanak, jalaran tresno”
(karena persaudaraan, karena cinta).
Jadi alangkah jahat dan tercela,
nilai bersih itu begitu licin dinoda oleh para pembeli suara dengan hantaran amplop
berisi seratus dua ratus ribu. Masih lazim. Masih banyak fenomena yang ditemui.
Apakah kemudian menistakan “jalaran
sanak, jalaran tresno” tadi? Ah tidak juga. Tapi memang uang diterima juga. Lha
udah di depan mata?
Kalo gini salah siapa coba?
Memang. Menjaga iman itu tak bisa
sendiri. Walaupun selalu dan ditegas pasti bahwa yang namanya
pertanggungjawaban amal itu bersifat privasi, ia dengan mudah bisa dipengaruh
kondisi sekitar dan faktor-faktor sosial.
Sistem kita yang masih demokrasi
yang menelan mentah suara banyak?
Atau kemampuan menikmati
demokrasi dengan berjibaku memenangkan opini publik yang belum juga berpihak
pada orang-orang yang punya kemampuan membangun sistem yang menyedikitkan
mudhorot?
Atau yang lain?
Dulu kala. Dulu, ada satu
celetukan sederhana saat prosesi pesta demokrasi digelar. Sama. Meskipun dia
terpelajar, meskipun tau seluk beluk politik, ada juga satu dua yang tetap
memegang teguh prinsip, “jalaran sanak, jalaran tresno”. Sekalipun kemudian ada
gurat kecewa lantaran “sanak” dan “tresno” tereduksi perlahan, tetap “sanak”
dan “tresno” tetap ditumbuhkan.
Jadi. Melihati para penduduk
desa, menyelami pola pikirnya, ada naungan malu melingkupi asa. Barangkali baru
sekarang-sekarang ini, sekian tahun ini, memahami arti ikhwanul muslimin,
persaudaraan muslim, moslem brotherhood, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi masyarakat
itu dengan teguh jauh lebih dulu mengenyam prinsip “jalaran sanak, jalaran
tresno”. Karena persaudaraan karena cinta. Meskipun dengan definisi sanak (persaudaraan)
dan tresno (cinta) yang masih absurd terdistorsi jaman bagi penduduk desa yang
informasi baik mulai terhegemoni media sekian inci di depan mata.
Hari ini, saat ini, ada satu yang
memercik dalam pola pikir sederhana. Di jalan ini, di jalan perjuangan ini,
pun, karna sanak (persaudaraan) yang kita ikat atas persamaan tauhid yang kita
anyam, dan karna tresno (cinta) yang kita ukir bersama kerja bernama memberi,
dan menyeru pada jalan keselamatan. Karna tauhid, karna dakwah.
“Jalaran sanak, jalaran tresno”
di sini, di jalan ini.
26 Mei 2013
19:38
#terngiang ucapan bapak tadi
pagi, saat berangkat nyoblos di pilgub jateng. Pilihlah dia, jalaran sanak,
jalaran tresno. Dan, kali ini kita kompak milih yang sama.
Comments
Post a Comment