Selepas Memenuhi Undangan pada Sebuah Walimah
Hari ini, ahad, 5 Mei 2013 jam 10 pagi
Undangan datang dari satu teman SMA, sejak sekitar sebulan
yang lalu. Via chat di fb, karna jarangnya masa untuk membangun tatap muka, dan
hari ini, saya penuhi.
Ya ya ya, kalo dipikir-pikir, memang, usia sudah menginjak
masa. Kalau obrolan berkait nikah dan semacamnya mampir disela-sela diskusi,
memang bukan lagi disebut sebuah galau, geje, atau kosa kata serupa itu. Intinya
memang sudah waqi’-nya kalo pinjam istilah ustadz-ustzdz, udah masuk
realitasnya. Hanya memang, obrolan harapannya menjadi laku nyata berupa proses
tak henti memantaskan diri masuk ke fase yang tersebut di atas tadi.
Baiklah. Ini bukan membicarakan fase-fase, usia-usia,
apalagi realisasi-realisasi. Ini tentang pelajaran berharga, bejibun, dan
begitu banyak yang saya tangkap dan menggiring pemahaman bahwa memperbaiki diri
memang tak ada kata untuk berhenti.
Saya hadir telat hampir setengah jam dari undangan yang
tertera, masuk lokasi, dan disambut dua teman sekelas dulu dengan ketawa-tiwi. Baru
kemudian mendongak, dan sedikit, duh, tertohok muka dan merah padam yang
tersembunyikan sempurna, mudah-mudahan.
“seriusan itu *** (nama teman saya yang nikah)!”
“ya iyalah, siapa lagi!”
“lho kok! Mana jilbabnya??”
bcjshdcfhdyfjsewcfvfdcbchjgybdvgtffdtfgf
#fyi, saya alumni madrasah aliyah kawan-kawan, pernah lihat
kan seragam aliyah kayak apa? Jadi, kurang lebih begitulah alasan saya agak
terkejut dan terlontarlah pertanyaan spontan.
(pada titik ini saya kembali tersadarkan, bahwa lagi-lagi,
yang namanya Istiqomah adalah harga yang teramat sangat mahal. Bisa jadi hari
ini kita begini, bisa jadi kita begitu, bisa jadi kita, di hari ini, di
mimbar-mimbar akademisi, mimbar diskusi, bolehlah saling mengadu argumen, bahwa
jilbab adalah yang terusan, sedang yang kita pakai barulah himar, atau cadar
itu ngk pas secara fiqh da’wah-nya di Indonesia, dan seterusnya dan seterusnya,
tapi bagaimanalah di kemudian, lagi-lagi, istiqomah adalah sebuah harga mahal
yang hanya takluk di tembus kerja bernama paham, do’a, dan terus-terus menanam
tawakkal-dan-ini baru pada persoalan jilbab)
Nafas panjang, dan kemudian mulai melirik satu-satu teman
sekitar. Ada yang duduk dengan santai dengan ikhwan (?) yang sudah jelas
teridentifikasi sebagai suaminya (soalnya saya tahu bahwa beliau sudah nikah),
ada juga yang dengan santai ngobrol dengan ikhwan juga, yang kemudian saya
tanya ke teman di sebelah, “eh, kapan *** (nama teman saya) nikah? Kok ngk
diundang nih gua!” dan mengalirlah cerita-cerita panjang dari teman sebelah
(tanpa mimik salah, beliau teman ininya, yang itu adalah itunya, dst dst)
Nah nah nah. Bukan cerita baru sebenarnya. Tapi ini tetap
saja selalu menyedihkan.
Kemudian pada pelajaran yang teresapi selanjutnya. Nikah memang
sebuah hal yang tak sederhana, pada persoalan yang kultur saja. Bukan wilayah
saya berbicara soal jodoh ideal, syari’at, etika visi misi pernikahan dalam
islam dan seterusnya-seterusnya. Para ustadz yang sudah tervalidasi (semacam
apa) fatwa fatwa dan rujukan dalilnya adalah tempat yang paling pas merujuk
tanya.
Hanya pada persoalan kultur saja. Jawa yang islam, bukan
islam yang jawa (begitu kata bapak pada sebuah waktu). Menghilangkan adat ma’shiat,
ritual-ritual “mbah kita dulu kayak gini” yang masih kental mencampur mana
syari’at mana tata cara, kemudian prosesi nirmakna yang menghabiskan banyak
biaya. Soal kultur yang tak sederhana. Bisa jadi kita paham, nah, bagaimana
dengan orangtua?. Orangtua dan kita paham, bagaimana membahasakan dengan
tetangga sekitar yang adalah bagian dari kelaurga kita? Orangtua, keluarga, dan
tetangga paham, bagaimana dengan keluarga partner? Kemudian soal gengsi,
kemudian soal yang lainnya. Ini soal kultur, yang tentu saja kita ingin memberi
warna beda.
(maka dari hari ini saya belajar, bahwa nikah bukan terbatas
pada ambisi bahkan pribadi dan keluarga saja, tapi ia adalah soal bagaimana
mengikis juga nilai yang tak sesuai dengan agama ini yang masih satu dua
terdapati. Dan ini, bukan kerja instan satu dua tiga atau empat bulan, ini
kerja berkelindan, butuh waktu dan proses yang relatif panjang).
Begitulah.
Kemudian pada soal lain-lainnya. Tabarruj atau dandan
berlebihan yang bukan hanya pada yang nikah tapi juga hadirin-nya, yang berbaur
putra dan putri-nya, yang banyak nasi-sayur-lauk yang terbuang tak termakan di
piring-piring bekas makan-nya, pada lagu-lagu yang terputarkan pada sound
system-nya.
Ya. Ini memang sederhana. Tapi tak sederhana.
(kemudian saya berkaca, pada saya pribadi dan beberapa
rekan-rekan yang punya kepahaman tentang agama secara lebih luas pula, yang
rutin ngaji, juga yang sering berbicara tentang adab syar’i. Pada kenyataan
kemudian, pada kenyataan harus bersinggungan dengan kultur tadi, ada juga
pemakluman-pemakluman yang harus dipahami, tentang pakaianlah, tentang ritual-lah,
yang masih ada kala karna kurangnya waktu untuk sekadar berbagi paham atau
kecilnya bargain di mata para tua dan tetangga. Maka sungguh, cermin diri pada
fase berkaca ini, mengembalikan satu penyadaran, bahwa bukan tersibukkan pada
siapa (semata), dan atau menarget pada usia sekian pelaksanaanya, bukan. Bukan semata-mata
itu saja. Pada persiapan diri, pada memantaskan diri, pada pemersiapan
lingkungan sejauh pandang sejauh kemampuan bisa diajak memahami cara yang lebih
ahsan dan diridhoi oleh sang Dia, juga pada kultur-kultur tak syar’i yang ingin
dipupus satu satu menuju cara yang sesuai dengan sunnnah Nabi-Nya.)
Menjadi istiqomah, dan memupuk terus energi kebaikan, agar
yang namanya laku kita tanpa ucap dan ceramah panjang pun menjadi sebuah efek
baik pada lingkungan sekitar. Ini, adalah kerja yang tak ringan.
Maka mari sungguh, misi yang selalu ada, tetaplah kita biarkan
menyala di nadi.
Misi bernama baik, misi bernama berkah, misi bernama
istiqomah.
Mudah-mudahan
Menjelang pergantian hari,
5 Mei 2013 :: 23:24
Comments
Post a Comment