Sesederhana inilah caraku mencintai



Hiruk pikuk. Cetar. Crass sana cress sini. Panas. Dimana-mana, sampai kemudian malas membuka apapun yang berisi berita hari ini. Taulah kenapa. Entah Fathanah, entah bisingnya pemberitaan, entah susahnya menemukenali benang merah arah pembicaraan, entah mencoba bertahan membela meskipun tetap saja berat memulainya.

Lagi lagi ini tentang cinta.

Dan, sesederhana inilah caraku mencintai.

Saya ingat, kata-kata Ust Abu Ridho kala di Islamic Centre dua atau tiga tahun yang lalu. Saat beliau mengisi forum murobbi kampus dan memberikan taujih hamasah. Konon (kata seorang teman) karena saya ngk hadir dalam forum itu, ada satu orang bertanya, yang intinya adalah bagaimana memenej kekecewaan terhadap kelompok besar ini . Atau oknum. 
Jawab beliau sang Ustad, “jika persoalan kecewa, maka sesungguhnya saya dengan mudah bisa kecewa, terlalu banyak hal yang kurang, terlalu banyak kesalahan yang saya temui di jamaah ini.”
 Ya. Benar. Mereka-mereka, beliau-beliau, yang sekian lama melintang di belantika hidup bersama-sama menetapi satu manhaj yang sama dan bertanggungjawab untuk meninggikan satu tujuan bersama, jauh lebih layak untuk kecewa. Sangat. Sangat jauh lebih layak untuk kecewa. 

Jika saat ini saya atau anda mendapati satu noktah hitam yang mengotori putihnya anggapan kita selama, ini, atau ada satu bercak yang membuat putihnya menjadi terganggu di mata kita, barangkali mereka-mereka yang sekian lama ada di kelompok ini, yang semenjak masih berupa satuan orang-orang terasing, jauh lebih begitu sering melihat hitam-hitam jatuh pada lembar putih cita mulia. Apa kemudian berbalik dan pergi? Ah, sayangnya mereka begitu sabar kemudian mencari air, busa, atau minimal meniup pelan kotoran-kotoran itu perlahan hingga di generasi kemudian menemui kembali pada lembar yang putih-putih kembali.

Terlalu naif, apabila “kita jamaah manusia bukan jamaah malaikat” masih menjadi satu alasan pamungkas penepis kata orang “lah geneo podho wae” lah ternyata sama saja. Lah, katanya,, duh sok suci, dst dst. Memang. Kata itu tak salah, tapi menghadapkan jawaban tersebut di hadapan orang yang mencibir, hanyalah membuat mereka tertawa dan betapa getirnya kita merasai kalah.

Tidak.

Dari masih kita mengenal forum-forum dari bingkai kerjasama ini dari yang menyenangkan-menyenangkan saja, main kesana, rihlah kesana, makan bareng, didatangi Mr, dikasi bross, sampai kemudian mengenal bacaan-bacaan dari yang lucu, unyu, berdarah tentang cerita palestin, rekayasa-rekayasa, konspirasi, dilanjutkan dengan satu persatu beban pekerjaan dalam bingkai kerja bersama diletakkan di atas pundak, merasai betapa ada masalah yang menuntut segera menambah luas kapasitas diri, kapasitas diri ditambah bertambah pula informasi tersampai, sampai hari ini, dari yang dulu begitu dan sekarang begini,, selalu dan selalu, mental kita selalu dikuatkan bahwa kita mental pemenang. Mental orang yang menang. Bukan yang nyinyir di belakang dan kemudian ketika bertemu muka berpandang mata pun tak sanggup. Tidak. Kita tak pernah diajari itu. Maka kenal betul dengan istilah klarifikasi, tabayun, kemudian perintah bersegera yang mungkin bagi orang yang tak tahu akan nyinyir “kok ya mau maunya ngikutin maklumat, ultimatum, atau apatah lagi kata orang yang tak mengerti”.

Tidak.

Kita bukan orang yang berbalik setelah sekian jauh barangkali kita melangkah. Kita akan terus maju. Orang atau sesiapa menyuruh kita kekanan, kita akan ke kanan dan kemudian maju. Orang menyuruh kita ke kiri kita akan ke kiri dan kemudian maju. Bahkan, sekalipun orang meminta kita mundur, memukul mundur tanpa ampun, kita akan balik kanan dan kemudian baru berjalan mundur.

Sesederhana itu kami diajari tentang mental sebuah pemenang. Sesederhana itu.

Dan yang sesederhana itu pula alasan saya (dan barangkali ada beberapa yang terwakili) menjadi tumbuh cinta.

Dan cinta, dari sebuah alasan yang sederhana, kini ia melahirkan energi yang luar biasa.
Ini persoalan mental, begitu petuah salah seorang ustad di asrama mengingat saya. Ini persoalan mental. Bagaimana mental kita dihadapkan pada satu luasan yang lebih konkrit di hadapan. Maka yang tak sanggup dan kemudian mundur, lagi-lagi biarlah kemudian menata mental.

Untungnya, dalam cinta yang sederhana kita diajari untuk banyak belajar tentang sejarah. Meskipun serasa utopis dan tak mungkin meneladani kisah para shahabat atau para pendahulu dalam memperjuangkan tujuan mulia, tapi cinta menjabarkan secara gamblang bahkan seumpama runutan eksperimen di laboratorium, cinta itu sudah jelas step-stepnya.

Maka mau bagaimana cara hantaman itu dari kanan, dari kiri adanya, mental menang yang lurus melaju bahkan kini kurvanya melesat jauh mengikut fungsi eksponensial pangkat tak hingga.

Cinta tak pernah meminta kita mengikat yang begitu mudah kita rubah dan kita ganti dengan yang baru.

Cinta begitu setia mengajarkan arti pimpinan di mata kita pada satu tujuan yang tak sederhana. Karna sejatinya cinta kita yang utama fokus pada Rabb-nya sang pimpinan. Karna sungguh, pimpinan barangkali bisa keliru, tapi Rabbnya pimpinan selalu mengarahkan pada yang tak terduga pada sebuah tujuan mulia.

Beginilah nikmat hidup bersama dalam bingkai kerja bersama. Meskipun berat, sesederhana inilah cinta mengangkat beratnya itu menjadi nikmat. 

19.27
17 Mei 2013

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU