Pada sebuah fase-3 : Saat pertanyaan simalakama berjawab renungan, adakah kita serius dalam menenun kain panjang hidup ini?



Jum’at minggu lalu. 26 April 2013, sekitar jam 7 sampai jam 8-an Warungsteak jakal

Adalah hari dimana obrolan-obrolan berkisar agama, bid’ah, gerakan islam, kenapa begini, bolehkah begitu, menggulir tanpa skenario mengalir sekitaran setengah sampai  se-jam-an. Bersama kawan-kawan diskusi yang tak seperti biasa saya diskusi dengan teman-teman yang seperti ini. Bukan pada sesama aktivis, bukan pada teman-teman sekelompok liqo’, tak juga pada forum lintas gerakan. Tapi, pada sebuah forum, bersama kolega se-blok II , dalam kerangka makan-makan seusai KKL.

Berawal dari perbincangan asramamu dimana, dinamika kehidupan asrama, beranjak pada obrolan ringan seputar agama,, ya ya, meski ada satu dua teman yang barangkali tak sepenuh ridho pada aras perputaran topik, tapi sungguh berkali sungguh, renungan kemudian menjadi efek. Hanyakah aku? Tidak, mudah-mudahan.

Ditemani kepulan asap rokok yang terus dan terus, pertanyaan, pernyataan, diskusi, ungkapan retoris, dan sejumput pengalaman terbagi,

“trus gimana dengan cara sholat begini?”

“Pantura yang notabene NU, aku ikut style-nya NU, tapi disini, di jogja, mayoritas muhamadiyah, ya ikut cara sini.”

“yo gpp, Imam Syafi’i suka pake Qunut, sekalinya ke tempat Imam Malik, menghormati cara Imam Malik, beliau ngk pake Qunut”

“Kalo Wahabi tu gimana?”

“kamu kenal kayak gitu kapan? Sejak masuk kuliah? Atau ?”

“pada prinsipnya, segala urusan yang berkait ibadah, kaidah fikihnya “semua dilarang, kecuali yang diperintahkan (dan dicontohkan oleh Rosulullloh SAW)” sedang kaidah muamalah, “selama ngk ada larangan, silakan saja lakukan”

“aku tarbiyah”

“cirinya kayak apa tu tarbiyah? Apa yang bikin beda sama yang lain?”

“ya, ini namanya diskusi, tukar pikiran”

“nah nah, kalo hukum rokok tu apa? (ini pertanyaan, ungkapan rasa, dan pernyataan  yang Errr-susah didefinisikan suasananya kala itu, kalo bisa dipause pembicaraannya, kayaknya pengen banget nih scene diulang berulang-ulang? Kenapa, nantilah saya sampaikan)

“aku habis ini mau ke bilyar kok”

“Aku balik sik yo!”

“sekalian Din, aku pamit, minggu balik ke Sumatera!”

“Ke bilyar tu ngk dilarang kok!”

“emang ngk dilarang! Cuman kegiatan-kegiatan disananya tu yang bikin jadi terlarang!”

“Ngk juga kok, palingan cuman ngicip segelas!”

“mumpung nah belum nikah! Kita-kita kan calon kepala keluarga nih, seenggaknya, anak-anak dari kita dapat didikan agama pertama dari orang tuanya ini nih!”

“calon ibunya ntar sholihah kok!” (Ini yang ngomong habis sharing panjang lebar rencana hidupnya pas pulang KKL di kereta, tentang calon istrinya, masa depannya, dua orang tuanya...)

“gila aja kalo ibunya juga **********  (kata-kata misuh-lah pokoknya) kayak bapaknya. Bisa-bisa dari SD kerjaannya mabuk  tuh anaknya

“hampir setengah sembilan eh, balik dulu ya!”

“ngk ikut bilyar aj po!”

“bilyar??! Ikut ? tapi habis aku ikut bilyar, besoknya kamu mau ikut kajian?”

“***********(kata-kata misuh lagi). Bisa-bisa kita disesatkan ke jalan yang benar ki!”

“kembali ke jalan yang benar bukan kesalahan juga kok!”

“serius eh. Mau ngk ikut kajian!”

“besok dah pulang dari Sumatera , ikut kajian”

***

Begitulah petikan-petikan obrolan. Dan pulanglah saya kemudian.

Di sepanjang perjalanan pulang, 10-15an menit, rekaman perbincangan pelan-pelan terputar. Bersama lirih syukur, hamdalah, dan istighfar atas nikmat-nikmat yang kemarin-kemarin terluput dari sekedar mengingat terimakasih padaNya. Ya. Hidup adalah tempat kita menyemai syukur dan berharap nikmat pada tiap-tiap partitur yang tersodor di depan mata.

***

Tak muluk-muluk hikmah yang terambil. Tapi berlebih-lebih pada syukur yang terucap padaNya, bahwa lingkungan betapa banyak mengajarkan pada kita ayat-ayat kauniyahNya.

***

Tiap kata –kata yang saya rekam, sampai hari ini, setelah seminggu terlewat sudah, sungguh teman, masih menyisa renungan yang membuat saya selalu bertanya pada palung terdalam “seberapa serius Tim, kamu menjalani hidup ini?”

Yang membekas pertama. Pada pertanyaan yang bikin errr- “Jadi hukum rokok ini apa? Makruh? Haram?”-
Beberapa hari sebelumnya, saat berlapangan ria, hampir di tiap berhenti di titik-titik pengukuran, selalu, satu dua batang rokok terambil, terisap sedemikian nikmat, bahkan sampai saya terpana dan terlontarlah satu tanya,”apa yang membuat rokok begitu nikmat bagi kalian?”

pada perjalanan dan makan siang di titik lokasi pengukuran seperti ini obrolan-obrolan tembakau mampir di sela-selanya (photo by Bang Yusup)


“Susah Tim didefinisikan. Ia tu pemenuhan batin. Sekalipun dijelaskan, susah juga masuk logika. Pokoknya adalah, gimana ya~. Ibarat makan pun, mending sama tahu tempe, tapi berteman rokok, daripada ikan-daging tapi rokok tak ada”

“Ya gimana ya? Tau sih merugikan, tapi semacam ada apaa gitu dalam rokok.”

Dan saat di WS pertanyaan-pernyataan-ungkapan hati apakah rokok itu haram, apakah rokok itu makruh terlontar, jawaban, tanggapan, dan sitiran saya terucap getir. Menegur orang-orang terdekat saya akan keharaman rokok tu sampai saya capek sendiri. Gimana ya. Susahlah pokoknya!”

Hai. Beginilah menelisik jawaban yang gampang-gampang susah. Kenapa susah? Karena sungguh jawaban itu pahit. Jawaban itu akan menampar muka bahkan bagi diri saya sendiri. Apakah saya takut kemudian tidak diterima di tempat saya bersosialita kini? Sehingga mengucap kata “Haram” menjadi demikian susah karena yang bertanya adalah kepungan kolega yang tengah melakukan aktivitas yang dipertanyakan diri sendiri kini?

Tumpukan dan deretan buku-buku tentang rokok satu dua tiga empat saya baca di togamas dalam sekali dua kali waktu. Berharap menemu kenali pola pikir yang pro-kretek, anti rokok impor, pro-petani tembakau, sampai pada ulasan Sri Sultan pada pembangunan pabrik rokok di satu distrik di keistimewaan Jogja ini. Berharap saya menemu satu frasa yang pas kala harus bersinggungan dengan persoalan ini. Tapi sekalinya ditanya, melulu kelu, walaupun mungkin saat di liqo’ atau di komunitas yang menolak rokok masuk kampus begitu mudah argumen-argumen (yang saya nilai sendiri) relatif cerdas dengan mudah teretorika-kan dengan baik. Nah, diantara kolega-kolega yang mungkin butuh solusi konkret begini?

Duh, betapa rindu pada bagaimana caramu ya Rosul mendidik generasi terbaik kala itu. Saat Badui masuk masjid dan kencing di dalamnya, saat shahabat sontak kaget dan bersiap murka, Rosul yang teduh wajah dan bersinar arifnya, menengahi, menyodorkan jawab yang, betapa sungguh betapa, tak sedikitpun melukai, tapi satu titik menyadarkan paham, sekaligus hikmah yang terus terasai sampai kini.

Ini, pada soal yang mudah saja, betapa ‘Ittiba’ pada soal Fiqh Da’wah ternyata tak seketika terpraktekan. 

Maka pada lautan ilmu, dari penjuru dan segala aras memang cara kita didewasakan begitu luar biasa.

Rokok, teman.

Dan Sabda Rosul, teman.

“salah satu tanda kesempurnaan iman, adalah meninggalkan perkara yang sia-sia dalam hidupnya...”

Keyakinan saya tetap terpatri, entah esok hari, kapan waktu, saat para kolega berkeluarga, saat kita adalah generasi yang dituakan anak-cucu kita, saya percaya hal tersia menjadi perkara yang begitu jauh bagi kita.


Kamar Raoudhoh 3: Sabtu dini hari, 4 Mei 2013
3.55
Kala mengingat jenak pertanyaan yang sederhana, yang membuat pikir merenung sesaat
Bahwa menjadi putih adalah kodrat dan hak setiap kita
#pelajaran berharga para kolega Blok II

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU