Bukan Instan


Semester 4 ada sebuah matakuliah di fakultas yang saya ikuti, dilengkapi satu praktikum, dengan asisten yang bahkan sudah lulus S2. Namanya Survei Tanah, Erosi, dan Perencanaan Konservasi, atau lazim kemudian disingkat STEPK (hayo mbacanya gimana? :p). Praktikum yang cukup susah, mengedepankan kerja tim, dan ketelatenan yang tinggi. Acara demi acara, bicara tentang pemetaan bentuklahan, tingkat erosi lahan, tata nama tanah, besar erosi yang diperbolehkan pada suatu lahan (semacam ambang batas minimal erosi suatu lahan), metode perhitungan erosi, dan alternatif konservasi lahan yang bisa direkomendasikan. Bisa dengan mulsa, jerami, teras, atau agroforestry. Bagi saya, ini menyenangkan. Terlebih karna asisten yang mengedepankan proses daripada hasil, kalo mengkritik sangat nusuk, dan kalo nanya sampai ke persoalan yang teramat detil.

Di sebuah acara, hampir semua praktikan sekelas telat pengumpulan laporan. Asisten duduk di depan dan menginterogasi nir intimidasi, ngk kayak KPK.

“kalian semester ini ambil berapa praktikum sampai laporan telat-telat?”

Lalu berdengung suara dari mulut-mulut praktikan. “Lima Mas!”, “Tiga  Mas!”, bahkan ada “Enam Mas!”. 

Macam macam.

Kemudian semacam biro konsultasi, praktikan berkeluh kesah satu satu. Kurikulum lah, salah timing semester lah. Birokrasi lah. Macam macam.

Kemudian sabda bergema dari lisan sang Asisten.

aku nduwe mbah kakung dek. Tradisi masih khas Jawa. Biasa laku prihatin jalan jauh malem-malem nurut kali (menelusuri sungai). Yo pancen saiki kita paham bahwa itu syirik. Tapi ada pelajaran yang ngk boleh kita lupakan dari kebiasaan mbah kakungku, falsafah jawa, “nggolek ilmu yo kelakone kanthi laku!

(ini asisten ngk tau orang mana, entah (m)Bantul, Gunkid, atau Kulonprogo, tapi bahasa Jawanya fasih, padahal bahkan saya pernah baca tesis magister beliau setebal sekian halaman isinya berbahasa Enggris semua).

Ya. Memang. Ada falsafah arif Jawa yang kemudian patut direnungi. Bukan. Bukan hanya direnungi. Ngk cukup. Tapi harus dipraktekkan di keseharian.

“Nggolek ilmu kalakone kanthi laku”

Mencari ilmu itu terlaksananya dengan jerih payah.

Tidak bisa tidak. Darimanapun kita bisa mencari pelajaran dari semua sumber ilmu, harus disertai jerih payah. Harus disertai laku prihatin, harus disertai pengorbanan. Tidak bisa instan. Entah biaya, entah waktu berlebih yang kita sediakan, entah kesehatan yang harus diperhatikan, semua butuh jerih payah. Tidak bisa tidak. Sudah cukup banyak cerita-cerita, mulai dari negeri dongeng sampai kisah-kisah nyata orang-orang sukses, ngk ada istilah ilmu laduni, ilmu yang cling, bim salabim, tau tau kita tinggal ongkang-ongkang dan ilmu masuk di kepala seketika. Tidak bisa.

Semua membutuhkan laku usaha dan jerih payah.

Melawan sekian kelelahan adalah usaha. Melawan waktu yang terhimpit kesibukan untuk mampu menyempatkan sekian halaman buku-buku kita baca adalah usaha. Menanti kehadiran dosen dan ustadz bersama kesabaran juga usaha. Dan sudah barang tentu, menumbuhkan cinta yang begitu tak mudah pada sumber ilmu yang awalnya begitu tak kita suka adalah usaha yang jerih dan payah tak terkira-kira.

Ya. Memang begitulah.

Ngk ada yang instan. Semua butuh jerih payah yang menuntut kesabaran, maka nasehat penghulu ilmu dan Sang Imam, Muhammad bin Idris yang terlahir di bumi para nabi, jalur Gaza Palestina, patut selalu kita renungi,

“barangsiapa tak bersabar dalam mencari ilmu
Maka ia akan merasai pahitnya kebodohan”

Ya. Dialah Imam Syafi’i. Yang membarengi satu formula falsafah Jawa, bahwa ilmu terlaksana dengan jerih payah, maka Imam Syafi’i memberi contoh terang benderang di depan mata bagaimana sebuah proses bernama buah apel yang dimakan sang Ayah mempertemukan pada Ibunda yang matanya buta dari segala pandang maksiat, kakinya pincang dari melangkah pada yang mendatangkan murkaNya, telinganya tuli dari segala bunyi-bunyian sumber dosa, dan mata hatinya begitu tajam memilah syubhat. Lahirlah ia sang Imam yang darinya fatwa segala hukum sampai kini diikut segenap umat di dunia.

Sedari kecil bersabar menekuni ilmu dari sang Imam Malik. Kemudian dari tahun ke tahun dari windu ke windu, binar cahaya islam menjadi begitu mampu membuat para muslim bangga sampai hari ini. Kesemuanya itu, dengan jerih, dengan payah. Maka dimintanya mencatat, diajarinya umat melihat karyanya yang membuat termotivasi menulis, kecerdikan strategi dan pembagian peran dengan Imam Ahmad bin Hanbal ketika kemudian paham Muktazilah memaksa semua Imam bersepakat me-makhluk-kan Al Qur’an, pergilah beliau ke Mesir menyelamatkan pilar ilmu yang akan diwariskan pada generasi di kemudian, di saat Imam Hanbal merela masuk bui, demi teguhnya keyakinan dan agar para umat tak bingung di zaman kemudian (andai, Imam Hanbal mengambil keringanan dari penguasa Abasiyah kala itu, bukankah pasti beliau selamat, tapi bagaimana setiap umat yang setia menjadi pengikut?). 

ya.

Dan warisan kemudian sampai pada kita, kitab al Umm dan sekian kaidah ushul begitu bermakna bagi para muslim kini.

Begitulah.

Kesemuanya itu tak serta merta. Semua butuh jerih. Semua butuh payah. Tidak ada yang instan.

Pun juga.

Kita. Hari ini. Tidak ada yang instan, tidak ada yang tanpa susah. Semua butuh yang namanya laku. Dan inilah yang harus kita kerjakan.

Ngelmu iku
Kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pangkese dur angkara

(Orang mencari ilmu itu harus melalui laku
Harus dilakukan dengan sungguh-sungguh
Bisa mendapatkan kesentosaan
Dan menyingkirkan angkara murka)

(Serat Wedhagama karangan KGPAA Mangkunegoro IV dari pupuh III tembang Macapat Pucung)


Muntilan pasca hujan
07 Juni 2013

16.06

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU