Perempuan Perempuan di ABY
buku ABY jilid 1 |
Buku Al ‘Arabiy baina Yadaik konon dipake secara universal,
dihampir seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang tercantum di buku pas kami
belajar tentang kebangsaan pun, adalah nama nama negara di timur tengah sana,
macam Suriah, Mesir, Pakistan, dan Turki. Di pojok kanan atas sampul buku, ada
tulisan “Al ‘arobiyyah lil jami’ “. Selain di Asma, buku ini juga banyak dipake
di sekolah IT (islam terpadu), Abu Bakar misalnya. Memang sih, dibanding dulu
pas saya tsanawiyah atau aliyah, buku baina yadaik ini lebih istimewa, walaupun
terbitan depag juga gak kalah istimewa :p, lebih mudah dipahami, lebih familiar dengan keseharian, dan universal.
Oke. Di atas tadi adalah tentang buku baina yadaik-nya.
Tentang bahasa arab, saya ngk yakin seberapa animo
mahasiswa atau siswa-siswa SMA yang menyukainya. Kan lebih keren les bahasa
jepang, mandarin, jerman, prancis, atau bahasa-bahasa barat lainnya. Memang tidak
dinafikan, saya pun kadang mupeng denger temen saya tiap hari ini les jepang,
besoknya les jerman, trus tetangga sekian kamar anak sastra prancis, adik AAI
bisa bahasa Ceko, dan seterusnya. tapi ya.. satu satu. Berdo’a saja saat ini
bahasa arab dimahirkan dulu (serius??), trus bahasa inggrisnya yang memang
bahasa wajib kalo mau kemana saja. Baru nanti bahasa lain nyusul (ingat kan? Bagaimana
Salman Al Farisi menguasai bahasa ibrani (kalo gak salah) dalam waktu 6 hari
karna satu sindiran Rosululloh SAW).
Kembali ke bahasa arab, ini menjadi wajib, sesedikitnya kosa
kata yang kerap muncul di alqur’an kita memahaminya. Karna bagaimanapun, kitab
istimewa yang kita punya adalah berbahasa Arab, dan memang, ketika tau sedikit
saja bahasa arab, menghafal Qur’an lebih mudah, ketika mendengar orang lain
baca atau muraja’ah, misal ada sedikit salah, kita yang mendengar akan merasa
ada yang janggal, jadi sekalipun tidak menyimak bawa mushaf, kadang kita bisa
mengingatkan, apalagi kalau tau nahwu-sharaf, misal ada di samping kita baca atau
menghafal ayat, yang harusnya (a) dibaca (i) kita bisa mengingatkan “coba dicek
lagi”. Begitulah..... bahkan dalam salah satu dari 10 wasiat Hasan al Banna, “belajarlah
bahasa arab, karna merupakan bagian dari syiar islam”. Bahkan nih ya, bahkan! Seorang
tokoh JIL terkemuka di negara kita, yang dulu semasa hidupnya gemar menulis
islam inklusif, di penghujung hayatnya, wasiat yang disampaikan ke anaknya
adalah “Pelajarilah bahasa arab, karna alQur’an juga berbahasa arab”. Gak
percaya? Teman-teman bisa cek di koran yang memuat berita saat tokoh ini meninggal.
Dia adalah Nurcholis Majid. Orang liberal memang begitu, bahasa arab mereka rata-rata
jago, tapi sayang, jago-nya digunakan untuk satu dua pamrih yang menipu akhirat
mereka.
Oke. Itu tentang baina yadaik, dan tentang belajar baca qur’an.
Sekarang kita akan masuk ke inti persoalan (hahaha, kita baru akan masuk inti,
awal mula ide kenapa akhirnya saya menulis postingan ini)
Perempuan-perempuan di buku ABY.
Suatu malam, entah pas jaman Asma 3,5 atau pas Asma angkatan
4 ini, ustad Talqis sang ustadz pengajar bahasa Arab di Asma melontarkan satu
pernyataan,
“perempuan-perempuan di buku ini coba kalian perhatikan gambar-gambarnya”
“perempuan-perempuan di buku ini coba kalian perhatikan gambar-gambarnya”
“ada yang khas ngk dari perempuan-perempuan ini?”
Kami memperhatikan, dan memang, hampir semua perempuan di buku ini punya satu ciri yang sama. (jilbabnya biru muda? semua pake jenis kerudung pashmina? Atau jilbabnya merk Rabbani semua? XD).
Ternyata tidak saudara-saudara..
Di buku ABY, semua perempuan yang ada digambar, bisa dipastikan pose-nya kalo ngk menyamping ya balik kanan, alias? Semua mukanya ngk kelihatan :’). Atau jika dalam kondisi sangat terpaksa harus menghadap pembaca yang budiman, si tokoh perempuan di buku ini bisa mendadak jadi muda bahkan balita, yang bahkan kita ngk tau kalo itu perempuan kecuali atas dasar keterangan dari bacaan yang kata kerja atau kata ganti-nya menunjukkan bahwa gambar itu memang perempuan.
Artinya apa? Rupanya buku ABY mengajarkan bagi kita para
perempuan untuk balik kanan atau pose menyamping kalo mau foto (hahaha). Kalo terpaksanya
harus menghadap ke kamera (buat foto ijazah atau KTP mungkin, kita de javu dulu
jaman kita balita :D.
Saya pribadi, akhir-akhir ini cukup prihatin, dengan
fenomena di sosmed, yang bisa dengan mudah menampilkan foto-foto atau gambar
sembarangan. Gak masalah juga sebenarnya, lha wong di Qur’an atau hadits gak
ada yang terang-terang-an mengatakan “ wahai wanita muslimah, dan janganlah
kalian menampilkan foto narsis untuk konsumsi publik” atau “diharamkan bagi
wanita muslimah menampilkan foto profilnya..” dst dst. Haqqul yakin ngk bakal
ketemu kalo kita nekad nyari. Tapi..
Kalo saya personal, terkecuali kalo memang darurat mendadak
jadi tokoh publik yang harus dikenal, gak masalah, itupun dengan format yang
formal-formal saja,, tapi kalo bukan tanpa tujuan atau alasan yang jelas, su’u
dzara’i (menutup celah kerusakan) lebih baik kita amalkan, saya amalkan nding. Perempuan
ya, apalagi wajahnya, tanpa alasan yang syar’i pula, wajahnya terlalu berharga
untuk diumbar ditempat yang bukan semestinya :’).
Ini pendapat saya. Dan saya sudah cukup senang mengutarakan
yang kadang menggelitik di sanubari saya.
Ada pendapat yang lain mungkin?
Istafti qolbak :’)
16 Juni 2013
13:26
Comments
Post a Comment