Perempuan Perempuan di ABY


buku ABY jilid 1
Buku wajib bahasa Arab yang digunakan di Pesantren Asma Amanina adalah Al ‘Arabiyy Baina Yadaik (ABY). Buku yang terdiri atas 3 jilid, dengan masing masing jilid sekitar 450-an halaman. Buku jilid 1 dengan materi bahasa arab dasar, mufradat-nya dasar-dasar kayak perkenalan, profesi, kampus, kendaraan, barang-barang belanjaan, bulan-bulan hijriah dan sebagainya. Qawa’id atau grammar-nya juga dasar, perubahan kata kerja sudah, sedang, perintah, dan larangan, kata kerja dengan beda subyek (dia (lk), dia (pr), mereka, kamu (lk), kamu (pr), kamu berdua, aku, kami, kita), posisi terhadap benda lain (di atas, di bawah, di samping, di depan, di samping kiri, di antara, di sekitar, dst), ungkapan dari gabungan dua kata sifat, kata sifat dan yang disifati, pembentukan kata bilangan kalo obyeknya laki-laki gimana, obyeknya perempuan gimana dan seterusnya. Buku jilid 2 konon kata ustad dulu kala, berisi materi bahasa arab tingkat intermediet. Kosakata-nya lebih kaya, lebih banyak, praktek bicaranya juga lebih banyak, tanda baca mulai banyak dihilangkan, dan grammarnya lebih kompleks dari jilid 1. Buku jilid 3 tingkat yang lebih mahir. Kalo saya lihat-lihat di pdf-nya, teksnya panjang-panjang, vocabnya saya banyak gak ngerti, grammarnya juga jauh lebih kompleks dari jilid 1 dan jilid 2. Bisa dibilang tingkat advance kali ya yang jilid 3 ini.

Buku Al ‘Arabiy baina Yadaik konon dipake secara universal, dihampir seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang tercantum di buku pas kami belajar tentang kebangsaan pun, adalah nama nama negara di timur tengah sana, macam Suriah, Mesir, Pakistan, dan Turki. Di pojok kanan atas sampul buku, ada tulisan “Al ‘arobiyyah lil jami’ “. Selain di Asma, buku ini juga banyak dipake di sekolah IT (islam terpadu), Abu Bakar misalnya. Memang sih, dibanding dulu pas saya tsanawiyah atau aliyah, buku baina yadaik ini lebih istimewa, walaupun terbitan depag juga gak kalah istimewa :p, lebih mudah dipahami, lebih familiar dengan keseharian, dan universal.

Oke. Di atas tadi adalah tentang buku baina yadaik-nya.

Tentang bahasa arab, saya ngk yakin seberapa animo mahasiswa atau siswa-siswa SMA yang menyukainya. Kan lebih keren les bahasa jepang, mandarin, jerman, prancis, atau bahasa-bahasa barat lainnya. Memang tidak dinafikan, saya pun kadang mupeng denger temen saya tiap hari ini les jepang, besoknya les jerman, trus tetangga sekian kamar anak sastra prancis, adik AAI bisa bahasa Ceko, dan seterusnya. tapi ya.. satu satu. Berdo’a saja saat ini bahasa arab dimahirkan dulu (serius??), trus bahasa inggrisnya yang memang bahasa wajib kalo mau kemana saja. Baru nanti bahasa lain nyusul (ingat kan? Bagaimana Salman Al Farisi menguasai bahasa ibrani (kalo gak salah) dalam waktu 6 hari karna satu sindiran Rosululloh SAW).

Kembali ke bahasa arab, ini menjadi wajib, sesedikitnya kosa kata yang kerap muncul di alqur’an kita memahaminya. Karna bagaimanapun, kitab istimewa yang kita punya adalah berbahasa Arab, dan memang, ketika tau sedikit saja bahasa arab, menghafal Qur’an lebih mudah, ketika mendengar orang lain baca atau muraja’ah, misal ada sedikit salah, kita yang mendengar akan merasa ada yang janggal, jadi sekalipun tidak menyimak bawa mushaf, kadang kita bisa mengingatkan, apalagi kalau tau nahwu-sharaf, misal ada di samping kita baca atau menghafal ayat, yang harusnya (a) dibaca (i) kita bisa mengingatkan “coba dicek lagi”. Begitulah..... bahkan dalam salah satu dari 10 wasiat Hasan al Banna, “belajarlah bahasa arab, karna merupakan bagian dari syiar islam”. Bahkan nih ya, bahkan! Seorang tokoh JIL terkemuka di negara kita, yang dulu semasa hidupnya gemar menulis islam inklusif, di penghujung hayatnya, wasiat yang disampaikan ke anaknya adalah “Pelajarilah bahasa arab, karna alQur’an juga berbahasa arab”. Gak percaya? Teman-teman bisa cek di koran yang memuat berita saat tokoh ini meninggal. Dia adalah Nurcholis Majid. Orang liberal memang begitu, bahasa arab mereka rata-rata jago, tapi sayang, jago-nya digunakan untuk satu dua pamrih yang menipu akhirat mereka.

Oke. Itu tentang baina yadaik, dan tentang belajar baca qur’an. Sekarang kita akan masuk ke inti persoalan (hahaha, kita baru akan masuk inti, awal mula ide kenapa akhirnya saya menulis postingan ini)

Perempuan-perempuan di buku ABY.

Suatu malam, entah pas jaman Asma 3,5 atau pas Asma angkatan 4 ini, ustad Talqis sang ustadz pengajar bahasa Arab di Asma melontarkan satu pernyataan,

“perempuan-perempuan di buku ini coba kalian perhatikan gambar-gambarnya”

“ada yang khas ngk dari perempuan-perempuan ini?”

Kami memperhatikan, dan memang, hampir semua perempuan di buku ini punya satu ciri yang sama. (jilbabnya biru muda? semua pake jenis kerudung pashmina? Atau jilbabnya merk Rabbani semua? XD).

Ternyata tidak saudara-saudara..

Di buku ABY, semua perempuan yang ada digambar, bisa dipastikan pose-nya kalo ngk menyamping ya balik kanan, alias? Semua mukanya ngk kelihatan :’). Atau jika dalam kondisi sangat terpaksa harus menghadap pembaca yang budiman, si tokoh perempuan di buku ini bisa mendadak jadi muda bahkan balita, yang bahkan kita ngk tau kalo itu perempuan kecuali atas dasar keterangan dari bacaan yang kata kerja atau kata ganti-nya menunjukkan bahwa gambar itu memang perempuan.

Artinya apa? Rupanya buku ABY mengajarkan bagi kita para perempuan untuk balik kanan atau pose menyamping kalo mau foto (hahaha). Kalo terpaksanya harus menghadap ke kamera (buat foto ijazah atau KTP mungkin, kita de javu dulu jaman kita balita :D.

Saya pribadi, akhir-akhir ini cukup prihatin, dengan fenomena di sosmed, yang bisa dengan mudah menampilkan foto-foto atau gambar sembarangan. Gak masalah juga sebenarnya, lha wong di Qur’an atau hadits gak ada yang terang-terang-an mengatakan “ wahai wanita muslimah, dan janganlah kalian menampilkan foto narsis untuk konsumsi publik” atau “diharamkan bagi wanita muslimah menampilkan foto profilnya..” dst dst. Haqqul yakin ngk bakal ketemu kalo kita nekad nyari. Tapi..

Kalo saya personal, terkecuali kalo memang darurat mendadak jadi tokoh publik yang harus dikenal, gak masalah, itupun dengan format yang formal-formal saja,, tapi kalo bukan tanpa tujuan atau alasan yang jelas, su’u dzara’i (menutup celah kerusakan) lebih baik kita amalkan, saya amalkan nding. Perempuan ya, apalagi wajahnya, tanpa alasan yang syar’i pula, wajahnya terlalu berharga untuk diumbar ditempat yang bukan semestinya :’).

Ini pendapat saya. Dan saya sudah cukup senang mengutarakan yang kadang menggelitik di sanubari saya.
Ada pendapat yang lain mungkin?

Istafti qolbak :’)

16 Juni 2013

13:26   

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU