Karna Alloh jadikan Uhud dan Hunain itu untuk Kita Berkaca, dan Menjadikan Khandaq Tempat Menyemai Asa


Uhud. Lewat mimpi yang benar Rosululloh sudah diberi aba-aba, untuk tetap bertahan di dalam kota. Tapi semangat anak muda terus bergelora, dalam bingkai musyawarah keputusan diambil segera. Rosululloh kenakan baju zirahnya, beliau selempangkan pedangnya. Dan berkata, “pantang bagi seorang Rosul, saat sudah keluar dengan baju perang, berbalik arah.”

Uhud adalah medan tempat kita berkaca, atas kejadian-kejadian yang sangat mudah pelajaran kita rasakan berulang.

Apakah pasukan islam adalah perindu kemenangan semu bernama “menang atas lawan?” saya rasa itu pandangan terlalu dangkal, pikiran yang teramat picik.

Kita tak bisa lupa, pada sepertiga pasukan yang dibawa membelot oleh Abdullah bin Ubay dedengkot munafik untuk menganulir putusan rosul diam-diam, dan membawa lari pasukan yang bermental ciut, berbaris berjingkat-jingkat kembali ke Madinah dari medan perang.

Dalam mauskrip sejarah juga kita temui, tidak ada yang salah dengan putusan musyawarah. Meski usul dari shahabat dari hasil buah pikir ikhtiarnya, bukan takwil mimpi benar dari mimpi Rosul seorang. Tapi tentu lekat dalam ingatan, bagaimana gejolak duniawi masih dimiliki oleh segelintir orang yang tidak taat pada instruksi. Masih melihat mewahnya ghanimah untuk turut dikejar dan direbuti. Kita tak lupa.

Maka disitulah ujian cinta, juga ujian pengorbanan lekat kita pandang.

Saat gigi Rosul tanggal, dan dengan goresan-goresan darah Rosul ditemukan setelah sebelumnya dikabarkan beliau meninggal.  Juga didapati, Hamzah sang Paman, taji umat islam setelah Umar, syahid dengan dada rusak dan jantung diambil oleh Wasyi’ budak Hindun yang menyimpan dendam.

Adakah Uhud tak cukup memberi kita banyak pelajaran?

Kemudian Hunain.

Itu lebih dari cukup mengajarkan kita pelajaran, arti pertarungan dan apa sesungguhnya sebaik-baik bekal pertarungan.

Tapi sudah tentu kita punya kisah Khandaq.

Saat segala ceruk harapan nyaris tak ada, saat kerumunan dan musyarakah pembenci islam bersatu memusuhi, saat dari luar kaum Quraisy nampak jelas menyerang, juga kaum Yahudi Madinah dengan banyak kabilah kabilah, bersatu padu menyerang, justru disitulah mimpi Rosul akan penaklukan-penaklukan menyejarah beliau lantunkan. Penaklukan Qisra, penaklukan Parsi.

Itulah Khandaq, asa yang terus diwariskan. Sampai hari ini.

Begitulah kawan. Begitulah sobat.

Sejarah terus bergulir. Dia diputarkan untuk terus merekam pelajaran, juga menampar dan memapar kembali ke muka kita arti perjuangan yang sesungguhnya, yang sebenarnya. Perjuangan yang tak bisa kita lihat dalam lingkup yang sempit, apatah lagi dalam masa yang instan. Tidak. Sekali kali tidak.

Di risalah perjuangan muwassis dakwah, telah ditelaah dengan gamblang dan jelas. Ada dua iman diantara kita, yang telah menisbatkan diri dengan syahadat. Satu iman yang diam, satu iman yang bergerak. Dan kita telah memilih satu yang kedua. Ya. iman yang bergerak. Iman yang meniscayakan geraknya untuk senantiasa 
jadi petarung.

Bukan petarung yang menikmati sanjung puji, bukan petarung yang kerjanya senang dikenang-kenang zaman.

Bukan.

Bukan pula petarung yang bahagia saat namanya disebut-sebut berjasa, bukan petarung yang harus tampak dimuka-muka halaman awal media.

Kita memilih takdir terbaik. Menjadi petarung yang dalam gempita dan sepi memilih jalan juang ini. dan bahwa sanjung puji adalah semu menipu.

Kita telah memilih takdir terbaik ini, bahwa maju di garda terdepan bukanlah ambisi, apalagi langkah lacur pragmatis apatah lagi oportunis. Kita memilih, tak lain tak bukan adalah sadar akan peduli, sadar akan membaca zaman, juga sangat sadar akan peran perjuangan yang siap menerima segenap konsekuensi. Dicecar, dikritik, atau bahkan mungkin direndahkan serendah-rendah tempat.

Begitulah. Memilih Uhud, Hunain, juga Khandaq adalah pilihan sadar medan juang kita.

Begitulah. Dan semua tak ada yang sia-sia. Semua adalah mata air ilmu masa depan, mata air harapan yang tak pudar, juga mata air kecemerlangan agar kita kian piawai membaca zaman.

Tidak. Tidak mungkin kita bisa bersedih. Setelah Alloh hadiahkan pada kita warisan perjuangan yang dulu dirintis nabi-nabi.

Tidak mungkin kepala kita layak kita tundukkan setelah Alloh sedikit demi sedikit entaskan kita dari pergulatan semu ambisi orang-orang yang begitu menipu.

Kita hanya diminta untuk terus menekuri perjalanan Uhud, juga perjalanan Khandaq. Sudah. Itu.

Kemudian tersenyum menyambut shubuh. Sekalipun ada sisi manusiawi harus mengadu, bukan kepada media apatah lagi meratap tak perlu.

Cukup hadirkan wajah rindumu, pada wajahNya yang telah menanti.

23:14


Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU