#cerdas - #mencerdaskan
Kemarin tanpa sengaja, saya menemukan komen di
FB yang cukup membuat saya, ehm, biasa saja. Isinya tentang
mengoblok-goblok-kan begitulah kira-kira. Setali tiga uang dengan runtutan
materi yang disampaikan oleh Ustadz Sholihun, Ustadz Deden, dan Ustadz Ahmad
Dahlan : pertama dan yang utama adalah kecerdasan intelektual. Dakwah berbekal
militansi saja tidak cukup.
Ini perasaan saya saja atau memang
kenyataannya memang demikian. Bahwa hari ini, harusnya kita semakin cerdas dan
semakin banyak belajar. Dengan kondisi segala rupa tantangan, dengan berbagai
macam cakupan peran yang semakin meluas, ada yang harus dibarengi di dalam isi
kepala kita. Ya. intelektual. Kita harus banyak belajar.
Hm. Hari ini, kita tidak “sekadar” mampu
memobilisasi massa dengan jumlah besar. Tapi hari ini. kita harusnya bisa
“menyadarkan” dan “membuat orang bergerak dengan sadar” dalam berbagai macam
agenda-agenda yang membutuhkan peran-peran kita untuk menyelesaikan segenap
agenda perbaikan.
Ada sekian banyak yang harus diselesaikan :
(1) memampukan diri secara intelektual, (2) kemampuan mengenal medan, (3) punya
takhtith (platform, grand design, blue print), (4) kematangan strukur (yg
meliputi soliditas dan managemen), dan (5) membangkitkan gerak ( militansi daan
pengorbanan).
Hm. Step pertama, memampukan diri secara
intelektual : Baca! Baca! Baca!, Diskusi! Diskusi! Diskusi!, Tulis! Tulis!
Tulis!, Kaji! Kaji!Kaji!, dan datang ke semua sumber ilmu. Khusus ilmu agama,
talaqqi! Talaqqi! Talaqqi! Ketemu lgsg dengan ustadz yang berkompeten. Ingat.
Pilar pertama adalah paham. Dari ilmu dasar sampai retorika lawan politik. Bukan
dengan –sebatas- menunggu penjelasan dari orang lain, orang yang dinilai lebih
tua, orang yang dinilai lebih bisa, orang yang dianggap begini, yang dianggap
begitu dan seterusnya. Tidak. Saluran informasi untuk belajar dan mempelajari
banyak kondisi kekinian semakin banyak. Kemampuan mengambil sikap bisa kita
asah. Ingat. Jangankan menuangkan isi, mengeluarkan aroma saja, teko yang
kosong tak kan pernah bisa. Apapun sikap yang kita ambil, jika berdasarkan
ilmu, dilakukan dengan sadar, tidak akan salah. Pasti mengandung pelajaran.
Bagi sekitar-an, atau wabil khusus untuk diri sendiri.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Tidak
ada kata terlambat. Tak harus menunggu masuk ma’had, tak harus menanti kapan
pendaftaran asrama ini dibuka, asrama itu open rekrutmen. Sekarang waktunya.
Belajar itu waktunya sekarang. Juga yang merasa telah selesai Ma’had/ pembinaan
tertentu, jangan berhenti, jangan merasa puas, jangan merasa selesai. Ustadz
Syatori di testimoni perpisahana Asma Amanina (yang saya baca dari buku angkatan)
menengarai : nyantri yang sesungguhnya adalah ketika sudah keluar dari
pesantren, sedang dua tahun adalah pemantiknya.
Kesibukan kerja-kerja, semakin bejibunnya
–amanah (sebut saja begitu)- harusnya membuat kita sadar bekalan yang harus
kita punya semakin banyak. Bekalan yang harus kita persiapkan semakin banyak
pula.
Pertanyaan klasik ustad Deden : Ini ada di
buku Fiqh Awliyatnya Ustadz Yusuf Qardlawi, ada yg sudah baca? Ini ada di Sirah
Nabawi Ibnu Hisyam, ada yang sudah baca? Ini ada di perpus UIN, ini ada di
Fiqih Maqashid Syari’ah, ini ada di buku X, ini di Buku Y, Imam Ghazali begini
dan begini, Imam ini begini dan begini atau, saya akan membahas ini yang ada di
buku ini, ada yang sudah baca atau sudah punya?
Ah iya. Saluran informasi bukan jebakan bagi
kita untuk semakin mengedepankan narsisme, cerita tentang diri begini dan
begini (yang kata ustadz @salimafillah : membuat orang yang biasa menjadi tak
suka dan orang benci semakin mendengki), tapi menjadi ruang untuk mencerdaskan.
Karena wahyu pertama itu bukan taatlah,
bekerjalah, berdakwahlah. Bukan. Wahyu pertama itu bacalah. Baca! Baca! Baca!
Penutup kajian Ustadz Deden tadi malam yang
sangat bernas : “mungkin bisa jadi, begitu banyak pos-pos strategis yang kita
kuasai, tapi SDM yang begitu ahli dan pakar disana tak ada. Lalu apa yang bisa
dilakukan dengan penguasaan itu?”
Baca! Baca! Baca!
“Ngaji itu ya untuk Ngaji itu sendiri! Bukan
obyeknya apa, pembicaranya siapa! Bukan” Kata Ustad Sholihun.
Militansi iya. tapi disebut militan tentu
ketika dijalani dengan paham. Meskipun gerak dirasa berat, tapi kemampuan untuk
mengalahkan dan bisa bergerak itulah militansi. Bukan yang bergerak asal
bergerak. Sedang ketidaktahuan itu bukan sebuah salah, tapi isyarat untuk
belajar lebih dan lebih.
Mari kita bersama menyelesaikan urusan yang
pertama dan utama ini. Menyelami kembali tradisi literasi, menguatkan kembali
tradisi intelektual. Bukan nanti, tapi hari ini, sekarang. Saat ini juga.
Jadi ingat postingan yang kemudian dikomen
satu orang di grup the g*nk
“Nahnu Du’at qobla kulli syai’in!
Komennya : Laa, nahnu Thullab qobla du’at
(kita pe-mbelajar- sebelum jadi da’i (berdakwah)).
Saya me-like! Sangat!
Mari militan! Dengan cerdas.
5 Desember 2013
04:51
Comments
Post a Comment